Akar pemikiran evolusionis muncul sezaman dengan keyakinan dogmatis yang berusaha keras mengingkari
penciptaan. Mayoritas filsuf penganut pagan di zaman Yunani kuno mempertahankan gagasan evolusi. Jika
kita mengamati sejarah filsafat, kita akan melihat bahwa gagasan evolusi telah menopang banyak filsafat
pagan.
Akan tetapi bukan filsafat pagan kuno ini yang telah berperan penting dalam kelahiran dan perkembangan
ilmu pengetahuan modern, melainkan keimanan kepada Tuhan. Pada umumnya mereka yang memelopori
ilmu pengetahuan modern mempercayai keberadaan-Nya. Seraya mempelajari ilmu pengetahuan, mereka
berusaha menyingkap rahasia jagat raya yang telah diciptakan Tuhan dan mengungkap hukum-hukum dan
detail-detail dalam ciptaan-Nya. Ahli Astronomi seperti Leonardo da Vinci, Copernicus, Keppler dan
Galileo; bapak paleontologi, Cuvier; perintis botani dan zoologi, Linnaeus; dan Isaac Newton, yang
dijuluki sebagai "ilmuwan terbesar yang pernah ada", semua mempelajari ilmu pengetahuan dengan tidak
hanya meyakini keberadaan Tuhan, tetapi juga bahwa keseluruhan alam semesta adalah hasil ciptaan-Nya
1 Albert Einstein, yang dianggap sebagai orang paling jenius di zaman kita, adalah seorang ilmuwan yang
mempercayai Tuhan dan menyatakan, "Saya tidak bisa membayangkan ada ilmuwan sejati tanpa keimanan
mendalam seperti itu. Ibaratnya: ilmu pengetahuan tanpa agama akan pincang." 2
Salah seorang pendiri fisika modern, dokter asal Jerman, Max Planck mengatakan bahwa setiap orang,
yang mempelajari ilmu pengetahuan dengan sungguh-sungguh, akan membaca pada gerbang istana ilmu
pengetahuan sebuah kata: "Berimanlah". Keimanan adalah atribut penting seorang ilmuwan.3
Teori evolusi merupakan buah filsafat materialistis yang muncul bersamaan dengan kebangkitan filsafatfilsafat
materialistis kuno dan kemudian menyebar luas di abad ke-19. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
paham materialisme berusaha menjelaskan alam semata melalui faktor-faktor materi. Karena menolak
penciptaan, pandangan ini menyatakan bahwa segala sesuatu, hidup ataupun tak hidup, muncul tidak
melalui penciptaan tetapi dari sebuah peristiwa kebetulan yang kemudian mencapai kondisi teratur. Akan
tetapi, akal manusia sedemikian terstruktur sehingga mampu memahami keberadaan sebuah kehendak
yang mengatur di mana pun ia menemukan keteraturan. Filsafat materialistis, yang bertentangan dengan
karakteristik paling mendasar akal manusia ini, memunculkan "teori evolusi" di pertengahan abad ke-19.
Khayalan Darwin
Orang yang mengemukakan teori evolusi sebagaimana yang dipertahankan dewasa ini, adalah seorang
naturalis amatir dari Inggris, Charles Robert Darwin.
Darwin tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang biologi. Ia hanya memiliki ketertarikan amatir
pada alam dan makhluk hidup. Minat tersebut mendorongnya bergabung secara sukarela dalam ekspedisi
pelayaran dengan sebuah kapal bernama H.M.S. Beagle, yang berangkat dari Inggris tahun 1832 dan
mengarungi berbagai belahan dunia selama lima tahun. Darwin muda sangat takjub melihat beragam
spesies makhluk hidup, terutama jenis-jenis burung finch tertentu di kepulauan Galapagos. Ia mengira
bahwa variasi pada paruh burung-burung tersebut disebabkan oleh adaptasi mereka terhadap habitat.
Dengan pemikiran ini, ia menduga bahwa asal usul kehidupan dan spesies berdasar pada konsep "adaptasi
terhadap lingkungan". Menurut Darwin, aneka spesies makhluk hidup tidak diciptakan secara terpisah oleh
Tuhan, tetapi berasal dari nenek mo-yang yang sama dan menjadi berbeda satu sama lain akibat kondisi
alam.
Hipotesis Darwin tidak berdasarkan penemuan atau penelitian ilmiah apa pun; tetapi kemudian ia
menjadikannya sebuah teori monumental berkat dukungan dan dorongan para ahli biologi materialis
terkenal pada masanya. Gagasannya menyatakan bahwa individu-individu yang beradaptasi pada habitat
mereka dengan cara terbaik, akan menurunkan sifat-sifat mereka kepada generasi berikutnya. Sifat-sifat
yang menguntungkan ini lama-kelamaan terakumulasi dan mengubah suatu individu menjadi spesies yang
sama sekali berbeda dengan nenek moyangnya. (Asal usul "sifat-sifat yang menguntungkan" ini belum
diketahui pada waktu itu.) Menurut Darwin, manusia adalah hasil paling maju dari mekanisme ini.
Darwin menamakan proses ini "evolusi melalui seleksi alam". Ia
mengira telah menemukan "asal usul spesies": suatu spesies
berasal dari spesies lain. Ia mempublikasikan pandangannya ini
dalam bukunya yang berjudul The Origin of Species, By Means of
Natural Selection pada tahun 1859.
Darwin sadar bahwa teorinya menghadapi banyak masalah. Ia
mengakui ini dalam bukunya pada bab "Difficulties of the
Theory". Kesulitan-kesulitan ini terutama pada catatan fosil dan
organ-organ rumit makhluk hidup (misalnya mata) yang tidak
mungkin dijelaskan dengan konsep kebetulan, dan naluri makhluk
hidup. Darwin berharap kesulitan-kesulitan ini akan teratasi oleh
penemuan-penemuan baru; tetapi bagaimanapun ia tetap
mengajukan sejumlah penjelasan yang sangat tidak memadai untuk
sebagian kesulitan tersebut. Seorang ahli fisika Amerika, Lipson,
mengomentari "kesulitan-kesulitan" Darwin tersebut:
Ketika membaca The Origin of Species, saya mendapati bahwa
Darwin sendiri tidak seyakin yang sering dikatakan orang
tentangnya; bab "Difficulties of the Theory" misalnya, menunjukkan keragu-raguannya yang cukup besar.
Sebagai seorang fisikawan, saya secara khusus merasa terganggu oleh komentarnya mengenai bagaimana
mata terbentuk.
Saat menyusun teorinya, Darwin terkesan oleh para ahli biologi evolusionis sebelumnya, terutama seorang
ahli biologi Perancis, Lamarck. Menurut Lamarck, makhluk hidup mewariskan ciri-ciri yang mereka
dapatkan selama hidupnya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga terjadilah evolusi. Sebagai
contoh, jerapah berevolusi dari binatang yang menyerupai antelop. Perubahan itu terjadi dengan
memanjangkan leher mereka sedikit demi sedikit dari generasi ke generasi ketika berusaha menjangkau
dahan yang lebih tinggi untuk memperoleh makanan. Darwin menggunakan hipotesis Lamarck tentang
"pewarisan sifat-sifat yang diperoleh" sebagai faktor yang menyebabkan makhluk hidup berevolusi.
(Riza Afita Surya) History, Education, Art, Social Enthusiastic
Roman Callimachus
ALESSANDRO BARCHIESI
Callimachus was read in Italy through the entire late republican and the imperial period, and his
poems were influential,1 but in the context of our Companion it is more important to mention that
his work is relevant to scholars of Roman poetry in a way that goes beyond measurable borrowings
and allusions.2 This is because the appropriation of Callimachean models is constantly enmeshed
with the problems and dilemmas of Roman poetics: how to define, express, and control
Hellenization; the relationship between poetry and politics or power; poetic careers, patronage, and
public; the harmony and tension between programmatic statements and the poems themselves, as
they are dynamically experienced and then remembered by readers. In the Augustan age, the effect
of those allusions is enhanced by the fact that those Latin poets form a literary society and are likely
to allude to their colleagues’ recent manipulations and revisions of Callimachus as well as to the
1I am grateful to the editors and to Marco Fantuzzi and Filippomaria Pontani for their comments.
The best guides to the influence of Callimachus on Latin texts are the different approaches of
Wimmel 1960; Clausen 1964; Newman 1967; Zetzel 1983; Hopkinson 1988: 98–101; Alan
Cameron 1995: 454–83 and passim; R. F. Thomas 1993 and 1999 passim; Hunter 2006a; Acosta-
Hughes and Stephens forthcoming, chapter 4 (made available to me by the authors). Heyworth 1994
is shorter and selective but also very stimulating. On the imperial age, see McNelis 2007, with the
bibliography there, and also below on Persius and Martial.
2 As the temporal distance from the great papyrus discoveries of the early 1900s increases, it is
important to remember that the programmatic approach would not have been possible before the
discovery of the Prologue to the Aetia; it is interesting to compare the image of Callimachus in
Latin studies before and after the discovery, and Benedetto 1993 is useful for Latinists as well as for
Hellenists.
2
Greek texts as we have them. Indeed, one of the main reasons (besides the obvious ones) why we
talk about an Augustan age in literature is this mix of cross-reference and reciprocal canonization.
The use of Callimachean poetics typically raises questions about patronage, political agendas, and
relationship to power that cannot really be addressed in the context of a short chapter and, in any
case, are best discussed in a social and cultural framework,3 not through close readings of individual
passages. In this chapter, we will try to address some formal and poetic aspects, apart from
consideration of the wider social setting of Roman poetry.
What we discover, on a formal level, is not so much reproduction as creative reuse. As a
model to imitate, Callimachus is more difficult (note the implications of Statius Silvae 5.3.156–58;
note also, from a Greek point of view, Pollianus AP 9.130)4 than any other major Greek author,
except for choral lyric, where the fading away of original musical scores and performance
conventions increased the sense of a rift. This difficulty in a way intensified an aura of prestige:
Catullus and Propertius are particularly proud of being able to handle him as a model. More
important, Callimachus was a mentor about creative appropriation through his own operations on
Greek models such as Homer, the theater, philosophy, and early lyricists:5 those were canonical
texts for the Romans, and they were able to recognize his art of variation and surprise. This way
Callimachus became a poet’s poet for the Roman community of literati.
Propertius as the New Callimachus
Therefore some of the best Callimachean poetry in Latin is unruly, close to our notion of avantgarde,
and even dares to test on him intertextual techniques that he himself practiced on earlier
3 For recent discussions of the big picture, see, e.g., Conte 1986; P. White 1993 (with Feeney
1994); Lyne 1995; Citroni 1995.
4 See Fantuzzi and Hunter 2004: 248.
5 On those intertexts, see, e.g., Acosta-Hughes 2010a; Fuhrer 1992; Acosta-Hughes and
Stephens forthcoming.
3
Greek models. A short example from Propertius will illustrate this mode of imitation (Prop. 4.8.3–
16):6
Lanuvium annosi vetus est tutela draconis:
hic ubi tam rarae non perit hora morae.
qua sacer abripitur caeco descensus hiatu, 5
hac penetrat virgo (tale iter omen habet!)
ieiuni serpentis honos, cum pabula poscit
annua et ex ima sibila torquet humo.
talia demissae pallent ad sacra puellae,
cum tenera anguino raditur ore manus. 10
ille sibi admotas a virgine corripit escas:
virginis in palmis ipsa canistra tremunt.
si fuerunt castae, redeunt in colla parentum,
clamantque agricolae “fertilis annus erit.”
huc mea detonsis avectast Cynthia mannis: 15
causa fuit Iuno, sed mage causa Venus.
Lanuvium is the ancient protectorate of a snake of many years, there where an hour spent on
such uncommon tourism is not wasted. For the sacred descent is broken by a blind chasm,
where penetrates a maiden (such a journey bears an omen), the honor paid to the hungry
serpent, when he demands his annual feed, and twists hisses from the depths of the earth.
The girls lowered for these rites turn pale when their youthful hand is grazed by the mouth
of the snake. The serpent snatches the food brought for him by the virgin: the very basket
trembles in a virgin’s grasp. If they have been chaste, they return to the embrace of their
parents, and the farmers cry out, “It will be a fruitful year.” It was to this place that Cynthia
drove off with her clipped ponies: Iuno was the cause, but Venus more so.
6 For text, translation, and interpretation, see Heyworth 2007a: 475–77 and 600.
4
The poem is unpredictable, the narrator is quirky, the details of local daily life are vivid, all
in the best Callimachean tradition—yet when Callimachus is being visibly used he is also being
subverted. The context of Book 4 of Propertius (see below) represents in general a departure from
subjective love poetry toward a growing engagement with the tradition of the Aetia: thus when the
new poem starts with a rare item of Italian antique lore, the snake ritual at Lanuvium, the readers
easily accept the idea that Propertius is making good on his promise in the prologue to Book 4: a
new Callimachus in the (Propertian more than authentically Callimachean) sense not of amatory
elegy but of a poetic aetiology of Rome and Italy based on a close encounter with the Aetia. The
effect is reinforced by the poet’s love for strange details—the sense of age-old memories, the dark
snake pit, the horrified girls feeding the snake, their shaking baskets, and the test of virginity
destined to the omen of a good year in the countryside (not without a Tibullan touch).7 Even the
considerable amount of sexual innuendo in the ritual description (“penetrat virgo”; the repetition
“virgo . . . virgine . . . virginis” in lines 6, 11, and 12, completed by “si fuerint castae” in line 13) is
potentially a homage to the Aetia. The strange nuptial ritual evoked in Acontius and Cydippe (fr.
75.1–3 Pf.) is not without its surprises, especially when the sentence “and now the boy had slept
with the virgin” turns out to be a reference to a chaste prenuptial rite.
Yet exactly when we think we get the point that this is the long-awaited adaptation of
Alexandrian poetry to the world of Italian antiquities, the poem turns on itself and loses contact
with Callimachus. While Cynthia is in the Latin neighboring community of Lanuvium, Propertius
parties in Rome, in her house on the Esquiline. The details are more lowbrow than in the rather
ascetic and selective tradition of Roman elegy: two strippers, a dwarf providing entertainment,
wine, and a slave in a supporting role. Comedy—or mime—erupts as Cynthia enters the house and
catches the narrator red-handed. In sum, Propertius 4.8 promises Callimachean elegy in the Aetia
7 My mention of Acontius and Cydippe is purely illustrative: one could also think of rituals
involving snakes, virgins, and baskets in the Hecale, and more generally of the trend toward strange
and shocking rituals suggested by the fragments of Books 3 and 4 of the Aetia.
5
tradition, but only as a feint, then returns to a particularly humble variant of the love poetry that
Propertius labeled (in a rather tendentious and different sense) a Callimachean opus back in Book 3.
Propertius presumably learned from Callimachus how to ambush models and readers, and here he
used Callimachus as his target. In his earlier books, he was practicing already: he was using
Callimachus to justify something that Callimachus never contemplated—elegiac poetry about the
author’s love affair with a woman.
ALESSANDRO BARCHIESI
Callimachus was read in Italy through the entire late republican and the imperial period, and his
poems were influential,1 but in the context of our Companion it is more important to mention that
his work is relevant to scholars of Roman poetry in a way that goes beyond measurable borrowings
and allusions.2 This is because the appropriation of Callimachean models is constantly enmeshed
with the problems and dilemmas of Roman poetics: how to define, express, and control
Hellenization; the relationship between poetry and politics or power; poetic careers, patronage, and
public; the harmony and tension between programmatic statements and the poems themselves, as
they are dynamically experienced and then remembered by readers. In the Augustan age, the effect
of those allusions is enhanced by the fact that those Latin poets form a literary society and are likely
to allude to their colleagues’ recent manipulations and revisions of Callimachus as well as to the
1I am grateful to the editors and to Marco Fantuzzi and Filippomaria Pontani for their comments.
The best guides to the influence of Callimachus on Latin texts are the different approaches of
Wimmel 1960; Clausen 1964; Newman 1967; Zetzel 1983; Hopkinson 1988: 98–101; Alan
Cameron 1995: 454–83 and passim; R. F. Thomas 1993 and 1999 passim; Hunter 2006a; Acosta-
Hughes and Stephens forthcoming, chapter 4 (made available to me by the authors). Heyworth 1994
is shorter and selective but also very stimulating. On the imperial age, see McNelis 2007, with the
bibliography there, and also below on Persius and Martial.
2 As the temporal distance from the great papyrus discoveries of the early 1900s increases, it is
important to remember that the programmatic approach would not have been possible before the
discovery of the Prologue to the Aetia; it is interesting to compare the image of Callimachus in
Latin studies before and after the discovery, and Benedetto 1993 is useful for Latinists as well as for
Hellenists.
2
Greek texts as we have them. Indeed, one of the main reasons (besides the obvious ones) why we
talk about an Augustan age in literature is this mix of cross-reference and reciprocal canonization.
The use of Callimachean poetics typically raises questions about patronage, political agendas, and
relationship to power that cannot really be addressed in the context of a short chapter and, in any
case, are best discussed in a social and cultural framework,3 not through close readings of individual
passages. In this chapter, we will try to address some formal and poetic aspects, apart from
consideration of the wider social setting of Roman poetry.
What we discover, on a formal level, is not so much reproduction as creative reuse. As a
model to imitate, Callimachus is more difficult (note the implications of Statius Silvae 5.3.156–58;
note also, from a Greek point of view, Pollianus AP 9.130)4 than any other major Greek author,
except for choral lyric, where the fading away of original musical scores and performance
conventions increased the sense of a rift. This difficulty in a way intensified an aura of prestige:
Catullus and Propertius are particularly proud of being able to handle him as a model. More
important, Callimachus was a mentor about creative appropriation through his own operations on
Greek models such as Homer, the theater, philosophy, and early lyricists:5 those were canonical
texts for the Romans, and they were able to recognize his art of variation and surprise. This way
Callimachus became a poet’s poet for the Roman community of literati.
Propertius as the New Callimachus
Therefore some of the best Callimachean poetry in Latin is unruly, close to our notion of avantgarde,
and even dares to test on him intertextual techniques that he himself practiced on earlier
3 For recent discussions of the big picture, see, e.g., Conte 1986; P. White 1993 (with Feeney
1994); Lyne 1995; Citroni 1995.
4 See Fantuzzi and Hunter 2004: 248.
5 On those intertexts, see, e.g., Acosta-Hughes 2010a; Fuhrer 1992; Acosta-Hughes and
Stephens forthcoming.
3
Greek models. A short example from Propertius will illustrate this mode of imitation (Prop. 4.8.3–
16):6
Lanuvium annosi vetus est tutela draconis:
hic ubi tam rarae non perit hora morae.
qua sacer abripitur caeco descensus hiatu, 5
hac penetrat virgo (tale iter omen habet!)
ieiuni serpentis honos, cum pabula poscit
annua et ex ima sibila torquet humo.
talia demissae pallent ad sacra puellae,
cum tenera anguino raditur ore manus. 10
ille sibi admotas a virgine corripit escas:
virginis in palmis ipsa canistra tremunt.
si fuerunt castae, redeunt in colla parentum,
clamantque agricolae “fertilis annus erit.”
huc mea detonsis avectast Cynthia mannis: 15
causa fuit Iuno, sed mage causa Venus.
Lanuvium is the ancient protectorate of a snake of many years, there where an hour spent on
such uncommon tourism is not wasted. For the sacred descent is broken by a blind chasm,
where penetrates a maiden (such a journey bears an omen), the honor paid to the hungry
serpent, when he demands his annual feed, and twists hisses from the depths of the earth.
The girls lowered for these rites turn pale when their youthful hand is grazed by the mouth
of the snake. The serpent snatches the food brought for him by the virgin: the very basket
trembles in a virgin’s grasp. If they have been chaste, they return to the embrace of their
parents, and the farmers cry out, “It will be a fruitful year.” It was to this place that Cynthia
drove off with her clipped ponies: Iuno was the cause, but Venus more so.
6 For text, translation, and interpretation, see Heyworth 2007a: 475–77 and 600.
4
The poem is unpredictable, the narrator is quirky, the details of local daily life are vivid, all
in the best Callimachean tradition—yet when Callimachus is being visibly used he is also being
subverted. The context of Book 4 of Propertius (see below) represents in general a departure from
subjective love poetry toward a growing engagement with the tradition of the Aetia: thus when the
new poem starts with a rare item of Italian antique lore, the snake ritual at Lanuvium, the readers
easily accept the idea that Propertius is making good on his promise in the prologue to Book 4: a
new Callimachus in the (Propertian more than authentically Callimachean) sense not of amatory
elegy but of a poetic aetiology of Rome and Italy based on a close encounter with the Aetia. The
effect is reinforced by the poet’s love for strange details—the sense of age-old memories, the dark
snake pit, the horrified girls feeding the snake, their shaking baskets, and the test of virginity
destined to the omen of a good year in the countryside (not without a Tibullan touch).7 Even the
considerable amount of sexual innuendo in the ritual description (“penetrat virgo”; the repetition
“virgo . . . virgine . . . virginis” in lines 6, 11, and 12, completed by “si fuerint castae” in line 13) is
potentially a homage to the Aetia. The strange nuptial ritual evoked in Acontius and Cydippe (fr.
75.1–3 Pf.) is not without its surprises, especially when the sentence “and now the boy had slept
with the virgin” turns out to be a reference to a chaste prenuptial rite.
Yet exactly when we think we get the point that this is the long-awaited adaptation of
Alexandrian poetry to the world of Italian antiquities, the poem turns on itself and loses contact
with Callimachus. While Cynthia is in the Latin neighboring community of Lanuvium, Propertius
parties in Rome, in her house on the Esquiline. The details are more lowbrow than in the rather
ascetic and selective tradition of Roman elegy: two strippers, a dwarf providing entertainment,
wine, and a slave in a supporting role. Comedy—or mime—erupts as Cynthia enters the house and
catches the narrator red-handed. In sum, Propertius 4.8 promises Callimachean elegy in the Aetia
7 My mention of Acontius and Cydippe is purely illustrative: one could also think of rituals
involving snakes, virgins, and baskets in the Hecale, and more generally of the trend toward strange
and shocking rituals suggested by the fragments of Books 3 and 4 of the Aetia.
5
tradition, but only as a feint, then returns to a particularly humble variant of the love poetry that
Propertius labeled (in a rather tendentious and different sense) a Callimachean opus back in Book 3.
Propertius presumably learned from Callimachus how to ambush models and readers, and here he
used Callimachus as his target. In his earlier books, he was practicing already: he was using
Callimachus to justify something that Callimachus never contemplated—elegiac poetry about the
author’s love affair with a woman.
Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
oleh Michael H. Hart
MARTIN LUTHER 1483-1546
Martin Luther, yang pembangkangannya terhadap Gereja Katolik Roma dan melahirkan gerakan reformasi Protestan lahir di tahun 1483 di kota Eisleben, Jerman. Dia memperoleh pendidikan perguruan tinggi yang cukup baik dan pada suatu saat pernah belajar hukum (tampaknya atas dorongan sang ayah). Tetapi, secara keseluruhan dia tidak pernah menyelesaikan pendidikan formal melainkan memilih jadi pendeta Augustinian. Di tahun 1512 dia meraih gelar Doktor dalam teologi dari Universitas Wittenberg dan segera sesudah itu terjun aktif dalam fakultas jurusannya.
Ketidakpuasan dan keluhan-keluhan Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma timbul setingkat demi setingkat. Di tahun 1510 dia melakukan perlawatan ke Roma. Sampai di situ dia terbengong-bengong kaget bukan kepalang menyaksikan pemborosan dan kemewahan duniawi para pendeta gereja Katolik. Tetapi, yang paling mendorongnya melancarkan protes adalah terutama segi perbuatan gereja yang berkaitan dengan masalah pengampunan dosa yang dilakukan oleh gereja. Pada tanggal 31 Oktober 1517 Martin Luther menempel poster di pintu gerbang gereja Wittenberg yang berisi "sembilan puluh lima pokok sikap" yang diantaranya melabrak kemewahan hidup gereja secara umum dan kirim tindasan "sembilan puluh lima pokok sikap"-nya itu kepada Uskup Mainz. Selain itu, dicetaknya pula dan disebar luas ke mana-mana.
Ruang lingkup protes Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma dengan kecepatan luar biasa menjalar dan meluas. Luther meningkatkan serangannya ke jantung masalahnya betul: mengingkari kekuasaan Paus, Dewan Gereja. Martin Luther menegaskan dia cuma tunduk pada tuntunan Injil dan dengan alasan pikiran sehat. Bisa dimengerti, gereja tidak senang dengan pendapat Luther ini. Luther diperintahkan datang menghadap pembesar-pembesar gereja dan sesudah saling dengar pendapat dan adu argumen serta perintah supaya Martin Luther mencampakkan pendapatnya, dia akhirnya dinyatakan "murtad" dan dinyatakan bersalah dan dikucilkan oleh dewan persidangan (1521) dan semua tulisan-tulisannya dinyatakan terlarang dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Mestinya --menurut kebiasaan-- Martin Luther mesti dibakar hangus sampai jadi arang seperti halnya orang yang membakar jerami. Tetapi, pandangan-pandangan Luther sudah tersebar luas dan mempengaruhi orang Jerman serta sebagian kecil bangsawan-bangsawan Jerman. Meski Martin Luther mesti juga pergi sembunyi selama setahun, dukungan terhadap dirinya begitu kuat sehingga dia bisa terlepas dari hukuman-hukuman kriminal yang menimpanya.
Martin Luther seorang penulis tenar dan produktif dan punya pengaruh luas. Salah satu kerja besarnya adalah menterjemahkan Injil kedalam bahasa Jerman. Ini --tentu saja-- membuka pintu bagi tiap orang yang melek huruf mempelajari Injil sendiri tanpa mesti lewat perantara gereja atau pendeta. (Kebetulan, terjemahan yang begitu indah dan sempurna menyebar pengaruh luar biasa terhadap bahasa dan kesusasteraaan Jerman).
Teologi Luther --tentu saja-- mustahil bisa dijabarkan di sini secara ringkas dalam ruang terbatas. Salah satu dari gagasan kuncinya adalah doktrin perlunya keyakinan terhadap kepercayaan semata-mata, suatu gagasan berdasar tulisan-tulisan St. Paul. Luther yakin, manusia menurut kondratnya menjadi suram karena dosa-dosanya dan semata-mata lewat perbuatan dan kerja lebih baik saja yang dapat menyelamatkannya dari kutukan abadi. Penyelamatan hanya datang lewat kepercayaan dan dengan berkat pengampunan Tuhan. Karena itu, menurut Luther, jelaslah sudah bahwa perbuatan gereja menjual pengampunan adalah tidak pada tempatnya dan sia-sia. Dengan begitu sekaligus berarti, pendapat tradisional yang sudah berkarat yang menganggap gereja itu perantara yang tak bisa disingkirkan antara seorang Kristen dengan Tuhan adalah sesungguhnya sesuatu yang sesat. Jika seseorang menganut doktrin Martin Luther, itu artinya hak hidup Gereja Katolik Roma tersapu habis sekali pukul.
Selain itu, dalam hal mempertanyakan peranan hakiki gereja, Luther juga melancarkan protes terhadap pelbagai macam keyakinan dan praktek peribadatan khusus. Misalnya, dia menolak adanya purgatory (keadaan sesudah mati dimana roh memerlukan penyucian lewat penyiksaan sementara), dan dia menolak kemestian membujang buat seorang pendeta. Dia sendiri di tahun 1525 kawin dengan bekas biarawati, punya enam anak. Luther meninggal dunia tahun 1546 di Eisleben tatkala sedang dalam perjalanan mengunjungi kota kelahirannya.
Martin Luther, tentu saja, bukanlah seorang pemikir Protestan pertama. Seabad sebelumnya dia sudah didahului oleh Jan Hus dari Bohemia, dan pada abad ke-14 seorang sarjana Inggris John Wycliffe, malahan di abad ke-12 seorang Perancis bernama Peter Waldo dapat dianggap seorang Protestan pertama. Tetapi, pengaruh para pendahulu Martin Luther itu dalam gerakannya cuma punya daya cakup lokal. Di tahun 1517, ketidakpuasan terhadap gereja Katolik sudah merasuk ke mana-mana. Ucapan-ucapan Martin Luther sudah merupakan kobaran api yang berantai menyebar ke sebagian besar kawasan Eropa. Luther karena itu punya hak yang tak terbantahkan bahwa dialah orang yang bertanggung jawab terhadap sulutan ledakan dinamit pembaharuan.
Konsekuensi yang paling kentara dari gerakan Pembaharuan ini --tentu saja-- terbentuknya pelbagai macam sekte Protestan. Meskipun Protestan cumalah merupakan bagian saja dari kekristenan secara keseluruhan, dan bukan pula merupakan bagian terbesar, tetapi toh penganutnya melampaui jumlah para penganut Buddha bahkan dibanding dengan umumnya agama-agama lain.
Konsekuensi penting dari gerakan Pembaharuan ini adalah menyebar luasnya bentrokan agama bersenjata yang segera menyusul. Beberapa contoh dari perang agama (misalnya Perang Tiga Puluh Tahun di Jerman yang bermula tahun 1618 dan baru berakhir tahun 1648) sungguh-sungguh suatu peperangan berdarah yang menelan banyak korban. Bahkan selain bentrok senjata, pertentangan politik antara Katolik dan Protestan memegang peranan penting di arena politik Eropa selama beberapa abad mendatang.
Pembaharuan juga memegang peranan yang ruwet namun penting dalam perkembangan intelektual Eropa. Sebelum tahun 1517 cuma ada satu gereja, yakni Gereja Roma Katolik dan tiap pembangkang dan yang punya pendapat lain segera dicap "murtad." Iklim main kemplang macam itu karuan saja tidak memberi kesegaran buat kebebasan berfikir. Sesudah pembaharuan karena pelbagai negeri sudah menerima prinsip-prinsip kebebasan berfikir dalam agama, dengan sendirinya memberi rasa aman dalam ihwal melakukan spekulasi terhadap pelbagai macam permasalahan.
Ada pula pengaruh lain yang layak dicatat, kebanyakan tokoh yang termasuk dalam daftar di buku ini adalah dari Inggris, melebihi tokoh-tokoh dari negeri lainnya. Jerman menyusul sesudah Inggris. Dapatlah dikatakan, daftar tokoh-tokoh ini sangat kentara didominasi oleh mereka yang berasal dari negeri-negeri Protestan baik Eropa Utara maupun Amerika. Jika kita teliti, hanya dua orang dari daftar (Gutenberg dan Charlemagne) hidup sebelum tahun 1517. Sebelum tahun itu, sebagian besar orang-orang yang tercantum dalam daftar buku ini berasal dari dunia lain dan orang-orang yang hidup di negeri yang sekarang terkenal dengan negeri Protestan secara perbandingan memberi sumbangan tak seberapa besar terhadap kebudayaan dan sejarah manusia. Ini terang menandakan betapa gerakan Protestan atau gerakan Pembaharuan bertanggung jawab atas fakta betapa banyaknya orang-orang termasyhur dari daerah ini dalam jangka waktu 450 tahun. Mungkin perkembangan kebebasan intelektual di daerah ini merupakan faktor utama.
Luther tidak samasekali terbebas dari kesalahan-kesalahan. Meskipun dia seorang pemberontak terhadap kekuasaan keagamaan, dia bisa bersikap amat cupet dan tidak lapang dada terhadap mereka yang punya pendapat berbeda dengannya dalam masalah keagamaan. Bisa jadi sikap cupet dan tidak lapang dada Luther ini mengakibatkan peperangan agama di Jerman jauh lebih sengit dan lebih berdarah ketimbang misalnya di Inggris. Lagi pula, Martin Luther teramat gawatnya anti Yahudi, dan tulisan-tulisannya yang amat keterlaluan serta hantam kromo terhadap Yahudi besar kemungkinan merupakan dorongan pembuka jalan buat Hitler berbuat kekejaman-kekejaman di abad ke-20.
Luther acap kali menekankan perlunya kepatuhan kepada kekuasaan pemerintahan sipil yang sah. Besar kemungkinan, latar belakang pokoknya adalah karena penolakannya atas campur tangan gereja terhadap pemerintahan sipil. (Jangan lupa, gerakan Pembaharuan bukanlah semata-mata percekcokan teologis, Sampai tingkat tertentu dia juga merupakan pemberontakan Nasionalis Jerman melawan pengaruh Roma, oleh sebab itu layaklah apabila sebagian gerakannya memperoleh dukungan besar dari beberapa pangeran Jerman). Lepas dari maksud-maksud Luther, pernyataannya di atas mendorong kaum Protestan Jerman menerima sikap absolut dalam hal-hal yang menyangkut politik. Dan dengan cara itu pula tulisan-tulisan Martin Luther turut melapangkan jalan bagi era kekuasaan Hitler.
Mungkin ada sebagian orang bertanya-tanya, apa sebab Martin Luther tidak diberi tempat lebih tinggi dalam daftar urutan buku ini. Sebab utamanya, kendati Luther kelihatan punya arti penting buat orang Eropa dan Amerika, dia tidaklah punya makna yang berarti bagi penduduk di Asia dan Afrika karena relatif tidak banyak yang menganut Agama Kristen. Sepanjang menyangkut orang Cina, Jepang atau India, perbedaan antara Katolik dan Protestan tidaklah punya arti penting bagi mereka. (Hal serupa terjadi pada orang Eropa yang tidak begitu tertarik dengan perbedaan yang ada antara kaum Sunni dan kaum Syi'ah dalam Islam).
Alasan kedua, Luther jika ditimbang-timbang, merupakan tokoh sejarah yang baru, karena itu daya jangkau pengaruhnya dalam sejarah kemanusiaan. tidaklah sebesar Muhammad, Buddha; ataupun Musa. Lebih jauh dari itu, dalam masa beberapa abad belakangan ini kepercayaan orang terhadap agama mengalami kemunduran di Barat, dan pengaruh agama terhadap permasalahan manusia dalam waktu 2000 tahun mendatang tampaknya lebih kecil ketimbang ribuan tahun yang lewat. Apabila daya cekam pengaruh agama merosotnya berkelanjutan, Martin Luther naga-naganya akan tampak lebih berkurang lagi arti pentingnya dalam sejarah kemanusiaan daripada yang diperolehnya sekarang.
Akhirnya, kita layak ingat bahwa percekcokan agama di abad-abad ke-16 dan ke-17 sesungguhnya tidak --dalam jangka panjang-- membawa pengaruh bagi kehidupan orang banyak seperti halnya kemajuan ilmu pengetahuan yang terjadi pada saat yang berbarengan. Sesungguhnya, alasan utama apa sebab Luther diletakkan didalam daftar utama lebih atas dari Copernicus (yang hidup sejaman dengannya) adalah karena Luther memainkan peranan lebih besar secara individual didalam gerakan Pembaharuan Protestan ketimbang Copernicus dalam revolusi ilmu pengetahuan.
oleh Michael H. Hart
MARTIN LUTHER 1483-1546
Martin Luther, yang pembangkangannya terhadap Gereja Katolik Roma dan melahirkan gerakan reformasi Protestan lahir di tahun 1483 di kota Eisleben, Jerman. Dia memperoleh pendidikan perguruan tinggi yang cukup baik dan pada suatu saat pernah belajar hukum (tampaknya atas dorongan sang ayah). Tetapi, secara keseluruhan dia tidak pernah menyelesaikan pendidikan formal melainkan memilih jadi pendeta Augustinian. Di tahun 1512 dia meraih gelar Doktor dalam teologi dari Universitas Wittenberg dan segera sesudah itu terjun aktif dalam fakultas jurusannya.
Ketidakpuasan dan keluhan-keluhan Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma timbul setingkat demi setingkat. Di tahun 1510 dia melakukan perlawatan ke Roma. Sampai di situ dia terbengong-bengong kaget bukan kepalang menyaksikan pemborosan dan kemewahan duniawi para pendeta gereja Katolik. Tetapi, yang paling mendorongnya melancarkan protes adalah terutama segi perbuatan gereja yang berkaitan dengan masalah pengampunan dosa yang dilakukan oleh gereja. Pada tanggal 31 Oktober 1517 Martin Luther menempel poster di pintu gerbang gereja Wittenberg yang berisi "sembilan puluh lima pokok sikap" yang diantaranya melabrak kemewahan hidup gereja secara umum dan kirim tindasan "sembilan puluh lima pokok sikap"-nya itu kepada Uskup Mainz. Selain itu, dicetaknya pula dan disebar luas ke mana-mana.
Ruang lingkup protes Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma dengan kecepatan luar biasa menjalar dan meluas. Luther meningkatkan serangannya ke jantung masalahnya betul: mengingkari kekuasaan Paus, Dewan Gereja. Martin Luther menegaskan dia cuma tunduk pada tuntunan Injil dan dengan alasan pikiran sehat. Bisa dimengerti, gereja tidak senang dengan pendapat Luther ini. Luther diperintahkan datang menghadap pembesar-pembesar gereja dan sesudah saling dengar pendapat dan adu argumen serta perintah supaya Martin Luther mencampakkan pendapatnya, dia akhirnya dinyatakan "murtad" dan dinyatakan bersalah dan dikucilkan oleh dewan persidangan (1521) dan semua tulisan-tulisannya dinyatakan terlarang dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Mestinya --menurut kebiasaan-- Martin Luther mesti dibakar hangus sampai jadi arang seperti halnya orang yang membakar jerami. Tetapi, pandangan-pandangan Luther sudah tersebar luas dan mempengaruhi orang Jerman serta sebagian kecil bangsawan-bangsawan Jerman. Meski Martin Luther mesti juga pergi sembunyi selama setahun, dukungan terhadap dirinya begitu kuat sehingga dia bisa terlepas dari hukuman-hukuman kriminal yang menimpanya.
Martin Luther seorang penulis tenar dan produktif dan punya pengaruh luas. Salah satu kerja besarnya adalah menterjemahkan Injil kedalam bahasa Jerman. Ini --tentu saja-- membuka pintu bagi tiap orang yang melek huruf mempelajari Injil sendiri tanpa mesti lewat perantara gereja atau pendeta. (Kebetulan, terjemahan yang begitu indah dan sempurna menyebar pengaruh luar biasa terhadap bahasa dan kesusasteraaan Jerman).
Teologi Luther --tentu saja-- mustahil bisa dijabarkan di sini secara ringkas dalam ruang terbatas. Salah satu dari gagasan kuncinya adalah doktrin perlunya keyakinan terhadap kepercayaan semata-mata, suatu gagasan berdasar tulisan-tulisan St. Paul. Luther yakin, manusia menurut kondratnya menjadi suram karena dosa-dosanya dan semata-mata lewat perbuatan dan kerja lebih baik saja yang dapat menyelamatkannya dari kutukan abadi. Penyelamatan hanya datang lewat kepercayaan dan dengan berkat pengampunan Tuhan. Karena itu, menurut Luther, jelaslah sudah bahwa perbuatan gereja menjual pengampunan adalah tidak pada tempatnya dan sia-sia. Dengan begitu sekaligus berarti, pendapat tradisional yang sudah berkarat yang menganggap gereja itu perantara yang tak bisa disingkirkan antara seorang Kristen dengan Tuhan adalah sesungguhnya sesuatu yang sesat. Jika seseorang menganut doktrin Martin Luther, itu artinya hak hidup Gereja Katolik Roma tersapu habis sekali pukul.
Selain itu, dalam hal mempertanyakan peranan hakiki gereja, Luther juga melancarkan protes terhadap pelbagai macam keyakinan dan praktek peribadatan khusus. Misalnya, dia menolak adanya purgatory (keadaan sesudah mati dimana roh memerlukan penyucian lewat penyiksaan sementara), dan dia menolak kemestian membujang buat seorang pendeta. Dia sendiri di tahun 1525 kawin dengan bekas biarawati, punya enam anak. Luther meninggal dunia tahun 1546 di Eisleben tatkala sedang dalam perjalanan mengunjungi kota kelahirannya.
Martin Luther, tentu saja, bukanlah seorang pemikir Protestan pertama. Seabad sebelumnya dia sudah didahului oleh Jan Hus dari Bohemia, dan pada abad ke-14 seorang sarjana Inggris John Wycliffe, malahan di abad ke-12 seorang Perancis bernama Peter Waldo dapat dianggap seorang Protestan pertama. Tetapi, pengaruh para pendahulu Martin Luther itu dalam gerakannya cuma punya daya cakup lokal. Di tahun 1517, ketidakpuasan terhadap gereja Katolik sudah merasuk ke mana-mana. Ucapan-ucapan Martin Luther sudah merupakan kobaran api yang berantai menyebar ke sebagian besar kawasan Eropa. Luther karena itu punya hak yang tak terbantahkan bahwa dialah orang yang bertanggung jawab terhadap sulutan ledakan dinamit pembaharuan.
Konsekuensi yang paling kentara dari gerakan Pembaharuan ini --tentu saja-- terbentuknya pelbagai macam sekte Protestan. Meskipun Protestan cumalah merupakan bagian saja dari kekristenan secara keseluruhan, dan bukan pula merupakan bagian terbesar, tetapi toh penganutnya melampaui jumlah para penganut Buddha bahkan dibanding dengan umumnya agama-agama lain.
Konsekuensi penting dari gerakan Pembaharuan ini adalah menyebar luasnya bentrokan agama bersenjata yang segera menyusul. Beberapa contoh dari perang agama (misalnya Perang Tiga Puluh Tahun di Jerman yang bermula tahun 1618 dan baru berakhir tahun 1648) sungguh-sungguh suatu peperangan berdarah yang menelan banyak korban. Bahkan selain bentrok senjata, pertentangan politik antara Katolik dan Protestan memegang peranan penting di arena politik Eropa selama beberapa abad mendatang.
Pembaharuan juga memegang peranan yang ruwet namun penting dalam perkembangan intelektual Eropa. Sebelum tahun 1517 cuma ada satu gereja, yakni Gereja Roma Katolik dan tiap pembangkang dan yang punya pendapat lain segera dicap "murtad." Iklim main kemplang macam itu karuan saja tidak memberi kesegaran buat kebebasan berfikir. Sesudah pembaharuan karena pelbagai negeri sudah menerima prinsip-prinsip kebebasan berfikir dalam agama, dengan sendirinya memberi rasa aman dalam ihwal melakukan spekulasi terhadap pelbagai macam permasalahan.
Ada pula pengaruh lain yang layak dicatat, kebanyakan tokoh yang termasuk dalam daftar di buku ini adalah dari Inggris, melebihi tokoh-tokoh dari negeri lainnya. Jerman menyusul sesudah Inggris. Dapatlah dikatakan, daftar tokoh-tokoh ini sangat kentara didominasi oleh mereka yang berasal dari negeri-negeri Protestan baik Eropa Utara maupun Amerika. Jika kita teliti, hanya dua orang dari daftar (Gutenberg dan Charlemagne) hidup sebelum tahun 1517. Sebelum tahun itu, sebagian besar orang-orang yang tercantum dalam daftar buku ini berasal dari dunia lain dan orang-orang yang hidup di negeri yang sekarang terkenal dengan negeri Protestan secara perbandingan memberi sumbangan tak seberapa besar terhadap kebudayaan dan sejarah manusia. Ini terang menandakan betapa gerakan Protestan atau gerakan Pembaharuan bertanggung jawab atas fakta betapa banyaknya orang-orang termasyhur dari daerah ini dalam jangka waktu 450 tahun. Mungkin perkembangan kebebasan intelektual di daerah ini merupakan faktor utama.
Luther tidak samasekali terbebas dari kesalahan-kesalahan. Meskipun dia seorang pemberontak terhadap kekuasaan keagamaan, dia bisa bersikap amat cupet dan tidak lapang dada terhadap mereka yang punya pendapat berbeda dengannya dalam masalah keagamaan. Bisa jadi sikap cupet dan tidak lapang dada Luther ini mengakibatkan peperangan agama di Jerman jauh lebih sengit dan lebih berdarah ketimbang misalnya di Inggris. Lagi pula, Martin Luther teramat gawatnya anti Yahudi, dan tulisan-tulisannya yang amat keterlaluan serta hantam kromo terhadap Yahudi besar kemungkinan merupakan dorongan pembuka jalan buat Hitler berbuat kekejaman-kekejaman di abad ke-20.
Luther acap kali menekankan perlunya kepatuhan kepada kekuasaan pemerintahan sipil yang sah. Besar kemungkinan, latar belakang pokoknya adalah karena penolakannya atas campur tangan gereja terhadap pemerintahan sipil. (Jangan lupa, gerakan Pembaharuan bukanlah semata-mata percekcokan teologis, Sampai tingkat tertentu dia juga merupakan pemberontakan Nasionalis Jerman melawan pengaruh Roma, oleh sebab itu layaklah apabila sebagian gerakannya memperoleh dukungan besar dari beberapa pangeran Jerman). Lepas dari maksud-maksud Luther, pernyataannya di atas mendorong kaum Protestan Jerman menerima sikap absolut dalam hal-hal yang menyangkut politik. Dan dengan cara itu pula tulisan-tulisan Martin Luther turut melapangkan jalan bagi era kekuasaan Hitler.
Mungkin ada sebagian orang bertanya-tanya, apa sebab Martin Luther tidak diberi tempat lebih tinggi dalam daftar urutan buku ini. Sebab utamanya, kendati Luther kelihatan punya arti penting buat orang Eropa dan Amerika, dia tidaklah punya makna yang berarti bagi penduduk di Asia dan Afrika karena relatif tidak banyak yang menganut Agama Kristen. Sepanjang menyangkut orang Cina, Jepang atau India, perbedaan antara Katolik dan Protestan tidaklah punya arti penting bagi mereka. (Hal serupa terjadi pada orang Eropa yang tidak begitu tertarik dengan perbedaan yang ada antara kaum Sunni dan kaum Syi'ah dalam Islam).
Alasan kedua, Luther jika ditimbang-timbang, merupakan tokoh sejarah yang baru, karena itu daya jangkau pengaruhnya dalam sejarah kemanusiaan. tidaklah sebesar Muhammad, Buddha; ataupun Musa. Lebih jauh dari itu, dalam masa beberapa abad belakangan ini kepercayaan orang terhadap agama mengalami kemunduran di Barat, dan pengaruh agama terhadap permasalahan manusia dalam waktu 2000 tahun mendatang tampaknya lebih kecil ketimbang ribuan tahun yang lewat. Apabila daya cekam pengaruh agama merosotnya berkelanjutan, Martin Luther naga-naganya akan tampak lebih berkurang lagi arti pentingnya dalam sejarah kemanusiaan daripada yang diperolehnya sekarang.
Akhirnya, kita layak ingat bahwa percekcokan agama di abad-abad ke-16 dan ke-17 sesungguhnya tidak --dalam jangka panjang-- membawa pengaruh bagi kehidupan orang banyak seperti halnya kemajuan ilmu pengetahuan yang terjadi pada saat yang berbarengan. Sesungguhnya, alasan utama apa sebab Luther diletakkan didalam daftar utama lebih atas dari Copernicus (yang hidup sejaman dengannya) adalah karena Luther memainkan peranan lebih besar secara individual didalam gerakan Pembaharuan Protestan ketimbang Copernicus dalam revolusi ilmu pengetahuan.
MOHANDAS GANDHI 1869-1948
Sesudah Cina, Indialah negeri yang penduduknya terbanyak di dunia, bagaikan bintang-kemintang yang berserakkan di langit lazuardi. Dan bangsa yang begini besar di suatu saat hidup berkaparan di bawah pijakan sepatu lars Inggris yang sambil isap cerutu melecut punggung India dan merampok kekayaan buminya. Bukankah Engels ada menyindir: "Jika Inggris menyebut-nyebut demi Yesus Kristus di India, yang dia maksudkan sebetulnya kapas!"
Mohandas K. Gandhi seorang yang berdiri paling depan dalam gerakan untuk kemerdekaan India, dan hanya dari sudut alasan ini saja banyak orang yang mengusulkan agar dia dimasukkan ke dalam bagian pokok isi buku ini. Walau bagaimana, patutlah diingat, kemerdekaan India dari Inggris akan datang dengan "sendirinya" cepat atau lambat. Sebab, nyatanya kekuatan tertentu dari dorongan sejarah cenderung mengarah ke dekolonisasi. Ini dapat kita saksikan sekarang bahwa kemerdekaan India sudah pasti terlaksana dalam beberapa tahun sesudah tahun 1947 bahkan andaikata Gandhi tak pernah hidup di dunia ini.
Memang betul, cara Gandhi menjalankan pembangkangan sosial tanpa kekerasan akhirnya berhasil "membujuk Inggris angkat kaki" dari negeri itu. Tetapi, kalaulah jalan kekerasan yang ditempuh, tak urung dia toh akan bebas merdeka juga, cepat atau lambat. Karena susah juga menyimpulkan apakah Gandhi secara keseluruhan memperlambat atau mempercepat kebebasan India, tampaknya kita bisa berkongklusi bahwa akibat-akibat inti dari langkah-langkahnya adalah (paling tidak dari segi itu) tidak seberapa besar. Juga bisa ditunjukkan, Gandhi bukanlah pendiri gerakan kemerdekaan India (Kongres Nasional India sudah berdiri sejak tahun 1885), dan bukan juga dia yang merupakan tokoh politik paling penting pada saat kemerdekaan itu diperoleh.
Meski begitu, arti penting Gandhi terletak pada anjuran "tanpa kekerasan-"nya. (Tentu saja, gagasan ini tidaklah sepenuhnya orisinal; Gandhi sendiri secara khusus mengatakan ide itu berasal sebagian dari bacaannya tulisan-tulisan Thoreau, Tolstoy dan Perjanjian Baru dan pula pelbagai tulisan-tulisan pemuka agama Hindu). Tak ragu lagi, politik Gandhi, andaikata bisa diterima dalam skala internasional, dapat mengubah dunia. Malangnya, tak semua bisa menerimanya, bahkan di India sendiri.
Memang betul, di tahun antara 1945-1955 tekniknya digunakan untuk mencoba membujuk Portugis supaya angkat kaki dari Goa, anjuran ini tidak memenuhi sasaran karena beberapa tahun kemudian pemerintah India meringkusnya dengan kekuatan senjata. Tambahan pula, dalam tiga puluh tahun terakhir, India terlibat perang tiga kali dengan Pakistan dan perang perbatasan dengan Cina. Lain-lain negeri juga ogah-ogahan menerima ajaran Gandhi berikut tekniknya. Secara kasarnya, tujuh puluh tahun terhitung sejak Gandhi memperkenalkan teknik "tanpa kekerasan" itu, dunia baku hantam yang penuh gelimang darah. Baku hantam paling hebat dalam sejarah.
Haruskah kita menyimpulkan bahwa selaku filosof Gandhi jelas jelas gagal? Pada saat sekarang ini tampaknya memang begitulah; tetapi, layak diingat bahwa tiga puluh tahun sesudah tiadanya Nabi Isa, seorang Romawi yang cerdas dan sarat informasi tak bisa tidak akan berkesimpulan bahwa Nabi Isa dari Nazareth merupakan suatu "kegagalan" apabila betul-betul dia mendengarkan dan mengikuti Nabi Isa secara keseluruhan! Dan pula tak seorang pun bisa membayangkan di tahun 450 SM betapa akan berpengaruhnya Kong Hu-Cu pada akhirnya. Menilai sejauh apa yang sudah terjadi, Gandhi tampaknya layak hanya termasuk dalam kelompok "orang-orang terhormat."
sumber : Seratus Toko Paling Berpengaruh di Dunia oleh Michael H. Hart
Sesudah Cina, Indialah negeri yang penduduknya terbanyak di dunia, bagaikan bintang-kemintang yang berserakkan di langit lazuardi. Dan bangsa yang begini besar di suatu saat hidup berkaparan di bawah pijakan sepatu lars Inggris yang sambil isap cerutu melecut punggung India dan merampok kekayaan buminya. Bukankah Engels ada menyindir: "Jika Inggris menyebut-nyebut demi Yesus Kristus di India, yang dia maksudkan sebetulnya kapas!"
Mohandas K. Gandhi seorang yang berdiri paling depan dalam gerakan untuk kemerdekaan India, dan hanya dari sudut alasan ini saja banyak orang yang mengusulkan agar dia dimasukkan ke dalam bagian pokok isi buku ini. Walau bagaimana, patutlah diingat, kemerdekaan India dari Inggris akan datang dengan "sendirinya" cepat atau lambat. Sebab, nyatanya kekuatan tertentu dari dorongan sejarah cenderung mengarah ke dekolonisasi. Ini dapat kita saksikan sekarang bahwa kemerdekaan India sudah pasti terlaksana dalam beberapa tahun sesudah tahun 1947 bahkan andaikata Gandhi tak pernah hidup di dunia ini.
Memang betul, cara Gandhi menjalankan pembangkangan sosial tanpa kekerasan akhirnya berhasil "membujuk Inggris angkat kaki" dari negeri itu. Tetapi, kalaulah jalan kekerasan yang ditempuh, tak urung dia toh akan bebas merdeka juga, cepat atau lambat. Karena susah juga menyimpulkan apakah Gandhi secara keseluruhan memperlambat atau mempercepat kebebasan India, tampaknya kita bisa berkongklusi bahwa akibat-akibat inti dari langkah-langkahnya adalah (paling tidak dari segi itu) tidak seberapa besar. Juga bisa ditunjukkan, Gandhi bukanlah pendiri gerakan kemerdekaan India (Kongres Nasional India sudah berdiri sejak tahun 1885), dan bukan juga dia yang merupakan tokoh politik paling penting pada saat kemerdekaan itu diperoleh.
Meski begitu, arti penting Gandhi terletak pada anjuran "tanpa kekerasan-"nya. (Tentu saja, gagasan ini tidaklah sepenuhnya orisinal; Gandhi sendiri secara khusus mengatakan ide itu berasal sebagian dari bacaannya tulisan-tulisan Thoreau, Tolstoy dan Perjanjian Baru dan pula pelbagai tulisan-tulisan pemuka agama Hindu). Tak ragu lagi, politik Gandhi, andaikata bisa diterima dalam skala internasional, dapat mengubah dunia. Malangnya, tak semua bisa menerimanya, bahkan di India sendiri.
Memang betul, di tahun antara 1945-1955 tekniknya digunakan untuk mencoba membujuk Portugis supaya angkat kaki dari Goa, anjuran ini tidak memenuhi sasaran karena beberapa tahun kemudian pemerintah India meringkusnya dengan kekuatan senjata. Tambahan pula, dalam tiga puluh tahun terakhir, India terlibat perang tiga kali dengan Pakistan dan perang perbatasan dengan Cina. Lain-lain negeri juga ogah-ogahan menerima ajaran Gandhi berikut tekniknya. Secara kasarnya, tujuh puluh tahun terhitung sejak Gandhi memperkenalkan teknik "tanpa kekerasan" itu, dunia baku hantam yang penuh gelimang darah. Baku hantam paling hebat dalam sejarah.
Haruskah kita menyimpulkan bahwa selaku filosof Gandhi jelas jelas gagal? Pada saat sekarang ini tampaknya memang begitulah; tetapi, layak diingat bahwa tiga puluh tahun sesudah tiadanya Nabi Isa, seorang Romawi yang cerdas dan sarat informasi tak bisa tidak akan berkesimpulan bahwa Nabi Isa dari Nazareth merupakan suatu "kegagalan" apabila betul-betul dia mendengarkan dan mengikuti Nabi Isa secara keseluruhan! Dan pula tak seorang pun bisa membayangkan di tahun 450 SM betapa akan berpengaruhnya Kong Hu-Cu pada akhirnya. Menilai sejauh apa yang sudah terjadi, Gandhi tampaknya layak hanya termasuk dalam kelompok "orang-orang terhormat."
sumber : Seratus Toko Paling Berpengaruh di Dunia oleh Michael H. Hart
PERBEDAAN PADA INDIVIDU DENGAN OTAK KIRI, OTAK KANAN DAN KEDUA OTAK. (Freed 1997) A. INDIVIDU DENGAN OTAK KIRI
Informasi diproses secara dengar (auditory); Orang ini senang berbicara dan menuliskan sesuatu. Informasi yang didapat sedikit-sedikit, untuk mengetahui sesuatu secara gambaran utuh. Mudah menangkap peraturan peraturan pada mengeja, tata bahasa, pemisahan kata dan mudah memahami bahasa asing. Pola berpikirnya runtut ( sequensial), sangat logis dan analitik, senang membuat daftar. Senang membuat aturan dan menaati aturan. Belajar lebih berhasil dengan mengetahui langkah demi langkah yang harus dikerjakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dibanding bila didemonstrasikan. Ingatan disimpan dalam bentuk nama dan kata kata dibandingkan dengan diimajinasikan. Biasanya sangat reliable, prestasi disekolah baik. Menyukai sesuatu yang dikenalnya dan yang dapat diperkirakannya. Tidak menyenangi tantangan, ide baru dan perubahan pada rutinitas. Mempunyai kecenderungan untuk menerima dan menghargai apa yang didengar dan dibaca daripada bertanya dan berpikir secara mandiri.
Mengerjakan sesuatu lebih memilih dalam kelompok dibanding bekerja sendiri. Akan berhasil dalam pekerjaan rutinitas, tapi tidak berhasil bila memerlukan kreatifitas untuk penyelesaian masalah. B. INDIVIDU DENGAN OTAK KANAN Tipe pembelajaran visual (melalui rangsang mata). Dia akan belajar dengan gambar lalu membuat dengan caranya sendiri Intuitif dan prosesnya acak (tidak berurutan) Informasi terutama disimpan dalam bentuk gambar. Ingatan visualnya kuat, ingatan dengarnya lemah. Ingatan dalam imajinasi dapat bertahan dalam waktu yang lama Terdapat keterlambatan dalam memproses sesuatu yang didengar, karena kata yang didengar harus diubah menjadi gambar mental (mental picture). Bila mengingat seseorang atau kejadian, akan ingat imajinasi orang tersebut dan dapat mengingat detail kejadian Kurang mampu untuk menampilkan sesuatu secara logis, atau pekerjaan yang berhubungan dengan bahasa.Lebih memilih menggambar dan berkreasi dibanding menulis dan bicara. Senang mengerjakan beberapa pekerjaan pada saat yang bersamaan. Menyukai pekerjaan dimana mereka dapat bergerak bebas dan tidak perlu duduk diam. Tidak menyukai aturan, impulsif dan sering bertanya. Menyenangi tantangan baru, penuh ide, sangat kompetitif dan perfeksionis. Seorang genius yang kreatif, menyenangi seni dan musik Cara berpikirnya menyeluruh (holistik), proses belajar secara menyeluruh untuk mengetahui bagian bagian kecil (whole to part learners) Berpikirnya spasial (ruang) dan 3 dimensi Keterampilan didapat dari demonstrasi, tidak dari penjelasan tahapan tahapan yang harus dilalui
C. INDIVIDU DENGAN OTAK KIRI-KANAN
Mempunyai kemampuan untuk memindahkan pekerjaan sesuai dengan otak yang dibutuhkan. Bila melibatkan proses membaca dan melakukan pekerjaan yang logis, dapat berlaku secara efisien dan secara berurutan. Mempunyai kemampuan kreatif misalnya menggambar, memainkan musik Mempunyai kemampuan (menyeluruh) holistic untuk menyelesaikan masalah yang besar dan perhatian detail. Mempunyai kemampuan untuk mengorganisir dari otak kiri dan kemampuan kreatif dan brilliant dari otak kanan.
Informasi diproses secara dengar (auditory); Orang ini senang berbicara dan menuliskan sesuatu. Informasi yang didapat sedikit-sedikit, untuk mengetahui sesuatu secara gambaran utuh. Mudah menangkap peraturan peraturan pada mengeja, tata bahasa, pemisahan kata dan mudah memahami bahasa asing. Pola berpikirnya runtut ( sequensial), sangat logis dan analitik, senang membuat daftar. Senang membuat aturan dan menaati aturan. Belajar lebih berhasil dengan mengetahui langkah demi langkah yang harus dikerjakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dibanding bila didemonstrasikan. Ingatan disimpan dalam bentuk nama dan kata kata dibandingkan dengan diimajinasikan. Biasanya sangat reliable, prestasi disekolah baik. Menyukai sesuatu yang dikenalnya dan yang dapat diperkirakannya. Tidak menyenangi tantangan, ide baru dan perubahan pada rutinitas. Mempunyai kecenderungan untuk menerima dan menghargai apa yang didengar dan dibaca daripada bertanya dan berpikir secara mandiri.
Mengerjakan sesuatu lebih memilih dalam kelompok dibanding bekerja sendiri. Akan berhasil dalam pekerjaan rutinitas, tapi tidak berhasil bila memerlukan kreatifitas untuk penyelesaian masalah. B. INDIVIDU DENGAN OTAK KANAN Tipe pembelajaran visual (melalui rangsang mata). Dia akan belajar dengan gambar lalu membuat dengan caranya sendiri Intuitif dan prosesnya acak (tidak berurutan) Informasi terutama disimpan dalam bentuk gambar. Ingatan visualnya kuat, ingatan dengarnya lemah. Ingatan dalam imajinasi dapat bertahan dalam waktu yang lama Terdapat keterlambatan dalam memproses sesuatu yang didengar, karena kata yang didengar harus diubah menjadi gambar mental (mental picture). Bila mengingat seseorang atau kejadian, akan ingat imajinasi orang tersebut dan dapat mengingat detail kejadian Kurang mampu untuk menampilkan sesuatu secara logis, atau pekerjaan yang berhubungan dengan bahasa.Lebih memilih menggambar dan berkreasi dibanding menulis dan bicara. Senang mengerjakan beberapa pekerjaan pada saat yang bersamaan. Menyukai pekerjaan dimana mereka dapat bergerak bebas dan tidak perlu duduk diam. Tidak menyukai aturan, impulsif dan sering bertanya. Menyenangi tantangan baru, penuh ide, sangat kompetitif dan perfeksionis. Seorang genius yang kreatif, menyenangi seni dan musik Cara berpikirnya menyeluruh (holistik), proses belajar secara menyeluruh untuk mengetahui bagian bagian kecil (whole to part learners) Berpikirnya spasial (ruang) dan 3 dimensi Keterampilan didapat dari demonstrasi, tidak dari penjelasan tahapan tahapan yang harus dilalui
C. INDIVIDU DENGAN OTAK KIRI-KANAN
Mempunyai kemampuan untuk memindahkan pekerjaan sesuai dengan otak yang dibutuhkan. Bila melibatkan proses membaca dan melakukan pekerjaan yang logis, dapat berlaku secara efisien dan secara berurutan. Mempunyai kemampuan kreatif misalnya menggambar, memainkan musik Mempunyai kemampuan (menyeluruh) holistic untuk menyelesaikan masalah yang besar dan perhatian detail. Mempunyai kemampuan untuk mengorganisir dari otak kiri dan kemampuan kreatif dan brilliant dari otak kanan.
PAKISTAN 2
Kemerdekaan PakistanOn tanggal 14 dan 15 Agustus 1947, British India memberi jalan untuk dua
negara merdeka baru, Dominion Pakistan dan Uni India, kedua kerajaan yang bergabung dengan
Persemakmuran Inggris.Namun, keputusan dipahami dan kontroversial sakit untuk membagi Punjab
dan Bengal, dua provinsi terbesar, antara India dan Pakistan telah konsekuensi bencana.Divisi ini
dibuat kekerasan antar-agama, sedemikian pertukaran penduduk di sepanjang garis agama menjadi
suatu kebutuhan dalam provinsi.Lebih dari dua juta orang bermigrasi melintasi perbatasan baru dan
lebih dari seratus ribu tewas dalam serentetan kekerasan komunal, yang menyebar bahkan di luar
provinsi tersebut.kemerdekaan ini juga menghasilkan ketegangan atas Kashmir yang mengarah ke
Perang India-Pakistan 1947.Pasca-kemerdekaan sejarah politik Pakistan telah ditandai dengan
beberapa periode kekuasaan militer otoriter dan sengketa wilayah berkelanjutan dengan India atas
status Kashmir, dan dengan Afghanistan selama era hari Pashtunistan issue.Modern PakistanFirst
demokratis (1947-1958) Antara 1947dan 1971, Pakistan terdiri dari dua wilayah yang terpisah secara
geografis, Pakistan Barat dan Pakistan Timur.Dalam satu tahun pemerintahan demokratis, perbedaan
antara dua sayap Pakistan muncul: Ketika Jinnah dideklarasikan pada 1948 di Dhaka yang Urdu akan
menjadi bahasa-satunya negara Pakistan, itu memicu protes di Bengal Timur (Pakistan Timur
kemudian), dimana Bengali diucapkanoleh sebagian besar penduduk.Para Bengali Bahasa Gerakan
mencapai puncaknya pada 21, Februari 1952 ketika polisi dan tentara menembakkan membuka dekat
Dhaka Medical College pada siswa memprotes Bengali untuk menerima status yang sama dengan
Urdu.Beberapa pengunjuk rasa tewas, dan gerakan ini mendapat dukungan lebih lanjut ke seluruh
Pakistan Timur.Kemudian, Pemerintah menyetujui untuk memberikan status yang sama ke Bengali
sebagai bahasa negara Pakistan, hak kemudian dikodifikasi dalam constitution.In 1956 1953 atas
prakarsa partai-partai keagamaan, anti-Ahmadiyah kerusuhan meletus, menewaskan puluhan Ahmadi
dan menghancurkan sifat mereka. [37] Kerusuhan diselidiki oleh pengadilan dua anggota penyelidikan
pada tahun 1954, [38] yang dikritik oleh Jamaat-e-Islami, salah satu pihak yang dituduh menghasut
kerusuhan. [39] Acara ini menyebabkancontoh pertama darurat militer di negara ini dan memulai
serangan intervensi militer dalam politik dan urusan sipil negara, sesuatu yang tetap sampai hari ini
[40]. Pertama era militer (1958-1971) The Dominion dibubarkan pada tanggal 23Maret 1956 dan
digantikan oleh Republik Islam Pakistan, dengan Gubernur Jenderal terakhir, Iskandar Mirza, sebagai
presiden pertama [41] Hanya. dua tahun kemudian militer mengambil alih bangsa. [42] Marsekal Ayub
Khan menjadi presidendan mulai sistem baru Demokrasi pemerintah Dasar disebut dengan konstitusi
baru, [43] dimana sebuah perguruan pemilihan 80.000 akan memilih Presiden.Ayub Khan hampir
kalah dalam pemilu 1965 kontroversial presiden ke Fatima Jinnah [44]. Selama pemerintahan Ayub,
hubungan dengan Amerika Serikat dan Barat semakin kuat.Pakistan bergabung dengan dua aliansi
militer formal - Pakta Baghdad (kemudian dikenal sebagai Central Treaty Organization atau Cento)
yang termasuk Iran, Irak, dan Turki untuk membela Timur Tengah dan Teluk Persia melawan Uni
Soviet; [45] dan Perjanjian Asia TenggaraOrganization (SEATO) yang meliputi Asia Tenggara [46]
Namun,. Amerika Serikat Pakistan kecewa dengan mengadopsi kebijakan menyangkal bantuan militer
kepada kedua India dan Pakistan selama Perang India-Pakistan tahun 1965 atas Kashmir dan Rann
Kutch.[47] Keuntungan positif dari perjanjian adalah srengthening kembali obligasi sejarah Pakistan
dengan barat neighbours.During tahun 1960-an, di tengah-tengah tuduhan bahwa pembangunan
ekonomi dan mempekerjakan pekerjaan disukai pemerintah Pakistan Barat, ada peningkatan
nasionalisme Bengali dangerakan kemerdekaan di Pakistan Timur mulai mengumpulkan tanah.Setelah
pemberontakan nasional pada tahun 1969, Jenderal Ayub Khan mengundurkan diri dari jabatannya,
menyerahkan kekuasaan untuk Jenderal Yahya Khan, yang berjanji untuk mengadakan pemilihan
umum pada akhir 1970.Pada malam pemilihan, angin topan melanda Pakistan Timur menewaskan
sekitar 500.000 orang.Meskipun tragedi dan kesulitan tambahan yang dialami oleh warga yang terkena
dampak dalam mencapai tempat pemungutan suara, pemilu diadakan dan hasilnya menunjukkan
pembagian yang jelas antara Timur dan Pakistan Barat.Liga Awami, yang dipimpin oleh Sheikh
Mujibur Rahman, memenangkan mayoritas dengan 167 dari 169 kursi Pakistan Timur, tapi tanpa kursi
di Pakistan Barat, di mana Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dipimpin oleh Zulfikar Ali Bhutto,
memenangkan 85 kursi.Namun, Yahya Khan dan Bhutto menolak untuk menyerahkan kekuasaan
untuk Mujib.Meanwhile, Mujib memulai gerakan pembangkangan sipil, yang sangat didukung oleh
masyarakat umum Pakistan Timur, termasuk pekerja pemerintah yang paling.Konferensi meja bundar
antara Yahya, Bhutto, dan Mujib diselenggarakan di Dhaka, yang, bagaimanapun, berakhir tanpa
solusi.Segera setelah itu, Tentara Pakistan Barat dimulai Operasi Searchlight, suatu tindakan keras
yang diselenggarakan pada tentara Pakistan Timur, polisi, politisi, sipil, dan mahasiswa di
Dhaka.Mujib dan banyak lainnya pemimpin Liga Awami ditangkap, sementara yang lain melarikan
diri ke negara tetangga India.tindakan keras ini melebar dan meningkat menjadi perang gerilya antara
tentara Pakistan dan Bahini Mukti (Bengali "pejuang kebebasan"). [8] Pada bulan Maret 1971, India
Perdana Menteri mengumumkan dukungan untuk gerakan kemerdekaan Timor Pakistan, memberikan
bantuan militer dan membuka Indiaperbatasan untuk pengungsi Bengali - akhirnya lebih dari 10 juta
dan terutama Hindu - melarikan diri dari konflik.Pada tanggal 27 Maret 1971, Mayor Ziaur Rahman,
perang Bengali-veteran Resimen Bengal Timur Angkatan Darat Pakistan, mendeklarasikan
kemerdekaan Pakistan Timur sebagai negara baru Bangladesh atas nama Mujib.Following masa
intervensi rahasia dan terbuka olehpasukan India dalam perang sipil di Pakistan Timur, permusuhan
terbuka pecah antara kedua negara pada tanggal 3 Desember 1971.Di Pakistan Timur, Angkatan Darat
Pakistan yang dipimpin oleh Jenderal AAK Niazi, sudah lemah dan letih oleh perang gerilya Bahini
Mukti.Terkepung dan kewalahan, tentara Pakistan di timur teater menyerah pada tanggal 16 Desember
1971, dengan hampir 90.000 prajurit diambil sebagai tawanan perang.Hasilnya adalah munculnya de
facto bangsa baru di Bangladesh, [9] dan mengakhiri 24 tahun serikat bergolak dari dua sayap.Angkaangka
dari jumlah korban tewas Bengali sipil dari perang sipil seluruh sangat bervariasi, tergantung
pada sumber-sumber.Meskipun pembunuhan Bengali adalah tidak didukung oleh masyarakat Pakistan
Barat, hal itu berlangsung selama 9 bulan.laporan resmi Pakistan, oleh anak Hamood-ur-Rahman
Komisi, tempat angka di hanya 26.000, sedangkan sumber lainnya disiapkan nomor antara 1,25-
1500000.angka tertinggi, dilaporkan hanya di media, adalah 3 million.Discredited oleh kekalahan,
Jenderal Yahya Khan mengundurkan diri dan Bhutto dilantik sebagai presiden dan administrator
hukum kepala militer pada tanggal 20 Desember demokratis 1971.Second era (1971-1977)
pemerintahan sipil kembali setelahperang, ketika Jenderal Yahya Khan menyerahkan kekuasaan
kepada Zulfikar Ali Bhutto.Pada tahun 1972, intelijen Pakistan mengetahui bahwa India dekat dengan
mengembangkan bom nuklir, dan di respon, Bhutto membentuk sekelompok insinyur dan ilmuwan,
dipimpin oleh ilmuwan nuklir Abdus Salam - yang kemudian memenangkan Hadiah Nobel untuk
Fisika - untuk mengembangkan perangkat nuklir.Pada tahun 1973, Parlemen menyetujui konstitusi
baru.Pakistan adalah khawatir dengan uji coba nuklir India tahun 1974, dan Bhutto berjanji bahwa
Pakistan juga akan memiliki perangkat nuklir "bahkan jika kita harus makan rumput dan daun."
Selama pemerintahan Bhutto, pemberontakan serius juga berlangsung di provinsi Balochistan dan
menyebabkanpenindasan keras pemberontak Baloch dengan Shah Iran konon membantu dengan
dukungan udara untuk mencegah konflik dari tumpah ke Iran Balochistan.Konflik berakhir kemudian
setelah amnesti dan stabilisasi selanjutnya oleh militer penguasa Rahimuddin provinsi Khan.Pada
tahun 1974, Bhutto menyerah pada meningkatnya tekanan dari partai-partai keagamaan dan membantu
DPR untuk menyatakan penganut Ahmadiyah sebagai non-Muslim.Pemilu diadakan pada tahun 1977,
dengan Partai Rakyat memenangkan tapi ini ditentang oleh pihak oposisi, yang menuduh Bhutto dari
kecurangan suara.Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tidak
berdarah dan Bhutto kemudian dieksekusi, setelah dinyatakan bersalah otorisasi pembunuhan lawan
politik, dalam keputusan 4-3 split kontroversial oleh era Court.Second Agung militer (1977 -1988)
Pakistan telah menjadi sekutu AS untuk jauh dari Perang Dingin, dari tahun 1950 dan sebagai anggota
Cento dan SEATO.Invasi Soviet ke Afghanistan diperbaharui dan memperdalam aliansi ASPakistan.
Pemerintahan Reagan di Amerika Serikat membantu pengadaan dan membiayai
pemberontakan anti-Soviet di Afghanistan, menggunakan Pakistan sebagai kanal.Dalam pembalasan,
polisi rahasia Afghanistan, KHAD, melakukan sejumlah besar operasi teroris terhadap Pakistan, yang
juga menderita dari masuknya senjata ilegal dan obat-obatan dari Afghanistan.Pada 1980-an, sebagai
negara garis depan dalam perjuangan anti-Soviet, Pakistan menerima bantuan besar dari Amerika
Serikat sebagai yang dibutuhkan dalam jutaan Afghanistan (kebanyakan Pashtun) pengungsi
melarikan diri dari pendudukan Soviet.Masuknya pengungsi begitu banyak - populasi pengungsi
terbesar di dunia [48] - memiliki dampak berat di Pakistan dan dampaknya terus hari ini.bela diri
hukum administrasi Jenderal Zia secara bertahap terbalik kebijakan sosialis pemerintah sebelumnya,
dan juga memperkenalkan hukum Islam yang ketat pada tahun 1978, sering disebut sebagai faktor
yang berkontribusi dalam iklim kini sektarianisme dan fundamentalisme religius di
Pakistan.Ordonansi XX diperkenalkan untuk membatasi kebebasan Ahmadiyah untuk memanggil diri
mereka Muslim di Pakistan.Selanjutnya, pada masanya, pemberontakan separatis di Balochistan
adalah meletakkan kekerasan tetapi berhasil oleh gubernur provinsi, Jenderal Zia diangkat
Rahimuddin Khan.General darurat militer pada tahun 1985, menyelenggarakan pemilihan non-partisan
dan handpicking Muhammad Khan Junejo untuk menjadi Perdana Menteri baru,yang siap
memperpanjang masa Zia sebagai Kepala Staf Angkatan Darat hingga 1990.Namun Junejo secara
bertahap jatuh dengan Zia independensi administrasinya tumbuh, misalnya, Junejo menandatangani
Accord Jenewa, yang sangat disukai Zia.Setelah ledakan besar-besaran di tempat pembuangan amunisi
di Ojhri, Junejo bersumpah untuk membawa ke pengadilan mereka yang bertanggung jawab atas
kerusakan yang signifikan akibat, melibatkan beberapa jenderal senior.Zia menolak pemerintah Junejo
atas tuduhan beberapa pada Mei 1988 dan menyerukan pemilihan umum pada bulan November
1988.Namun, Jenderal Zia tewas dalam kecelakaan pesawat pada tanggal 17 Agustus era 1988.Third
demokratis (1988-1999) Dari tahun 1988 hingga 1999, Pakistan diperintah oleh pemerintah sipil,
bergantian dipimpin oleh Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif, yang masing-masing dipilih dua kali
dandiberhentikan dari jabatannya atas tuduhan korupsi.Selama 1990-an, Pakistan adalah salah satu
dari tiga negara yang mengakui pemerintahan Taliban dan Mullah Muhammad Omar sebagai penguasa
yang sah di Afghanistan [49] Tuduhan miliki. Telah dibuat dari Pakistan dan negara-negara lain yang
menyediakan bantuan ekonomi dan militer untuk kelompok dari 1994 sebagaibagian untuk
mendukung aliansi anti-Soviet.Dikatakan bahwa beberapa pasca-invasi pejuang Taliban adalah calon
diambil dari madrasah Pakistan.Pertumbuhan ekonomi menurun menjelang akhir periode ini, terluka
oleh krisis keuangan Asia, dan sanksi ekonomi yang dikenakan pada Pakistan setelah tes pertama dari
perangkat nuklir pada tahun 1998.Pengujian Pakistan datang tak lama setelah India diuji perangkat
nuklir dan meningkatkan kekhawatiran perlombaan senjata nuklir di Asia Selatan.Tahun berikutnya,
Konflik Kargil di Kashmir mengancam akan meningkat menjadi perang skala penuh [10] Pada pemilu
1997 yang kembali Nawaz Sharif sebagai Perdana Menteri, pihaknya menerima mayoritas suara
berat,. Mendapatkan cukup kursi di parlemen untukmengubah konstitusi, yang Sharif diubah untuk
menghilangkan pemeriksaan formal dan saldo yang menahan kekuatan Perdana Menteri.Kelembagaan
tantangan kepada otoritas yang dipimpin oleh Presiden Farooq Leghari sipil, militer kepala Jehangir
Karamat dan Hakim Agung Sajjad Ali Shah adalah meletakkan dan ketiga dipaksa untuk
mengundurkan diri - Shah melakukan hal itu setelah Mahkamah Agung diserbu oleh pendukung Sharif
[50].era militer Ketiga (1999 - 2007) Pada tanggal 12 Oktober 1999, Sharif berusaha memecat
panglima militer Pervez Musharraf dan menginstal Inter-Services Intelligence (ISI) direktur Ziauddin
Butt di tempatnya, tapi jenderal-jenderal senior menolak untuk menerima keputusan [51] Musharraf.,
yang berada di luar negeri, naik pesawat komersial untuk kembali ke Pakistan.Sharif memerintahkan
Jinnah International Airport untuk mencegah pendaratan pesawat, yang kemudian melingkari langit di
atas Karachi.Dalam kudeta, para jenderal menggulingkan pemerintahan Sharif dan mengambil alih
bandara [11] Pesawat tersebut mendarat dengan hanya beberapa menit bahan bakar untuk. Cadang,
dan Jenderal Musharraf memegang kendali pemerintah.Dia ditangkap Sharif dan para anggota
kabinetnya yang mengambil bagian dalam konspirasi ini.Presiden Amerika Bill Clinton merasa bahwa
tekanan untuk memaksa Sharif untuk menarik pasukan Pakistan dari Kargil, di Kashmir India
dikendalikan, adalah salah satu alasan utama perbedaan pendapat antara Sharif dan tentara
Pakistan.Clinton dan Raja Fahd kemudian menekan Musharraf untuk cadangan Sharif dan, sebagai
gantinya, dia diasingkan ke Arab Saudi, menjamin bahwa ia tidak akan terlibat dalam politik selama
sepuluh tahun.Sharif tinggal di Arab Saudi selama lebih dari enam tahun sebelum pindah ke London
pada 2005.On 12 Mei 2000 Mahkamah Agung Pakistan memerintahkan Pemerintah untuk
menyelenggarakan pemilihan umum dengan 12 Oktober 2002.Dalam upaya untuk melegitimasi
kepresidenannya [52] dan menjamin kelangsungannya setelah pemilu yang akan datang, Musharraf
mengadakan referendum nasional yang kontroversial pada tanggal 30 April, 2002 [53] yang
diperpanjang masa jabatan presiden untuk periode yang berakhir lima tahun setelah pemilu Oktober.
[54] Musharraf memperkuat posisinya dengan mengeluarkan Kerangka Hukum Order pada bulan
Agustus 2001 yang ditetapkan landasan konstitusional untuk kelanjutan jabatannya. [55] Pemilihan
umum diadakan pada bulan Oktober 2002 dan, sentris pro-Musharraf Pakistan Muslim League (Q)
(PML-Q) memenangkan mayoritas kursi di parlemen.Namun, pihak menentang Kerangka Hukum
Orde efektif lumpuh Majelis Nasional selama lebih dari setahun.kebuntuan itu berakhir pada bulan
Desember 2003, ketika Musharraf dan beberapa lawan parlementernya disepakati kompromi, dan pro-
Musharraf legislator mampu mengumpulkan mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan untuk lulus
Amandemen Seventeenth, yang secara retroaktif dilegitimasi 1999 kudeta Musharraf dan banyak
darinya keputusan berikutnya.Dalam sebuah mosi percaya pada 1 Januari 2004, Musharraf
memenangkan 658 dari 1.170 suara dalam Pemilihan College Pakistan, dan menurut Pasal 41 (8) dari
Konstitusi Pakistan, terpilih ke kantor Presiden [56] Sementara.reformasi ekonomi yang dilakukan
selama rezimnya menghasilkan hasil yang positif, program reformasi sosial dan pandangan liberal
nya, misalnyapada reformasi versi ekstrimis dari praktek-praktek lazim dalam Islam, bertemu dengan
perlawanan.Musharraf menghadapi ancaman dari ekstremis keagamaan, yang marah oleh post-9/11
dekat aliansi politiknya dengan Amerika Serikat dan dukungan militer kepada Amerika memimpin
invasi 2001 di Afghanistan, ia selamat beberapa upaya pembunuhan oleh kelompok-kelompok
diyakini menjadi bagian dari Al-Qaeda, termasuk setidaknya dua contoh dimana mereka dalam
informasi dari anggota security.Pakistan militer terus terlibat dalam sengketa Kashmir, dengan dugaan
dukungan dari kelompok-kelompok teror separatis-yang dilontarkan terhadap Pakistan oleh India,
sementara Pakistantuduhan bahwa pemerintah India pelanggaran hak asasi manusia dalam penggunaan
yang berlebihan kekuatan militer di wilayah yang disengketakan.Apa yang membuat ini sengketa
sumber perhatian khusus bagi masyarakat dunia adalah bahwa baik India dan Pakistan memiliki
senjata nuklir.Hal itu menyebabkan kebuntuan nuklir pada tahun 2002, ketika Kashmir-militan, diduga
didukung oleh ISI, menyerang parlemen India.Dalam reaksi ini, ketegangan diplomatik serius
dikembangkan dan India dan Pakistan dikerahkan 500.000 dan 120.000 pasukan ke perbatasan
masing-masing [57] Sementara proses perdamaian India-Pakistan sejak membuat kemajuan., Kadangkadang
terhenti oleh aktivitas gerilyawan jarang di India, sepertisebagai 11 Juli 2006 bom kereta
Mumbai.Pakistan juga telah dituduh memberikan kontribusi bagi proliferasi nuklir; ilmuwan
terkemuka nuklirnya, Abdul Qadeer Khan, mengakui menjual rahasia nuklir, meskipun ia menyangkal
pengetahuan pemerintah activities.After nya invasi pimpinan Amerika di Afghanistan, pemerintah
Pakistan, sebagaisekutu, mengirim ribuan pasukan ke wilayah pegunungan di Waziristan pada tahun
2002, untuk mencari bin Laden-(yang menyalahkan AS untuk mengurus master-serangan 11
September pada tahun 2001) dan lainnya bersenjata Al-Qaeda, yang diduga telah diambilmengungsi di
sana.Pada bulan Maret 2004, pertempuran sengit pecah di Azam Warsak (dekat kota Waziristan
Selatan Wana), antara pasukan Pakistan dan militan ini (diperkirakan 400 ekor), yang bercokol di
pemukiman beberapa benteng.Hal ini berspekulasi bahwa wakil bin Laden Ayman al-Zawahiri di
antara mereka terjebak oleh Tentara Pakistan.Pada September 5, 2006 gencatan senjata ditandatangani
dengan para militan dan para pendukung lokal mereka pemberontak, (yang menyebut dirinya Emirat
Islam Waziristan), di mana para pemberontak adalah untuk berhenti mendukung militan dalam
serangan lintas-perbatasan di Afghanistan sebagai imbalan atasgencatan senjata dan amnesti umum
dan tangan-over-patroli perbatasan dan tanggung jawab check-point, sampai kemudian ditangani oleh
perdana menteri Army.Former Pakistan Nawaz Sharif berusaha untuk kembali dari pengasingan pada
tanggal 10 September 2007 dan telah ditangkap atas tuduhan korupsi setelah mendaratdi Bandara
Internasional Islamabad.Sharif kemudian diletakkan di pesawat menuju Jeddah, Arab Saudi,
sedangkan di luar bandara ada konfrontasi kekerasan antara pendukung Sharif dan polisi. [58] ini tidak
menghalangi lain mantan perdana menteri, Benazir Bhutto, dari kembali pada 18 Oktober,2007,
setelah delapan tahun pengasingan di Dubai dan London, untuk mempersiapkan pemilu parlemen yang
akan diselenggarakan pada tahun 2008 [59] [60] Namun,. pada hari yang sama, dua pembom bunuh
diri mencoba untuk membunuh Bhutto saat ia melakukan perjalanan menuju kampanye
diKarachi.Bhutto lolos tanpa cedera namun ada 136 korban dan setidaknya 450 orang terluka [61]
Pada tanggal 3 November 2007., Jenderal Musharraf menyatakan keadaan darurat dan memecat Ketua
Mahkamah Agung Pakistan, Iftikhar Muhammad Keadilan Choudhry bersama dengan 14
hakimMahkamah Agung. [62] [63] Pengacara melancarkan protes terhadap tindakan ini, tetapi mereka
ditangkap.Semua saluran media swasta dilarang termasuk saluran asing.Musharraf menyatakan bahwa
keadaan darurat akan berakhir pada tanggal 16 Desember 2007. [64] Pada tanggal 28 Nopember 2007,
Jenderal Musharraf mengundurkan diri dari Angkatan Darat dan hari berikutnya dilantik untuk masa
jabatan presiden kedua [65] [66] Aktif.November 25, 2007, Nawaz Sharif melakukan upaya kedua
untuk kembali dari pengasingan, kali ini disertai oleh saudaranya, mantan menteri Punjab kepala,
Shahbaz Sharif.Ratusan pendukung mereka, termasuk beberapa pemimpin partai yang ditahan
sebelum pasangan tiba di Lahore Bandara Internasional. [67] [68] Pada hari berikutnya, Nawaz Sharif
mengajukan surat pencalonannya untuk dua kursi di pemilu mendatang, sementara Benazir Bhutto
diajukanselama tiga kursi termasuk salah satu kursi yang dicadangkan untuk perempuan [69]. Pada
tanggal 27 Desember 2007, Benazir Bhutto meninggalkan kampanye pemilihan di Rawalpindi ketika
dia dibunuh oleh seorang pria bersenjata yang ditembak di leher dan meledakkan sebuah bom, [70]
[71] membunuh 20 orang lain dan melukai beberapa lagi [72]. Urutan yang tepat dari peristiwa dan
penyebab kematian menjadi titik perdebatan politik dan kontroversi, karena, meskipun laporan awal
menunjukkan bahwa Bhutto terkena pecahan peluru atau tembakan, [73] Dalam Negeri Pakistan
Kementerian menyatakan bahwa ia meninggal karena patah tulang tengkorak berkelanjutan ketika
ledakan melemparkan Bhutto terhadap sunroof kendaraan nya. [74] pembantu Bhutto menolak klaim
ini dan bersikeras bahwa dia menderita dua tembakan sebelum peledakan bom.[75] Departemen
Dalam Negeri kemudian mundur dari klaim sebelumnya. [76] Namun, penyelidikan berikutnya,
dibantu oleh Scotland Yard dari Inggris, mendukung "memukul matahari-atap" "sebagai penyebab
kematiannya. Komisi Pemilihan, setelah pertemuan di Islamabad, mengumumkan bahwa, karena
pembunuhan Benazir Bhutto, [77] pemilihan, yang telah dijadwalkan untuk 8 Januari 2008, akan
berlangsung pada tanggal 18 Februari [78] Pemilihan umum. diselenggarakan di Pakistan, sesuai
dengan jadwal revisi, pada tanggal 18 Februari 2008. [79] [80] dua Pakistan partai oposisi besar dan
utama, Partai Rakyat Pakistan (PPPP) dan Liga Muslim Pakistan (N) (PML (N)),
memenangkanmayoritas kursi dalam pemilu dan membentuk pemerintahan. Meskipun, Liga Muslim
Pakistan (Q) (PML (Q)) sebenarnya adalah kedua dalam pemungutan suara populer, PPP dan PML (N)
telah membentuk koalisi government.On-barutanggal 7 Agustus kebuntuan antara partai yang
berkuasa berakhir ketika pemerintah koalisi Pakistan memutuskan untuk memindahkan untuk
impeachment Presiden sebelum menuju pemulihan peradilan digulingkan Selain itu,. mereka
memutuskan bahwa Pervez Musharraf harus menghadapi tuduhan melemahnya struktur federal
Pakistan,. kebuntuan ekonomi melanggar konstitusi dan menciptakan [81] Setelah itu, Presiden Pervez
Musharraf mulai konsultasi dengan sekutu-Nya, dan dengan tim hukumnya, pada implikasi dari
impeachment itu, ia mengatakan bahwa ia siap untuk membalas dakwaan dikenakan atasnyadan
mencari mosi percaya dari senat dan parlemen, seperti yang dipersyaratkan oleh pihak koalisi. Namun,
pada 18 Agustus 2008, Presiden Pervez Musharraf mengumumkan dalam pidato televisi kepada
bangsa bahwa ia telah memutuskan untuk mengundurkan diri setelah sembilan tahun di kantor. [82]
era demokrasi Keempat (2009 - sekarang) Pada pemilihan presiden yang diikuti pengunduran diri
Presiden Pervez Musharraf, Asif Ali Zardari dari PPP terpilih menjadi Presiden dari pemerintah
Pakistan Zardari menghadapi tantangan berat dari perang Internasional sebelah, sebuah.tidak pernah
berakhir sengketa teritorial dan pernah hadir bickerings politik internal bangsa-Nya saat ini saham lain
warisan kolonial tragis dengan tetangga India, ringkas dijelaskan oleh James P. Carroll dalam bukunya
di atas Konstantinus Pedang:. "dipupuk rasa kebencian lokal ... dimanapun Bendera Uni terbang, dari
Muslim.-Hindu kebencian di Pakistan dan India, untuk kebencian Katolik-Protestan di Irlandia, untuk,
ya, Yahudi-Arab, kebencian di Israel modern "ini telah merusak hubungan bahkan di pusuits sehat
seperti sports.http kompetitif:. / / en.wikipedia.org / wiki / History_of_Pakistan
Kemerdekaan PakistanOn tanggal 14 dan 15 Agustus 1947, British India memberi jalan untuk dua
negara merdeka baru, Dominion Pakistan dan Uni India, kedua kerajaan yang bergabung dengan
Persemakmuran Inggris.Namun, keputusan dipahami dan kontroversial sakit untuk membagi Punjab
dan Bengal, dua provinsi terbesar, antara India dan Pakistan telah konsekuensi bencana.Divisi ini
dibuat kekerasan antar-agama, sedemikian pertukaran penduduk di sepanjang garis agama menjadi
suatu kebutuhan dalam provinsi.Lebih dari dua juta orang bermigrasi melintasi perbatasan baru dan
lebih dari seratus ribu tewas dalam serentetan kekerasan komunal, yang menyebar bahkan di luar
provinsi tersebut.kemerdekaan ini juga menghasilkan ketegangan atas Kashmir yang mengarah ke
Perang India-Pakistan 1947.Pasca-kemerdekaan sejarah politik Pakistan telah ditandai dengan
beberapa periode kekuasaan militer otoriter dan sengketa wilayah berkelanjutan dengan India atas
status Kashmir, dan dengan Afghanistan selama era hari Pashtunistan issue.Modern PakistanFirst
demokratis (1947-1958) Antara 1947dan 1971, Pakistan terdiri dari dua wilayah yang terpisah secara
geografis, Pakistan Barat dan Pakistan Timur.Dalam satu tahun pemerintahan demokratis, perbedaan
antara dua sayap Pakistan muncul: Ketika Jinnah dideklarasikan pada 1948 di Dhaka yang Urdu akan
menjadi bahasa-satunya negara Pakistan, itu memicu protes di Bengal Timur (Pakistan Timur
kemudian), dimana Bengali diucapkanoleh sebagian besar penduduk.Para Bengali Bahasa Gerakan
mencapai puncaknya pada 21, Februari 1952 ketika polisi dan tentara menembakkan membuka dekat
Dhaka Medical College pada siswa memprotes Bengali untuk menerima status yang sama dengan
Urdu.Beberapa pengunjuk rasa tewas, dan gerakan ini mendapat dukungan lebih lanjut ke seluruh
Pakistan Timur.Kemudian, Pemerintah menyetujui untuk memberikan status yang sama ke Bengali
sebagai bahasa negara Pakistan, hak kemudian dikodifikasi dalam constitution.In 1956 1953 atas
prakarsa partai-partai keagamaan, anti-Ahmadiyah kerusuhan meletus, menewaskan puluhan Ahmadi
dan menghancurkan sifat mereka. [37] Kerusuhan diselidiki oleh pengadilan dua anggota penyelidikan
pada tahun 1954, [38] yang dikritik oleh Jamaat-e-Islami, salah satu pihak yang dituduh menghasut
kerusuhan. [39] Acara ini menyebabkancontoh pertama darurat militer di negara ini dan memulai
serangan intervensi militer dalam politik dan urusan sipil negara, sesuatu yang tetap sampai hari ini
[40]. Pertama era militer (1958-1971) The Dominion dibubarkan pada tanggal 23Maret 1956 dan
digantikan oleh Republik Islam Pakistan, dengan Gubernur Jenderal terakhir, Iskandar Mirza, sebagai
presiden pertama [41] Hanya. dua tahun kemudian militer mengambil alih bangsa. [42] Marsekal Ayub
Khan menjadi presidendan mulai sistem baru Demokrasi pemerintah Dasar disebut dengan konstitusi
baru, [43] dimana sebuah perguruan pemilihan 80.000 akan memilih Presiden.Ayub Khan hampir
kalah dalam pemilu 1965 kontroversial presiden ke Fatima Jinnah [44]. Selama pemerintahan Ayub,
hubungan dengan Amerika Serikat dan Barat semakin kuat.Pakistan bergabung dengan dua aliansi
militer formal - Pakta Baghdad (kemudian dikenal sebagai Central Treaty Organization atau Cento)
yang termasuk Iran, Irak, dan Turki untuk membela Timur Tengah dan Teluk Persia melawan Uni
Soviet; [45] dan Perjanjian Asia TenggaraOrganization (SEATO) yang meliputi Asia Tenggara [46]
Namun,. Amerika Serikat Pakistan kecewa dengan mengadopsi kebijakan menyangkal bantuan militer
kepada kedua India dan Pakistan selama Perang India-Pakistan tahun 1965 atas Kashmir dan Rann
Kutch.[47] Keuntungan positif dari perjanjian adalah srengthening kembali obligasi sejarah Pakistan
dengan barat neighbours.During tahun 1960-an, di tengah-tengah tuduhan bahwa pembangunan
ekonomi dan mempekerjakan pekerjaan disukai pemerintah Pakistan Barat, ada peningkatan
nasionalisme Bengali dangerakan kemerdekaan di Pakistan Timur mulai mengumpulkan tanah.Setelah
pemberontakan nasional pada tahun 1969, Jenderal Ayub Khan mengundurkan diri dari jabatannya,
menyerahkan kekuasaan untuk Jenderal Yahya Khan, yang berjanji untuk mengadakan pemilihan
umum pada akhir 1970.Pada malam pemilihan, angin topan melanda Pakistan Timur menewaskan
sekitar 500.000 orang.Meskipun tragedi dan kesulitan tambahan yang dialami oleh warga yang terkena
dampak dalam mencapai tempat pemungutan suara, pemilu diadakan dan hasilnya menunjukkan
pembagian yang jelas antara Timur dan Pakistan Barat.Liga Awami, yang dipimpin oleh Sheikh
Mujibur Rahman, memenangkan mayoritas dengan 167 dari 169 kursi Pakistan Timur, tapi tanpa kursi
di Pakistan Barat, di mana Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dipimpin oleh Zulfikar Ali Bhutto,
memenangkan 85 kursi.Namun, Yahya Khan dan Bhutto menolak untuk menyerahkan kekuasaan
untuk Mujib.Meanwhile, Mujib memulai gerakan pembangkangan sipil, yang sangat didukung oleh
masyarakat umum Pakistan Timur, termasuk pekerja pemerintah yang paling.Konferensi meja bundar
antara Yahya, Bhutto, dan Mujib diselenggarakan di Dhaka, yang, bagaimanapun, berakhir tanpa
solusi.Segera setelah itu, Tentara Pakistan Barat dimulai Operasi Searchlight, suatu tindakan keras
yang diselenggarakan pada tentara Pakistan Timur, polisi, politisi, sipil, dan mahasiswa di
Dhaka.Mujib dan banyak lainnya pemimpin Liga Awami ditangkap, sementara yang lain melarikan
diri ke negara tetangga India.tindakan keras ini melebar dan meningkat menjadi perang gerilya antara
tentara Pakistan dan Bahini Mukti (Bengali "pejuang kebebasan"). [8] Pada bulan Maret 1971, India
Perdana Menteri mengumumkan dukungan untuk gerakan kemerdekaan Timor Pakistan, memberikan
bantuan militer dan membuka Indiaperbatasan untuk pengungsi Bengali - akhirnya lebih dari 10 juta
dan terutama Hindu - melarikan diri dari konflik.Pada tanggal 27 Maret 1971, Mayor Ziaur Rahman,
perang Bengali-veteran Resimen Bengal Timur Angkatan Darat Pakistan, mendeklarasikan
kemerdekaan Pakistan Timur sebagai negara baru Bangladesh atas nama Mujib.Following masa
intervensi rahasia dan terbuka olehpasukan India dalam perang sipil di Pakistan Timur, permusuhan
terbuka pecah antara kedua negara pada tanggal 3 Desember 1971.Di Pakistan Timur, Angkatan Darat
Pakistan yang dipimpin oleh Jenderal AAK Niazi, sudah lemah dan letih oleh perang gerilya Bahini
Mukti.Terkepung dan kewalahan, tentara Pakistan di timur teater menyerah pada tanggal 16 Desember
1971, dengan hampir 90.000 prajurit diambil sebagai tawanan perang.Hasilnya adalah munculnya de
facto bangsa baru di Bangladesh, [9] dan mengakhiri 24 tahun serikat bergolak dari dua sayap.Angkaangka
dari jumlah korban tewas Bengali sipil dari perang sipil seluruh sangat bervariasi, tergantung
pada sumber-sumber.Meskipun pembunuhan Bengali adalah tidak didukung oleh masyarakat Pakistan
Barat, hal itu berlangsung selama 9 bulan.laporan resmi Pakistan, oleh anak Hamood-ur-Rahman
Komisi, tempat angka di hanya 26.000, sedangkan sumber lainnya disiapkan nomor antara 1,25-
1500000.angka tertinggi, dilaporkan hanya di media, adalah 3 million.Discredited oleh kekalahan,
Jenderal Yahya Khan mengundurkan diri dan Bhutto dilantik sebagai presiden dan administrator
hukum kepala militer pada tanggal 20 Desember demokratis 1971.Second era (1971-1977)
pemerintahan sipil kembali setelahperang, ketika Jenderal Yahya Khan menyerahkan kekuasaan
kepada Zulfikar Ali Bhutto.Pada tahun 1972, intelijen Pakistan mengetahui bahwa India dekat dengan
mengembangkan bom nuklir, dan di respon, Bhutto membentuk sekelompok insinyur dan ilmuwan,
dipimpin oleh ilmuwan nuklir Abdus Salam - yang kemudian memenangkan Hadiah Nobel untuk
Fisika - untuk mengembangkan perangkat nuklir.Pada tahun 1973, Parlemen menyetujui konstitusi
baru.Pakistan adalah khawatir dengan uji coba nuklir India tahun 1974, dan Bhutto berjanji bahwa
Pakistan juga akan memiliki perangkat nuklir "bahkan jika kita harus makan rumput dan daun."
Selama pemerintahan Bhutto, pemberontakan serius juga berlangsung di provinsi Balochistan dan
menyebabkanpenindasan keras pemberontak Baloch dengan Shah Iran konon membantu dengan
dukungan udara untuk mencegah konflik dari tumpah ke Iran Balochistan.Konflik berakhir kemudian
setelah amnesti dan stabilisasi selanjutnya oleh militer penguasa Rahimuddin provinsi Khan.Pada
tahun 1974, Bhutto menyerah pada meningkatnya tekanan dari partai-partai keagamaan dan membantu
DPR untuk menyatakan penganut Ahmadiyah sebagai non-Muslim.Pemilu diadakan pada tahun 1977,
dengan Partai Rakyat memenangkan tapi ini ditentang oleh pihak oposisi, yang menuduh Bhutto dari
kecurangan suara.Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tidak
berdarah dan Bhutto kemudian dieksekusi, setelah dinyatakan bersalah otorisasi pembunuhan lawan
politik, dalam keputusan 4-3 split kontroversial oleh era Court.Second Agung militer (1977 -1988)
Pakistan telah menjadi sekutu AS untuk jauh dari Perang Dingin, dari tahun 1950 dan sebagai anggota
Cento dan SEATO.Invasi Soviet ke Afghanistan diperbaharui dan memperdalam aliansi ASPakistan.
Pemerintahan Reagan di Amerika Serikat membantu pengadaan dan membiayai
pemberontakan anti-Soviet di Afghanistan, menggunakan Pakistan sebagai kanal.Dalam pembalasan,
polisi rahasia Afghanistan, KHAD, melakukan sejumlah besar operasi teroris terhadap Pakistan, yang
juga menderita dari masuknya senjata ilegal dan obat-obatan dari Afghanistan.Pada 1980-an, sebagai
negara garis depan dalam perjuangan anti-Soviet, Pakistan menerima bantuan besar dari Amerika
Serikat sebagai yang dibutuhkan dalam jutaan Afghanistan (kebanyakan Pashtun) pengungsi
melarikan diri dari pendudukan Soviet.Masuknya pengungsi begitu banyak - populasi pengungsi
terbesar di dunia [48] - memiliki dampak berat di Pakistan dan dampaknya terus hari ini.bela diri
hukum administrasi Jenderal Zia secara bertahap terbalik kebijakan sosialis pemerintah sebelumnya,
dan juga memperkenalkan hukum Islam yang ketat pada tahun 1978, sering disebut sebagai faktor
yang berkontribusi dalam iklim kini sektarianisme dan fundamentalisme religius di
Pakistan.Ordonansi XX diperkenalkan untuk membatasi kebebasan Ahmadiyah untuk memanggil diri
mereka Muslim di Pakistan.Selanjutnya, pada masanya, pemberontakan separatis di Balochistan
adalah meletakkan kekerasan tetapi berhasil oleh gubernur provinsi, Jenderal Zia diangkat
Rahimuddin Khan.General darurat militer pada tahun 1985, menyelenggarakan pemilihan non-partisan
dan handpicking Muhammad Khan Junejo untuk menjadi Perdana Menteri baru,yang siap
memperpanjang masa Zia sebagai Kepala Staf Angkatan Darat hingga 1990.Namun Junejo secara
bertahap jatuh dengan Zia independensi administrasinya tumbuh, misalnya, Junejo menandatangani
Accord Jenewa, yang sangat disukai Zia.Setelah ledakan besar-besaran di tempat pembuangan amunisi
di Ojhri, Junejo bersumpah untuk membawa ke pengadilan mereka yang bertanggung jawab atas
kerusakan yang signifikan akibat, melibatkan beberapa jenderal senior.Zia menolak pemerintah Junejo
atas tuduhan beberapa pada Mei 1988 dan menyerukan pemilihan umum pada bulan November
1988.Namun, Jenderal Zia tewas dalam kecelakaan pesawat pada tanggal 17 Agustus era 1988.Third
demokratis (1988-1999) Dari tahun 1988 hingga 1999, Pakistan diperintah oleh pemerintah sipil,
bergantian dipimpin oleh Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif, yang masing-masing dipilih dua kali
dandiberhentikan dari jabatannya atas tuduhan korupsi.Selama 1990-an, Pakistan adalah salah satu
dari tiga negara yang mengakui pemerintahan Taliban dan Mullah Muhammad Omar sebagai penguasa
yang sah di Afghanistan [49] Tuduhan miliki. Telah dibuat dari Pakistan dan negara-negara lain yang
menyediakan bantuan ekonomi dan militer untuk kelompok dari 1994 sebagaibagian untuk
mendukung aliansi anti-Soviet.Dikatakan bahwa beberapa pasca-invasi pejuang Taliban adalah calon
diambil dari madrasah Pakistan.Pertumbuhan ekonomi menurun menjelang akhir periode ini, terluka
oleh krisis keuangan Asia, dan sanksi ekonomi yang dikenakan pada Pakistan setelah tes pertama dari
perangkat nuklir pada tahun 1998.Pengujian Pakistan datang tak lama setelah India diuji perangkat
nuklir dan meningkatkan kekhawatiran perlombaan senjata nuklir di Asia Selatan.Tahun berikutnya,
Konflik Kargil di Kashmir mengancam akan meningkat menjadi perang skala penuh [10] Pada pemilu
1997 yang kembali Nawaz Sharif sebagai Perdana Menteri, pihaknya menerima mayoritas suara
berat,. Mendapatkan cukup kursi di parlemen untukmengubah konstitusi, yang Sharif diubah untuk
menghilangkan pemeriksaan formal dan saldo yang menahan kekuatan Perdana Menteri.Kelembagaan
tantangan kepada otoritas yang dipimpin oleh Presiden Farooq Leghari sipil, militer kepala Jehangir
Karamat dan Hakim Agung Sajjad Ali Shah adalah meletakkan dan ketiga dipaksa untuk
mengundurkan diri - Shah melakukan hal itu setelah Mahkamah Agung diserbu oleh pendukung Sharif
[50].era militer Ketiga (1999 - 2007) Pada tanggal 12 Oktober 1999, Sharif berusaha memecat
panglima militer Pervez Musharraf dan menginstal Inter-Services Intelligence (ISI) direktur Ziauddin
Butt di tempatnya, tapi jenderal-jenderal senior menolak untuk menerima keputusan [51] Musharraf.,
yang berada di luar negeri, naik pesawat komersial untuk kembali ke Pakistan.Sharif memerintahkan
Jinnah International Airport untuk mencegah pendaratan pesawat, yang kemudian melingkari langit di
atas Karachi.Dalam kudeta, para jenderal menggulingkan pemerintahan Sharif dan mengambil alih
bandara [11] Pesawat tersebut mendarat dengan hanya beberapa menit bahan bakar untuk. Cadang,
dan Jenderal Musharraf memegang kendali pemerintah.Dia ditangkap Sharif dan para anggota
kabinetnya yang mengambil bagian dalam konspirasi ini.Presiden Amerika Bill Clinton merasa bahwa
tekanan untuk memaksa Sharif untuk menarik pasukan Pakistan dari Kargil, di Kashmir India
dikendalikan, adalah salah satu alasan utama perbedaan pendapat antara Sharif dan tentara
Pakistan.Clinton dan Raja Fahd kemudian menekan Musharraf untuk cadangan Sharif dan, sebagai
gantinya, dia diasingkan ke Arab Saudi, menjamin bahwa ia tidak akan terlibat dalam politik selama
sepuluh tahun.Sharif tinggal di Arab Saudi selama lebih dari enam tahun sebelum pindah ke London
pada 2005.On 12 Mei 2000 Mahkamah Agung Pakistan memerintahkan Pemerintah untuk
menyelenggarakan pemilihan umum dengan 12 Oktober 2002.Dalam upaya untuk melegitimasi
kepresidenannya [52] dan menjamin kelangsungannya setelah pemilu yang akan datang, Musharraf
mengadakan referendum nasional yang kontroversial pada tanggal 30 April, 2002 [53] yang
diperpanjang masa jabatan presiden untuk periode yang berakhir lima tahun setelah pemilu Oktober.
[54] Musharraf memperkuat posisinya dengan mengeluarkan Kerangka Hukum Order pada bulan
Agustus 2001 yang ditetapkan landasan konstitusional untuk kelanjutan jabatannya. [55] Pemilihan
umum diadakan pada bulan Oktober 2002 dan, sentris pro-Musharraf Pakistan Muslim League (Q)
(PML-Q) memenangkan mayoritas kursi di parlemen.Namun, pihak menentang Kerangka Hukum
Orde efektif lumpuh Majelis Nasional selama lebih dari setahun.kebuntuan itu berakhir pada bulan
Desember 2003, ketika Musharraf dan beberapa lawan parlementernya disepakati kompromi, dan pro-
Musharraf legislator mampu mengumpulkan mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan untuk lulus
Amandemen Seventeenth, yang secara retroaktif dilegitimasi 1999 kudeta Musharraf dan banyak
darinya keputusan berikutnya.Dalam sebuah mosi percaya pada 1 Januari 2004, Musharraf
memenangkan 658 dari 1.170 suara dalam Pemilihan College Pakistan, dan menurut Pasal 41 (8) dari
Konstitusi Pakistan, terpilih ke kantor Presiden [56] Sementara.reformasi ekonomi yang dilakukan
selama rezimnya menghasilkan hasil yang positif, program reformasi sosial dan pandangan liberal
nya, misalnyapada reformasi versi ekstrimis dari praktek-praktek lazim dalam Islam, bertemu dengan
perlawanan.Musharraf menghadapi ancaman dari ekstremis keagamaan, yang marah oleh post-9/11
dekat aliansi politiknya dengan Amerika Serikat dan dukungan militer kepada Amerika memimpin
invasi 2001 di Afghanistan, ia selamat beberapa upaya pembunuhan oleh kelompok-kelompok
diyakini menjadi bagian dari Al-Qaeda, termasuk setidaknya dua contoh dimana mereka dalam
informasi dari anggota security.Pakistan militer terus terlibat dalam sengketa Kashmir, dengan dugaan
dukungan dari kelompok-kelompok teror separatis-yang dilontarkan terhadap Pakistan oleh India,
sementara Pakistantuduhan bahwa pemerintah India pelanggaran hak asasi manusia dalam penggunaan
yang berlebihan kekuatan militer di wilayah yang disengketakan.Apa yang membuat ini sengketa
sumber perhatian khusus bagi masyarakat dunia adalah bahwa baik India dan Pakistan memiliki
senjata nuklir.Hal itu menyebabkan kebuntuan nuklir pada tahun 2002, ketika Kashmir-militan, diduga
didukung oleh ISI, menyerang parlemen India.Dalam reaksi ini, ketegangan diplomatik serius
dikembangkan dan India dan Pakistan dikerahkan 500.000 dan 120.000 pasukan ke perbatasan
masing-masing [57] Sementara proses perdamaian India-Pakistan sejak membuat kemajuan., Kadangkadang
terhenti oleh aktivitas gerilyawan jarang di India, sepertisebagai 11 Juli 2006 bom kereta
Mumbai.Pakistan juga telah dituduh memberikan kontribusi bagi proliferasi nuklir; ilmuwan
terkemuka nuklirnya, Abdul Qadeer Khan, mengakui menjual rahasia nuklir, meskipun ia menyangkal
pengetahuan pemerintah activities.After nya invasi pimpinan Amerika di Afghanistan, pemerintah
Pakistan, sebagaisekutu, mengirim ribuan pasukan ke wilayah pegunungan di Waziristan pada tahun
2002, untuk mencari bin Laden-(yang menyalahkan AS untuk mengurus master-serangan 11
September pada tahun 2001) dan lainnya bersenjata Al-Qaeda, yang diduga telah diambilmengungsi di
sana.Pada bulan Maret 2004, pertempuran sengit pecah di Azam Warsak (dekat kota Waziristan
Selatan Wana), antara pasukan Pakistan dan militan ini (diperkirakan 400 ekor), yang bercokol di
pemukiman beberapa benteng.Hal ini berspekulasi bahwa wakil bin Laden Ayman al-Zawahiri di
antara mereka terjebak oleh Tentara Pakistan.Pada September 5, 2006 gencatan senjata ditandatangani
dengan para militan dan para pendukung lokal mereka pemberontak, (yang menyebut dirinya Emirat
Islam Waziristan), di mana para pemberontak adalah untuk berhenti mendukung militan dalam
serangan lintas-perbatasan di Afghanistan sebagai imbalan atasgencatan senjata dan amnesti umum
dan tangan-over-patroli perbatasan dan tanggung jawab check-point, sampai kemudian ditangani oleh
perdana menteri Army.Former Pakistan Nawaz Sharif berusaha untuk kembali dari pengasingan pada
tanggal 10 September 2007 dan telah ditangkap atas tuduhan korupsi setelah mendaratdi Bandara
Internasional Islamabad.Sharif kemudian diletakkan di pesawat menuju Jeddah, Arab Saudi,
sedangkan di luar bandara ada konfrontasi kekerasan antara pendukung Sharif dan polisi. [58] ini tidak
menghalangi lain mantan perdana menteri, Benazir Bhutto, dari kembali pada 18 Oktober,2007,
setelah delapan tahun pengasingan di Dubai dan London, untuk mempersiapkan pemilu parlemen yang
akan diselenggarakan pada tahun 2008 [59] [60] Namun,. pada hari yang sama, dua pembom bunuh
diri mencoba untuk membunuh Bhutto saat ia melakukan perjalanan menuju kampanye
diKarachi.Bhutto lolos tanpa cedera namun ada 136 korban dan setidaknya 450 orang terluka [61]
Pada tanggal 3 November 2007., Jenderal Musharraf menyatakan keadaan darurat dan memecat Ketua
Mahkamah Agung Pakistan, Iftikhar Muhammad Keadilan Choudhry bersama dengan 14
hakimMahkamah Agung. [62] [63] Pengacara melancarkan protes terhadap tindakan ini, tetapi mereka
ditangkap.Semua saluran media swasta dilarang termasuk saluran asing.Musharraf menyatakan bahwa
keadaan darurat akan berakhir pada tanggal 16 Desember 2007. [64] Pada tanggal 28 Nopember 2007,
Jenderal Musharraf mengundurkan diri dari Angkatan Darat dan hari berikutnya dilantik untuk masa
jabatan presiden kedua [65] [66] Aktif.November 25, 2007, Nawaz Sharif melakukan upaya kedua
untuk kembali dari pengasingan, kali ini disertai oleh saudaranya, mantan menteri Punjab kepala,
Shahbaz Sharif.Ratusan pendukung mereka, termasuk beberapa pemimpin partai yang ditahan
sebelum pasangan tiba di Lahore Bandara Internasional. [67] [68] Pada hari berikutnya, Nawaz Sharif
mengajukan surat pencalonannya untuk dua kursi di pemilu mendatang, sementara Benazir Bhutto
diajukanselama tiga kursi termasuk salah satu kursi yang dicadangkan untuk perempuan [69]. Pada
tanggal 27 Desember 2007, Benazir Bhutto meninggalkan kampanye pemilihan di Rawalpindi ketika
dia dibunuh oleh seorang pria bersenjata yang ditembak di leher dan meledakkan sebuah bom, [70]
[71] membunuh 20 orang lain dan melukai beberapa lagi [72]. Urutan yang tepat dari peristiwa dan
penyebab kematian menjadi titik perdebatan politik dan kontroversi, karena, meskipun laporan awal
menunjukkan bahwa Bhutto terkena pecahan peluru atau tembakan, [73] Dalam Negeri Pakistan
Kementerian menyatakan bahwa ia meninggal karena patah tulang tengkorak berkelanjutan ketika
ledakan melemparkan Bhutto terhadap sunroof kendaraan nya. [74] pembantu Bhutto menolak klaim
ini dan bersikeras bahwa dia menderita dua tembakan sebelum peledakan bom.[75] Departemen
Dalam Negeri kemudian mundur dari klaim sebelumnya. [76] Namun, penyelidikan berikutnya,
dibantu oleh Scotland Yard dari Inggris, mendukung "memukul matahari-atap" "sebagai penyebab
kematiannya. Komisi Pemilihan, setelah pertemuan di Islamabad, mengumumkan bahwa, karena
pembunuhan Benazir Bhutto, [77] pemilihan, yang telah dijadwalkan untuk 8 Januari 2008, akan
berlangsung pada tanggal 18 Februari [78] Pemilihan umum. diselenggarakan di Pakistan, sesuai
dengan jadwal revisi, pada tanggal 18 Februari 2008. [79] [80] dua Pakistan partai oposisi besar dan
utama, Partai Rakyat Pakistan (PPPP) dan Liga Muslim Pakistan (N) (PML (N)),
memenangkanmayoritas kursi dalam pemilu dan membentuk pemerintahan. Meskipun, Liga Muslim
Pakistan (Q) (PML (Q)) sebenarnya adalah kedua dalam pemungutan suara populer, PPP dan PML (N)
telah membentuk koalisi government.On-barutanggal 7 Agustus kebuntuan antara partai yang
berkuasa berakhir ketika pemerintah koalisi Pakistan memutuskan untuk memindahkan untuk
impeachment Presiden sebelum menuju pemulihan peradilan digulingkan Selain itu,. mereka
memutuskan bahwa Pervez Musharraf harus menghadapi tuduhan melemahnya struktur federal
Pakistan,. kebuntuan ekonomi melanggar konstitusi dan menciptakan [81] Setelah itu, Presiden Pervez
Musharraf mulai konsultasi dengan sekutu-Nya, dan dengan tim hukumnya, pada implikasi dari
impeachment itu, ia mengatakan bahwa ia siap untuk membalas dakwaan dikenakan atasnyadan
mencari mosi percaya dari senat dan parlemen, seperti yang dipersyaratkan oleh pihak koalisi. Namun,
pada 18 Agustus 2008, Presiden Pervez Musharraf mengumumkan dalam pidato televisi kepada
bangsa bahwa ia telah memutuskan untuk mengundurkan diri setelah sembilan tahun di kantor. [82]
era demokrasi Keempat (2009 - sekarang) Pada pemilihan presiden yang diikuti pengunduran diri
Presiden Pervez Musharraf, Asif Ali Zardari dari PPP terpilih menjadi Presiden dari pemerintah
Pakistan Zardari menghadapi tantangan berat dari perang Internasional sebelah, sebuah.tidak pernah
berakhir sengketa teritorial dan pernah hadir bickerings politik internal bangsa-Nya saat ini saham lain
warisan kolonial tragis dengan tetangga India, ringkas dijelaskan oleh James P. Carroll dalam bukunya
di atas Konstantinus Pedang:. "dipupuk rasa kebencian lokal ... dimanapun Bendera Uni terbang, dari
Muslim.-Hindu kebencian di Pakistan dan India, untuk kebencian Katolik-Protestan di Irlandia, untuk,
ya, Yahudi-Arab, kebencian di Israel modern "ini telah merusak hubungan bahkan di pusuits sehat
seperti sports.http kompetitif:. / / en.wikipedia.org / wiki / History_of_Pakistan
Abbassiyah Emperor
di Februari 18, 2012 Label: Islamisation
Chapter 13
Abbasid Decline and the Spread of Islamic Civilization to South and
Southeast Asia
Chapter Summary
By the mid 9th century the Abbasids were losing control over their vast Muslim empire. Distance
hampered efforts to move armies and control local administrators. Most subjects retained local loyalties.
Shi'i dissenters were particularly troublesome, while slave and peasant risings sapped empire strength.
Mongol invasions in the 13th century ended the very weakened state. Despite the political decline, Islamic
civilization reached new cultural heights, and Islam expanded widely in the Afro-Asian world through
conquest and peaceful conversion.
The Islamic Heartlands in the Middle and Late Abbasid Era. The Abbasid Empire disintegrated
between the 9th and 13th centuries. Peasant revolts and slavery increased. Despite the artistic and
intellectual creativity of the age, the position of women eroded. Signs of decline were present during the
reign of Caliph al-Mahdi (775-785). He failed to reconcile moderate Shi'i to Abbasid rule. Al-Mahdi
abandoned the frugal ways of his predecessor and surrounded his court with luxury. He failed to establish a
succession system resolving disputes among his many sons, leaving a lasting problem to future rulers.
Imperial Extravagance and Succession Disputes. One son, Harun al-Rashid, became one of the most
famous Abbasid caliphs. The luxury and intrigues of his court were immortalized in The Thousand and
One Nights. The young ruler became dependent on Persian advisors, a trend followed during later reigns
as rulers became pawns in factional court struggles. Al-Rashid's death led to the first of many civil wars
over the succession. The sons of the winner, al-Ma'mun, built personal retainer armies, some including
Turkic nomads, to safeguard their futures. The armies became power centers, removing and selecting
caliphs; their uncontrolled excesses developed into a general focus for societal unrest.
Imperial Breakdown and Agrarian Disorder. The continual civil violence drained the imperial
treasury. Caliphs increased the strain by constructing costly new imperial centers. Peasants had imposing
tax burdens, often collected by oppressive tax farmers, forced upon them. Agricultural villages were
abandoned and irrigation works fell into disrepair. Bandits and vagabonds were everywhere; they
participated in peasant rebellions often instigated by dissident religious groups.
The Declining Position of Women in the Family and Society. The freedom and influence possessed
during the 1st centuries of Islam severely declined. Male-dominated Abbasid society imagined that
women possessed incurable lust, and therefore men needed to be segregated from all but the women of
their family. The harem and the veil symbolized subjugation to males. The seclusion of elite women,
wives and concubines, continued, and the practice of veiling spread to all. Abbasid wealth generated large
demand for concubines and male slaves. Most came from non-Muslim neighboring lands. Poor women
remained economically active, but the rich were kept at home. They married at puberty and spent their
lives in domestic management and childbearing. At higher political levels women intrigued for
advancement of their sons' careers.
Nomadic Incursions and the Eclipse of Caliphal Power. By the mid-10th century breakaway former
provinces began to challenge Abbasid rule. The Buyids of Persia captured Baghdad in 945. The caliphs
henceforth became powerless puppets controlled by sultans, the actual rulers. The Seljuk Turks defeated
the Buyids in 1055 and ruled the remnants of the Abbasid empire for two centuries. The Seljuks were
staunch Sunnis who purged the Shi’i. For a time Seljuk military power restored the diminished caliphate.
Egyptians and Byzantines were defeated, the latter success opening Anatolia, the nucleus of the later
Ottoman Empire, to settlement by Turkic nomads.
The Impact of the Christian Crusades. West European Christian knights in 1096 invaded Muslim
territory to capture the biblical Holy Land. They established small, rival kingdoms that were not a threat
to the more powerful surrounding Muslim leaders. Most were recaptured near the close of the 12th
century by Muslims reunited under Saladin. The last fell in 1291. The Crusades had an important impact
upon the Christian world through intensifying the existing European borrowing from the more
sophisticated technology, architecture, medicine, mathematics, science, and general culture of Muslim
civilization. Europeans recovered much Greek learning lost after the fall of Rome. Italian merchants
remained in Islamic centers after the Crusader defeat and were far more important carriers of Islamic
advanced knowledge than the Christian warriors. Muslim peoples were little interested in aspects of
European civilization.
AN AGE OF LEARNING AND ARTISTIC REFINEMENT. The political and social turmoil of late
Abbasid times did not prevent Muslim thinkers and craftsmen, in states from Spain to Persia, from
producing one of the great ages of human creativity. Rapid urban growth and its associated prosperity
persisted until late in the Abbasid era. Employment opportunities for skilled individuals remained
abundant. Merchants amassed large fortunes through supplying urban needs and from long-distance trade
to India, Southeast Asia, China, North Africa, and Europe. Artists and artisans created mosques, palaces,
tapestries, rugs, bronzes, and ceramics.
The Full Flowering of Persian Literature. Persian replaced Arabic as the primary written language of
the Abbasid court. Arabic was the language of religion, law, and the natural sciences; Persian became the
language of "high culture," used for literary expression, administration, and scholarship. The
development of a beautiful calligraphy made literature a visual art form. Perhaps the greatest work was
Firdawsi's epic poem, Shah-Nama, a history of Persia from creation to Islamic conquest. Other writers, as
the great poet Sa’di and Omar Khayyam in the Rubiyat, blended mystical and commonplace themes in
their work.
Achievements in the Sciences. Muslim society for several centuries surpassed all others in scientific and
technological discoveries. In mathematics thinkers made major corrections in the theories learned from
the ancient Greeks. In chemistry they created the objective experiment. Al-Razi classified all material
substances into three categories: animal, vegetable, mineral. Al-Biruni calculated the exact specific
weight of 18 major minerals. Sophisticated, improved, astronomical instruments, like the astrolabe, were
used for mapping the heavens. Much of the Muslim achievement had practical application. In medicine
improved hospitals and formal courses of studies accompanied important experimental work. Traders and
craftsmen introduced machines and techniques originating in China for paper making, silk weaving, and
ceramic firing. Scholars made some of the world's best maps.
Religious Trends and the New Impetus for Expansion. The conflicting social and political trends
showed in divergent patterns of religious development. Sufis developed vibrant mysticism, but ulama
(religious scholars) became more conservative and suspicious of non-Muslim influences and scientific
thought. They were suspicious of Greek rationalism and insisted that the Quran was the all-embracing
source of knowledge. The great theologian al-Ghazali struggled to fuse Greek and Quranic traditions, but
often was opposed by orthodox scholars. The Sufis created the most innovative religious movement.
They reacted against the arid teachings of the ulama and sought personal union with Allah through
asceticism, meditation, songs, dancing, or drugs. Many Sufis gained reputations as healers and miracle
workers; others made the movement a central factor in the continuing expansion of Islam.
New Waves of Nomadic Invasions and the End of the Caliphate. In the early 13th century central
Asian nomadic invaders, the Mongols, threatened Islamic lands. Chinggis Khan destroyed the Turkic-
Persian kingdoms east of Baghdad. His grandson, Hulegu, continued the assault. The last Abbasid ruler
was killed when Baghdad fell in 1258. The once great Abbasid capital became an unimportant backwater
in the Muslim world.
The Coming of Islam to South Asia. Muslim invasions from the 7th century added to the complexity of
Indian civilization. Previous nomadic invaders usually had blended over time into India’s sophisticated
civilization. Muslims, possessors of an equally sophisticated, but very different, culture, were a new
factor. The open, tolerant, and inclusive Hindu religion, based in a social system dominated by castes,
Islam was doctrinaire, monotheistic, evangelical, and egalitarian. In the earlier period of contact, conflict
predominated, but as time passed, although tensions persisted, peaceful commercial and religious
exchange occurred in a society where Muslim rulers governed Hindu subjects.
North India on the Eve of the Muslim Invasions. North India remained politically divided between
rival dynasties after the 5th century fall of the Gupta until Harsha in the 7th century created a stable
successor empire in the central and eastern Ganges plain. Although he ruled an area larger than any
contemporary European realm, Harsha failed to unite India’s subcontinent. Harsha's reign was a time of
peace and prosperity. He built roads, rest houses, and hospitals; he endowed temples and Buddhist
monasteries. Urban areas, as the capital at Kanuji, flourished and artistic creativity revived. Harsha, a
Hindu, was tolerant of all faiths and strongly attracted to Buddhism.
Political Divisions and the First Muslim Invasions. Harsha's empire collapsed with his death in 646.
Hindu culture continued to flourish, but political divisions left north India open to Muslim invasions
beginning in 711. The Umayyad general Muhammad ibn Qasim conquered and annexed Sind, and ,
despite quarrels among succeeding Muslim dynasties, the occupation endured. Many Indians, treated as
"people of the book," welcomed the new rulers because offered religious tolerance and lighter taxes. Most
indigenous officials retained their positions, while brahmin castes were respected. Few Arabs resided in
cities or garrison towns, and minimal conversion efforts did not change existing religious beliefs.
Indian Influences on Islamic Civilization. Although Islam's impact in India was minimal, Islamic
civilization was enriched by Indian culture. Indian achievements in science, mathematics,, medicine,
music, and astronomy passed to the Arabs. Indian numerals were accepted, later to pass to Europe as
"Arabic" numerals. Colonies of Arabs settled along India's coasts, adopted local customs, and provided
staging points for later Islamic expansion to island and mainland Southeast India.
From Booty to Empire: The Second Wave of Muslim Invasions. After the initial Muslim conquests,
internal divisions weakened Muslim rule and allowed limited Hindu reconquest. In the 10th century a
Turkish dynasty gained power in Afghanistan. Its third ruler, Mahmud of Ghazni, began two centuries of
incursions into northern India. In the 12th century the Persian Muhammad of Ghur created an extensive
state in the Indus valley and north-central India. Later campaigns extended it along the plains of the
Ganges to Bengal. A lieutenant to Muhammad, Qutb-ud-Din Aibak, later formed a new state, with its
capital at Delhi on the Ganges plain. The succeeding dynasties, the sultans of Delhi, were military states;
their authority was limited by factional strife and dependence upon Hindu subordinates. They ruled much
of north-central India for the next 300 years.
Patterns of Conversion . Although Muslims came as conquerors, interaction with Indians early was
dominated by peaceful exchanges. The main carriers of Islam were traders and Sufi mystics, the latter
drawing followers because of similarities to Indian holy men. Their mosques and schools became centers
of regional political power providing protection to local populations. Low and outcast Hindus were
welcomed. Buddhists were the most numerous converts. Buddhist spiritual decline had debased its
practices and turned interest to the vigorous new religion of Islam. Others converted to escape taxes or
through intermarriage. Muslim migrants fleeing 13th and 14th century Mongol incursions also increased
the Islamic community.
Patterns of Accommodation. In most regions Islam initially had little impact on the general Hindu
community. High-caste Hindus did not accept the invaders as their equals. Although serving as
administrators or soldiers, they remained socially aloof, living in separate quarters and not intermarrying.
Hindus thought the Muslims, as earlier invaders, would be absorbed by Hindu society. Muslim
communities did adopt many Indian ways; they accepted Hindu social hierarchies, foods, and attitudes
toward women.
Islamic Challenge and Hindu Revival. Muslims, despite Indian influences, held to the tenets of Islam.
The Hindu response, open to all individuals and castes led to an increased emphasis on devotional cults of
gods and goddesses (bhakti). The cults, open to men, women, and castes, stressed the importance of
strong emotional bonds to the gods. Mira Bai, a low-caste woman, and Kabir, a Muslim weaver,
composed songs and poems in regional languages accessible to common people. Reaching a state of
ecstatic unity brought removal of all past sins and rendered caste distinctions meaningless. Shiva, Vishnu,
and the goddess Kali were the most worshipped gods. The movement helped, especially among low-caste
groups, to stem conversion to Islam.
Stand-off: The Muslim Presence in India at the End of the Sultanate Period. Similarities in style and
message between Sufis and bhaktic devotees led to attempts to bridge the gaps between Islam and
Hinduism. The orthodox of each faith repudiated such thought. Brahmins denounced Muslims as temple
destroyers and worked for reconversion to Hinduism. Muslim ulama stressed the incompatibility of
Islam's principles with Hindu beliefs. By the close of the sultanate period there were two distinct religious
communities. The great majority of the population remained Hindu. They were convinced of the
superiority of Indian religion and civilization, and of its capability to absorb the Muslim invaders. South
Asia remained the least converted and integrated of all areas receiving the message of Islam.
The Spread of Islam to Southeast Asia. Southeast Asia had been a middle ground where the Chinese
part of the Eurasian trading complex met the Indian Ocean zone. By the 7th and 8th centuries southeast
Asian sailors and ships were active in the trade. When Muslims, from the 8th century, gained control of
Indian commerce, Islamic culture reached Southeast Asia. The 13th century collapse of the trading
empire of Shrivijaya, ruled by devout Buddhists and located on the Straits of Malacca and northern
Sumatra, made possible large-scale, peaceful, Muslim entry.
Trading Contacts and Conversion. Peaceful contacts and voluntary conversion were more important to
the spread of Islam than conquest and force. Trading contacts prepared the way for conversion, with the
process carried forward by Sufis. The first conversions occurred in small northern Sumatran ports. On
the mainland the key to the spread of Islam was the city of Malacca, the smaller successor to Shrivijaya.
From Malacca Islam went to Malaya, Sumatra, and the state of Demak on Java's north coast. Islam spread
into Java and moved on to the Celebes and Mindanao in the Philippines. Coastal cities were the most
receptive to Islam. Their conversion linked them to a Muslim system connected to the principal Indian
Ocean ports. Buddhist dynasties were present in many regions, but since Buddhist conversions were
limited to the elite, the mass of the population was open to the massage of Sufis. The island of Bali and
mainland Southeast Asia, where Buddhism had gained popular support, remained impervious to Islam.
Sufi Mystics and the Nature of Southeast Asian Islam. The mystical quality of Islam in Southeast Asia
was due to Sufi strivings. They often were tolerant of the indigenous peoples’ Buddhist and Hindu
beliefs. Converts retained pre-Islamic practices, especially for regulating social interaction. Islamic law
ruled legal transactions. Women held a stronger familial and societal position than they had in the Middle
East or India. They dominated local markets, while in some regions matrilineal descent persisted. Many
pre-Muslim beliefs were incorporated into Islamic ceremonies.
In Depth: Conversion and Accommodation in the Spread of World Religions. Great civilizations and
world religions have been closely associated throughout world history. World religions, belief structures
that flourish in many differing cultures, have to possess a spiritual core rich enough to appeal to potential
converts. They have to possess core beliefs that allow adherents to maintain a sense of common identity,
but also must be flexible enough to allow retention of important aspects of local culture. The capacity for
accommodation allowed Islam, and later Christianity, to spread successfully into many differing
communities.
Conclusion: The Legacy of the Abbasid Age. Despite the political instability of the Abbasids, Islam's
central position in global history was solidified. The expanding Muslim world linked ancient civilizations
through conquest and commercial networks. Islam was the civilizer of nomadic peoples in Asia and
Africa. Its cultural contributions diffused widely from great cities and universities. There were, however,
tendencies that placed Muslims at a disadvantage in relation to rival civilizations, particularly to their
European rivals. Political divisions caused exploitable weaknesses in many regions. Most importantly,
the increasing intellectual rigidity of the ulama caused Muslims to become less receptive to outside
influences at a time when the European world transformed its culture and power.
KEY TERMS
al-Mahdi: 3rd Abbasid caliph (775-785); failed to reconcile Shi’i moderates to his dynasty and to resolve
the succession problem.
Harun al-Rashid: most famous of the Abbasid caliphs (786-809); renowned for sumptuous and costly
living recounted in The Thousand and One Nights;.
Buyids: Persian invaders of the 10th century; captured Baghdad; and as sultans through Abbasid
figureheads.
Seljuk Turks: nomadic invaders from central Asia; staunch Sunnis; ruled from the 11th century in the
name of the Abbasids.
Crusades: invasions of western Christians into Muslim lands, especially Palestine; captured Jerusalem
and established Christian kingdoms enduring until 1291.
Saladin: 12th century Muslim ruler; reconquered most of the Crusader kingdoms.
Ibn Khaldun: Great Muslim historian; author of The Muqaddimah; sought to
uncover persisting patterns in Muslim dynastic history
Rubiyat: epic of Omar Khayyam; seeks to find meaning in life and a path to union with the divine.
Shah-Nama: epic poem written by Firdawsi in the late 10th and early 11th centuries; recounts the history
of Persia to the era of Islamic conquests.
Sa’di: a great poet of the Abbasid era.
al-Razi: classified all matter as animal, vegetable, and mineral.
al-Biruni: 11th century scientist; calculated the specific weight of major minerals.
ulama: Islamic religious scholars; pressed for a more conservative and restrictive theology; opposed to
non-Islamic thinking.
al-Ghazali: brilliant Islamic theologian; attempted to fuse Greek and Quranic traditions.
Sufis: Islamic mystics; spread Islam to many Afro-Asian regions.
Mongols: central Asian nomadic peoples; captured Baghdad in 1258 and killed the last Abbasid caliph.
Muhammad ibn Qasim: Arab general who conquered Sind; and made it part of the Umayyad Empire.
Arabic numerals: Indian numerical notation brought by the Arabs to the West.
Harsha: 7th century north Indian ruler; built a large state that declined after his death in 646.
Mahmud of Ghazni: 3rd ruler of a dynasty in Afghanistan; invaded northern India during the 11th
century..
Muhammad of Ghur: Persian ruler of a small kingdom in Afghanistan; invaded and conquered much of
northern India.
Qutb-ud-din Aibak: lieutenant of Muhammad of Ghur; established kingdom in India with the capital at
Delhi.
sati: Hindu ritual for burning widows with their deceased husbands.
bhaktic cults: Hindu religious groups who stressed the importance of strong emotional bonds between
devotees and the gods or goddesses - especially Shiva, Vishnu, and Kali .
Mir Bai: low-caste, woman poet and song-writer in bhaktic cults.
Kabir: 15th century Muslim mystic who played down the differences between Hinduism and Islam.
Shrivijaya: trading empire based on the Malacca straits; its Buddhist government resisted Muslim
missionaries; when it fell southeastern Asia was opened to Islam.
Malacca: flourishing trading city in Malaya; established a trading empire after the fall of Shrivijaya.
Demak: most powerful of the trading states on the north Java coast; converted to Islam and served as a
dissemination point to other regions.
LECTURE SUGGESTIONS
1. Compare and contrast the initial spread of Islam throughout the Mediterranean and the Middle
East with the Islamic incursions into India and Southeast Asia. Most of the first expansion in the
Mediterranean region and the Middle East was by Arabian tribesmen. The government under the
Umayyads retained the initial concept of rule by a small Arab elite; full citizenship for mawali was
denied. The Abbasids gave full citizenship to non-Arabs. The second stage of Islamic expansion was led
by non-Arabs. The presence of Sufi missionaries made for a more peaceful expansion and to less
restrictive forms of Islam. Converts, as in the Delhi sultanate, retained many of their previous Hindu
beliefs and social systems.
2. Discuss the political, cultural, and economic characteristics of the Abbasid Empire. In political
organization the Abbasids suffered from a loss of central authority and a growth of regional dynasties.
There were many revolts by Shi'i, mercenary armies, and peasants. The dynasty crumbled from the
invasions of Buyids, Seljuk Turks, and Mongols. The Abbasid economy depended on agriculture and
trade. Agriculture required irrigation and this failed under the later dynasty. Cities grew and prospered;
long-distance trade reached into India and Southeast Asia. In culture the Abbasids were the zenith of
Islamic civilization, with advances in science, literature, mathematics, and philosophy.
CLASS DISCUSSION QUESTIONS
1. What were the causes for the weaknesses of the later Abbasid Empire?
2. What was the position of women in the Abbasid Empire?
3. Describe the economy of the later Abbasid Empire.
4. Discuss theological developments within Islam during the Abbasid Empire.
5. Discuss the stages of Islamic incursion into India.
6. To what extent were Muslims successful in converting Indians to Islam?
THE INSTRUCTOR'S TOOL KIT
Map References
Danzer, Discovering World History Through Maps and Views
Source Maps: S23-24. Reference Maps: R24, R28.
Audio Cassettes
The Rubaiyat of Omar Khayyam (the 4th translation). Caedmon
Documents
The Koran and the Family
The Islamic Religion
Religious and Political Organization in the Islamic Middle East
Islamic Culture
Recapturing the African Religious Tradition
In Stearns, op. cit.
Video/Film
The Five Pillars of Islam. Films for the Humanities and Sciences, #SQ708
Islamic Science and Technology. Films for the Humanities and Sciences, #SQ712
Christians, Jews, and Moslems in Medieval Spain. Films for the Humanities and
Sciences, #CN-1958
The Story of Islam. Filmic Archives
The Sindbad Voyage. Films for the Humanities and Sciences, #KT42~92
Abbasid Decline and the Spread of Islamic Civilization to South and
Southeast Asia
Chapter Summary
By the mid 9th century the Abbasids were losing control over their vast Muslim empire. Distance
hampered efforts to move armies and control local administrators. Most subjects retained local loyalties.
Shi'i dissenters were particularly troublesome, while slave and peasant risings sapped empire strength.
Mongol invasions in the 13th century ended the very weakened state. Despite the political decline, Islamic
civilization reached new cultural heights, and Islam expanded widely in the Afro-Asian world through
conquest and peaceful conversion.
The Islamic Heartlands in the Middle and Late Abbasid Era. The Abbasid Empire disintegrated
between the 9th and 13th centuries. Peasant revolts and slavery increased. Despite the artistic and
intellectual creativity of the age, the position of women eroded. Signs of decline were present during the
reign of Caliph al-Mahdi (775-785). He failed to reconcile moderate Shi'i to Abbasid rule. Al-Mahdi
abandoned the frugal ways of his predecessor and surrounded his court with luxury. He failed to establish a
succession system resolving disputes among his many sons, leaving a lasting problem to future rulers.
Imperial Extravagance and Succession Disputes. One son, Harun al-Rashid, became one of the most
famous Abbasid caliphs. The luxury and intrigues of his court were immortalized in The Thousand and
One Nights. The young ruler became dependent on Persian advisors, a trend followed during later reigns
as rulers became pawns in factional court struggles. Al-Rashid's death led to the first of many civil wars
over the succession. The sons of the winner, al-Ma'mun, built personal retainer armies, some including
Turkic nomads, to safeguard their futures. The armies became power centers, removing and selecting
caliphs; their uncontrolled excesses developed into a general focus for societal unrest.
Imperial Breakdown and Agrarian Disorder. The continual civil violence drained the imperial
treasury. Caliphs increased the strain by constructing costly new imperial centers. Peasants had imposing
tax burdens, often collected by oppressive tax farmers, forced upon them. Agricultural villages were
abandoned and irrigation works fell into disrepair. Bandits and vagabonds were everywhere; they
participated in peasant rebellions often instigated by dissident religious groups.
The Declining Position of Women in the Family and Society. The freedom and influence possessed
during the 1st centuries of Islam severely declined. Male-dominated Abbasid society imagined that
women possessed incurable lust, and therefore men needed to be segregated from all but the women of
their family. The harem and the veil symbolized subjugation to males. The seclusion of elite women,
wives and concubines, continued, and the practice of veiling spread to all. Abbasid wealth generated large
demand for concubines and male slaves. Most came from non-Muslim neighboring lands. Poor women
remained economically active, but the rich were kept at home. They married at puberty and spent their
lives in domestic management and childbearing. At higher political levels women intrigued for
advancement of their sons' careers.
Nomadic Incursions and the Eclipse of Caliphal Power. By the mid-10th century breakaway former
provinces began to challenge Abbasid rule. The Buyids of Persia captured Baghdad in 945. The caliphs
henceforth became powerless puppets controlled by sultans, the actual rulers. The Seljuk Turks defeated
the Buyids in 1055 and ruled the remnants of the Abbasid empire for two centuries. The Seljuks were
staunch Sunnis who purged the Shi’i. For a time Seljuk military power restored the diminished caliphate.
Egyptians and Byzantines were defeated, the latter success opening Anatolia, the nucleus of the later
Ottoman Empire, to settlement by Turkic nomads.
The Impact of the Christian Crusades. West European Christian knights in 1096 invaded Muslim
territory to capture the biblical Holy Land. They established small, rival kingdoms that were not a threat
to the more powerful surrounding Muslim leaders. Most were recaptured near the close of the 12th
century by Muslims reunited under Saladin. The last fell in 1291. The Crusades had an important impact
upon the Christian world through intensifying the existing European borrowing from the more
sophisticated technology, architecture, medicine, mathematics, science, and general culture of Muslim
civilization. Europeans recovered much Greek learning lost after the fall of Rome. Italian merchants
remained in Islamic centers after the Crusader defeat and were far more important carriers of Islamic
advanced knowledge than the Christian warriors. Muslim peoples were little interested in aspects of
European civilization.
AN AGE OF LEARNING AND ARTISTIC REFINEMENT. The political and social turmoil of late
Abbasid times did not prevent Muslim thinkers and craftsmen, in states from Spain to Persia, from
producing one of the great ages of human creativity. Rapid urban growth and its associated prosperity
persisted until late in the Abbasid era. Employment opportunities for skilled individuals remained
abundant. Merchants amassed large fortunes through supplying urban needs and from long-distance trade
to India, Southeast Asia, China, North Africa, and Europe. Artists and artisans created mosques, palaces,
tapestries, rugs, bronzes, and ceramics.
The Full Flowering of Persian Literature. Persian replaced Arabic as the primary written language of
the Abbasid court. Arabic was the language of religion, law, and the natural sciences; Persian became the
language of "high culture," used for literary expression, administration, and scholarship. The
development of a beautiful calligraphy made literature a visual art form. Perhaps the greatest work was
Firdawsi's epic poem, Shah-Nama, a history of Persia from creation to Islamic conquest. Other writers, as
the great poet Sa’di and Omar Khayyam in the Rubiyat, blended mystical and commonplace themes in
their work.
Achievements in the Sciences. Muslim society for several centuries surpassed all others in scientific and
technological discoveries. In mathematics thinkers made major corrections in the theories learned from
the ancient Greeks. In chemistry they created the objective experiment. Al-Razi classified all material
substances into three categories: animal, vegetable, mineral. Al-Biruni calculated the exact specific
weight of 18 major minerals. Sophisticated, improved, astronomical instruments, like the astrolabe, were
used for mapping the heavens. Much of the Muslim achievement had practical application. In medicine
improved hospitals and formal courses of studies accompanied important experimental work. Traders and
craftsmen introduced machines and techniques originating in China for paper making, silk weaving, and
ceramic firing. Scholars made some of the world's best maps.
Religious Trends and the New Impetus for Expansion. The conflicting social and political trends
showed in divergent patterns of religious development. Sufis developed vibrant mysticism, but ulama
(religious scholars) became more conservative and suspicious of non-Muslim influences and scientific
thought. They were suspicious of Greek rationalism and insisted that the Quran was the all-embracing
source of knowledge. The great theologian al-Ghazali struggled to fuse Greek and Quranic traditions, but
often was opposed by orthodox scholars. The Sufis created the most innovative religious movement.
They reacted against the arid teachings of the ulama and sought personal union with Allah through
asceticism, meditation, songs, dancing, or drugs. Many Sufis gained reputations as healers and miracle
workers; others made the movement a central factor in the continuing expansion of Islam.
New Waves of Nomadic Invasions and the End of the Caliphate. In the early 13th century central
Asian nomadic invaders, the Mongols, threatened Islamic lands. Chinggis Khan destroyed the Turkic-
Persian kingdoms east of Baghdad. His grandson, Hulegu, continued the assault. The last Abbasid ruler
was killed when Baghdad fell in 1258. The once great Abbasid capital became an unimportant backwater
in the Muslim world.
The Coming of Islam to South Asia. Muslim invasions from the 7th century added to the complexity of
Indian civilization. Previous nomadic invaders usually had blended over time into India’s sophisticated
civilization. Muslims, possessors of an equally sophisticated, but very different, culture, were a new
factor. The open, tolerant, and inclusive Hindu religion, based in a social system dominated by castes,
Islam was doctrinaire, monotheistic, evangelical, and egalitarian. In the earlier period of contact, conflict
predominated, but as time passed, although tensions persisted, peaceful commercial and religious
exchange occurred in a society where Muslim rulers governed Hindu subjects.
North India on the Eve of the Muslim Invasions. North India remained politically divided between
rival dynasties after the 5th century fall of the Gupta until Harsha in the 7th century created a stable
successor empire in the central and eastern Ganges plain. Although he ruled an area larger than any
contemporary European realm, Harsha failed to unite India’s subcontinent. Harsha's reign was a time of
peace and prosperity. He built roads, rest houses, and hospitals; he endowed temples and Buddhist
monasteries. Urban areas, as the capital at Kanuji, flourished and artistic creativity revived. Harsha, a
Hindu, was tolerant of all faiths and strongly attracted to Buddhism.
Political Divisions and the First Muslim Invasions. Harsha's empire collapsed with his death in 646.
Hindu culture continued to flourish, but political divisions left north India open to Muslim invasions
beginning in 711. The Umayyad general Muhammad ibn Qasim conquered and annexed Sind, and ,
despite quarrels among succeeding Muslim dynasties, the occupation endured. Many Indians, treated as
"people of the book," welcomed the new rulers because offered religious tolerance and lighter taxes. Most
indigenous officials retained their positions, while brahmin castes were respected. Few Arabs resided in
cities or garrison towns, and minimal conversion efforts did not change existing religious beliefs.
Indian Influences on Islamic Civilization. Although Islam's impact in India was minimal, Islamic
civilization was enriched by Indian culture. Indian achievements in science, mathematics,, medicine,
music, and astronomy passed to the Arabs. Indian numerals were accepted, later to pass to Europe as
"Arabic" numerals. Colonies of Arabs settled along India's coasts, adopted local customs, and provided
staging points for later Islamic expansion to island and mainland Southeast India.
From Booty to Empire: The Second Wave of Muslim Invasions. After the initial Muslim conquests,
internal divisions weakened Muslim rule and allowed limited Hindu reconquest. In the 10th century a
Turkish dynasty gained power in Afghanistan. Its third ruler, Mahmud of Ghazni, began two centuries of
incursions into northern India. In the 12th century the Persian Muhammad of Ghur created an extensive
state in the Indus valley and north-central India. Later campaigns extended it along the plains of the
Ganges to Bengal. A lieutenant to Muhammad, Qutb-ud-Din Aibak, later formed a new state, with its
capital at Delhi on the Ganges plain. The succeeding dynasties, the sultans of Delhi, were military states;
their authority was limited by factional strife and dependence upon Hindu subordinates. They ruled much
of north-central India for the next 300 years.
Patterns of Conversion . Although Muslims came as conquerors, interaction with Indians early was
dominated by peaceful exchanges. The main carriers of Islam were traders and Sufi mystics, the latter
drawing followers because of similarities to Indian holy men. Their mosques and schools became centers
of regional political power providing protection to local populations. Low and outcast Hindus were
welcomed. Buddhists were the most numerous converts. Buddhist spiritual decline had debased its
practices and turned interest to the vigorous new religion of Islam. Others converted to escape taxes or
through intermarriage. Muslim migrants fleeing 13th and 14th century Mongol incursions also increased
the Islamic community.
Patterns of Accommodation. In most regions Islam initially had little impact on the general Hindu
community. High-caste Hindus did not accept the invaders as their equals. Although serving as
administrators or soldiers, they remained socially aloof, living in separate quarters and not intermarrying.
Hindus thought the Muslims, as earlier invaders, would be absorbed by Hindu society. Muslim
communities did adopt many Indian ways; they accepted Hindu social hierarchies, foods, and attitudes
toward women.
Islamic Challenge and Hindu Revival. Muslims, despite Indian influences, held to the tenets of Islam.
The Hindu response, open to all individuals and castes led to an increased emphasis on devotional cults of
gods and goddesses (bhakti). The cults, open to men, women, and castes, stressed the importance of
strong emotional bonds to the gods. Mira Bai, a low-caste woman, and Kabir, a Muslim weaver,
composed songs and poems in regional languages accessible to common people. Reaching a state of
ecstatic unity brought removal of all past sins and rendered caste distinctions meaningless. Shiva, Vishnu,
and the goddess Kali were the most worshipped gods. The movement helped, especially among low-caste
groups, to stem conversion to Islam.
Stand-off: The Muslim Presence in India at the End of the Sultanate Period. Similarities in style and
message between Sufis and bhaktic devotees led to attempts to bridge the gaps between Islam and
Hinduism. The orthodox of each faith repudiated such thought. Brahmins denounced Muslims as temple
destroyers and worked for reconversion to Hinduism. Muslim ulama stressed the incompatibility of
Islam's principles with Hindu beliefs. By the close of the sultanate period there were two distinct religious
communities. The great majority of the population remained Hindu. They were convinced of the
superiority of Indian religion and civilization, and of its capability to absorb the Muslim invaders. South
Asia remained the least converted and integrated of all areas receiving the message of Islam.
The Spread of Islam to Southeast Asia. Southeast Asia had been a middle ground where the Chinese
part of the Eurasian trading complex met the Indian Ocean zone. By the 7th and 8th centuries southeast
Asian sailors and ships were active in the trade. When Muslims, from the 8th century, gained control of
Indian commerce, Islamic culture reached Southeast Asia. The 13th century collapse of the trading
empire of Shrivijaya, ruled by devout Buddhists and located on the Straits of Malacca and northern
Sumatra, made possible large-scale, peaceful, Muslim entry.
Trading Contacts and Conversion. Peaceful contacts and voluntary conversion were more important to
the spread of Islam than conquest and force. Trading contacts prepared the way for conversion, with the
process carried forward by Sufis. The first conversions occurred in small northern Sumatran ports. On
the mainland the key to the spread of Islam was the city of Malacca, the smaller successor to Shrivijaya.
From Malacca Islam went to Malaya, Sumatra, and the state of Demak on Java's north coast. Islam spread
into Java and moved on to the Celebes and Mindanao in the Philippines. Coastal cities were the most
receptive to Islam. Their conversion linked them to a Muslim system connected to the principal Indian
Ocean ports. Buddhist dynasties were present in many regions, but since Buddhist conversions were
limited to the elite, the mass of the population was open to the massage of Sufis. The island of Bali and
mainland Southeast Asia, where Buddhism had gained popular support, remained impervious to Islam.
Sufi Mystics and the Nature of Southeast Asian Islam. The mystical quality of Islam in Southeast Asia
was due to Sufi strivings. They often were tolerant of the indigenous peoples’ Buddhist and Hindu
beliefs. Converts retained pre-Islamic practices, especially for regulating social interaction. Islamic law
ruled legal transactions. Women held a stronger familial and societal position than they had in the Middle
East or India. They dominated local markets, while in some regions matrilineal descent persisted. Many
pre-Muslim beliefs were incorporated into Islamic ceremonies.
In Depth: Conversion and Accommodation in the Spread of World Religions. Great civilizations and
world religions have been closely associated throughout world history. World religions, belief structures
that flourish in many differing cultures, have to possess a spiritual core rich enough to appeal to potential
converts. They have to possess core beliefs that allow adherents to maintain a sense of common identity,
but also must be flexible enough to allow retention of important aspects of local culture. The capacity for
accommodation allowed Islam, and later Christianity, to spread successfully into many differing
communities.
Conclusion: The Legacy of the Abbasid Age. Despite the political instability of the Abbasids, Islam's
central position in global history was solidified. The expanding Muslim world linked ancient civilizations
through conquest and commercial networks. Islam was the civilizer of nomadic peoples in Asia and
Africa. Its cultural contributions diffused widely from great cities and universities. There were, however,
tendencies that placed Muslims at a disadvantage in relation to rival civilizations, particularly to their
European rivals. Political divisions caused exploitable weaknesses in many regions. Most importantly,
the increasing intellectual rigidity of the ulama caused Muslims to become less receptive to outside
influences at a time when the European world transformed its culture and power.
KEY TERMS
al-Mahdi: 3rd Abbasid caliph (775-785); failed to reconcile Shi’i moderates to his dynasty and to resolve
the succession problem.
Harun al-Rashid: most famous of the Abbasid caliphs (786-809); renowned for sumptuous and costly
living recounted in The Thousand and One Nights;.
Buyids: Persian invaders of the 10th century; captured Baghdad; and as sultans through Abbasid
figureheads.
Seljuk Turks: nomadic invaders from central Asia; staunch Sunnis; ruled from the 11th century in the
name of the Abbasids.
Crusades: invasions of western Christians into Muslim lands, especially Palestine; captured Jerusalem
and established Christian kingdoms enduring until 1291.
Saladin: 12th century Muslim ruler; reconquered most of the Crusader kingdoms.
Ibn Khaldun: Great Muslim historian; author of The Muqaddimah; sought to
uncover persisting patterns in Muslim dynastic history
Rubiyat: epic of Omar Khayyam; seeks to find meaning in life and a path to union with the divine.
Shah-Nama: epic poem written by Firdawsi in the late 10th and early 11th centuries; recounts the history
of Persia to the era of Islamic conquests.
Sa’di: a great poet of the Abbasid era.
al-Razi: classified all matter as animal, vegetable, and mineral.
al-Biruni: 11th century scientist; calculated the specific weight of major minerals.
ulama: Islamic religious scholars; pressed for a more conservative and restrictive theology; opposed to
non-Islamic thinking.
al-Ghazali: brilliant Islamic theologian; attempted to fuse Greek and Quranic traditions.
Sufis: Islamic mystics; spread Islam to many Afro-Asian regions.
Mongols: central Asian nomadic peoples; captured Baghdad in 1258 and killed the last Abbasid caliph.
Muhammad ibn Qasim: Arab general who conquered Sind; and made it part of the Umayyad Empire.
Arabic numerals: Indian numerical notation brought by the Arabs to the West.
Harsha: 7th century north Indian ruler; built a large state that declined after his death in 646.
Mahmud of Ghazni: 3rd ruler of a dynasty in Afghanistan; invaded northern India during the 11th
century..
Muhammad of Ghur: Persian ruler of a small kingdom in Afghanistan; invaded and conquered much of
northern India.
Qutb-ud-din Aibak: lieutenant of Muhammad of Ghur; established kingdom in India with the capital at
Delhi.
sati: Hindu ritual for burning widows with their deceased husbands.
bhaktic cults: Hindu religious groups who stressed the importance of strong emotional bonds between
devotees and the gods or goddesses - especially Shiva, Vishnu, and Kali .
Mir Bai: low-caste, woman poet and song-writer in bhaktic cults.
Kabir: 15th century Muslim mystic who played down the differences between Hinduism and Islam.
Shrivijaya: trading empire based on the Malacca straits; its Buddhist government resisted Muslim
missionaries; when it fell southeastern Asia was opened to Islam.
Malacca: flourishing trading city in Malaya; established a trading empire after the fall of Shrivijaya.
Demak: most powerful of the trading states on the north Java coast; converted to Islam and served as a
dissemination point to other regions.
LECTURE SUGGESTIONS
1. Compare and contrast the initial spread of Islam throughout the Mediterranean and the Middle
East with the Islamic incursions into India and Southeast Asia. Most of the first expansion in the
Mediterranean region and the Middle East was by Arabian tribesmen. The government under the
Umayyads retained the initial concept of rule by a small Arab elite; full citizenship for mawali was
denied. The Abbasids gave full citizenship to non-Arabs. The second stage of Islamic expansion was led
by non-Arabs. The presence of Sufi missionaries made for a more peaceful expansion and to less
restrictive forms of Islam. Converts, as in the Delhi sultanate, retained many of their previous Hindu
beliefs and social systems.
2. Discuss the political, cultural, and economic characteristics of the Abbasid Empire. In political
organization the Abbasids suffered from a loss of central authority and a growth of regional dynasties.
There were many revolts by Shi'i, mercenary armies, and peasants. The dynasty crumbled from the
invasions of Buyids, Seljuk Turks, and Mongols. The Abbasid economy depended on agriculture and
trade. Agriculture required irrigation and this failed under the later dynasty. Cities grew and prospered;
long-distance trade reached into India and Southeast Asia. In culture the Abbasids were the zenith of
Islamic civilization, with advances in science, literature, mathematics, and philosophy.
CLASS DISCUSSION QUESTIONS
1. What were the causes for the weaknesses of the later Abbasid Empire?
2. What was the position of women in the Abbasid Empire?
3. Describe the economy of the later Abbasid Empire.
4. Discuss theological developments within Islam during the Abbasid Empire.
5. Discuss the stages of Islamic incursion into India.
6. To what extent were Muslims successful in converting Indians to Islam?
THE INSTRUCTOR'S TOOL KIT
Map References
Danzer, Discovering World History Through Maps and Views
Source Maps: S23-24. Reference Maps: R24, R28.
Audio Cassettes
The Rubaiyat of Omar Khayyam (the 4th translation). Caedmon
Documents
The Koran and the Family
The Islamic Religion
Religious and Political Organization in the Islamic Middle East
Islamic Culture
Recapturing the African Religious Tradition
In Stearns, op. cit.
Video/Film
The Five Pillars of Islam. Films for the Humanities and Sciences, #SQ708
Islamic Science and Technology. Films for the Humanities and Sciences, #SQ712
Christians, Jews, and Moslems in Medieval Spain. Films for the Humanities and
Sciences, #CN-1958
The Story of Islam. Filmic Archives
The Sindbad Voyage. Films for the Humanities and Sciences, #KT42~92
Kasus Perang Salib
di Februari 18, 2012 Label: Islamisation
KONFLIK DAN KERJASAMA ISLAM DANBARAT (KASUS PERANG SALIB 1095-1291 M ) Oleh: Ajat Sudrajat Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY Abstrak Dunia Islam dan Barat telah melakukan interaksi cukup lama, bahkan berabad-abad, tetapi interaksi kedua belah pihak seringkali diwarnai konflik dan pemberian stereotip yang negatif. Untuk tujuan tersebut tulisan ini mengambil Perang Salib sebagai fokus kajiannya. Selain adanya perang yang tengah berlangsung, gejala yang sangat menarik pada kurun tersebut adalah terjadinya revolusi komersial di Eropa. Ternyata kerjasama di bidang perdaganan ini tidak pernah berhenti sepenuhnya. Perang Salib telah memberikan berkah yang luar biasa, karena melalui jalur salib ini perekonomian Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sekalipun dunia Islam memperoleh keuntungan dengan adanya jalur ini, yang paling diuntungkan adalah Eropa. Kerjasama bidang perdagangan dan ekonomi pada umumnya, oleh karena itu dapat dijadikan fondasi untuk membangun interaksi yang positif antara dunia Islam dan Barat. Kata kunci: Islam, Barat, Perang Salib. A. Pendahuluan
Interaksi dunia Islam dan Barat1 senantiasa menarik untuk diperhatikan.2 Interaksi kedua peradaban ini tidak habis-habisnya mengundang
1 Penghadapan Islam dan Barat menurut logika bahasa tentu saja aneh dan janggal, sebab Islam adalah nama suatu agama, dan Barat adalah penunjuk arah. Islam mestinya dilawankan dengan Kristen, dan Barat dihadapkan dengan Timur. Tetapi istilah Islam dan Barat rupanya sudah memiliki muatan konseptual-ideologis yang sudah memiliki konotasi tertentu. Dewasa ini, penggunaan istilah Barat merupakan representasi dari peradaban Eropa dan Amerika. Tetapi secara historis, peradaban Barat menunjuk kepada peradaban Eropa yang berbasis pada kekristenan. Lihat Samuel P. Huntington, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm. 51. Dalam disertasi ini penggunaan istilah Barat, Eropa, dan Eropa Kristen dipakai secara bergantian, disesuaikan dengan konteks pembahasannya.
2 Menurut Huntington, ada tujuh peradaban major yang masih ada sampai sekarang, yaitu: Tionghoa, Jepang, Hindu, Islam, Rusia (Kristen Ortodoks), Barat, dan Amerika Latin. Sedangkan menurut Melko, yang juga dikutip oleh Huntington,
diskusi, sehingga minat untuk mengkajinya pun tidak pernah surut dan berhenti. Salah satu daya tarik mengapa kajian itu terus berlangsung adalah aroma konflik yang mengiringi interaksi keduanya.
Seperti sudah diketahui bersama, interaksi dunia Islam dengan Barat seringkali dikemukakan dalam pengertian yang kontras, bahkan tidak jarang diikuti munculnya stereotip3 negatif dari kedua belah pihak dan menganggapnya sebagai musuh. Ungkapan-ungkapan seperti: “orang Kristen melawan orang Islam, salib melawan bulan sabit, agama Kristen melawan agama Islam, dunia Islam adalah ancaman bagi Barat, Barat adalah musuh Islam”, adalah cerminan dari interkasi yang beraroma kontras tersebut.4
Adanya kesan interaksi yang kontras tersebut sebagian diperkuat dan didukung oleh pernyataan sejumlah pemimpin agama maupun politik. Media massa, disadari atau tidak, ikut pula terjerumus ke dalam propaganda ini, sehingga muncul sikap saling tidak percaya dan curiga.5 Buku yang ditulis Huntington dengan judul The Clash of Civilizations and The Remaking of
menyebut lima peradaban, yaitu: Tionghoa, Jepang, India, Islam, dan Barat. Ibid., hlm. 47-49. 3 Menurut Walter Lipmann, stereotip adalah gambaran di kepala yang merupakan rekonstruksi atau mekanisme penyederhana dari suatu keadaan lingkungan. Gambaran itu kemudian dijadikan alasan untuk menentukan suatu tindakan tertentu. Lihat Suwarsih Warnaen, Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 116. 4 Menurut Gairdner, orang Islam melihat Kristen sebagai agama yang telah menyimpang, oleh karena itu harus diperbaiki, disempurnakan, dan digantikan; agama Kristen juga telah memisahkan antara dunia dan agama. Lihat Muhammad Mustafa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 262. Sementara itu orang-orang Kristen menyatakan bahwa Islam adalah agama kafir, Muhammad adalah manusia perang, Islam mengembangkan intoleransi, dan seterusnya. Lihat Robert Spencer, Islam Ditelanjangi: Pertanyaan-Pertanyaan Subversif Seputar Doktrin dan Tradisi Kaum Muslimin, terj. Mun’im A. Sirry (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 9-117. 5 Lihat Samuel P.Huntington, “The Clash of Civilizations?” Foreign Affairs (Summer 1993), hlm. 22-49. Tulisan ini antara lain menegaskan bahwa telah terjadi konflik berkepanjangan antara dunia Islam dan Barat selama 1300 tahun. Ia menyebutnya sebagai age-old enemies. Lihat juga tulisan John L. Esposito, “Islam and the West After Sept. 11: Civilizational Dialogue or Conflict?” dalam The Emirates Center for Strategic Studies and Research (Nov. 2002), http://www.cmcu. georgetown.edu/ pdf/Islam_ and_the_west_after-Sepet_11_ESCR, Internet, diakses tanggal 15 Maret 2006. Lihat juga Abdul Aziz Said, dkk., “Islam and West: Three Stories”, Center for Strategic and International Studies (30 Juni 1998), diperoleh dari http://www.american. edu/academic. dept/Islam&West.pdf., Internet, diakses tanggal 15 Maret 2006.
World Order adalah salah satu contohnya. Demikian juga dengan pemuatan kartun Nabi Muhammad saw. di harian Denmark Jylland-Posten6 dan pernyataan Paus Benediktus XVI berkenaan dengan ajaran jihad dalam Islam yang memuat kekerasan.7 Dalam bentuk yang lain, kesan itu semakin kuat dengan terjadinya penyerangan WTC pada tanggal 11 September 20018 oleh sekelompok orang yang diidentifikasi sebagai fundamentalis Muslim9 dan penyerangan koalisi Amerika-Inggris terhadap Irak.
Walaupun dunia Islam dan Barat telah melakukan interaksi selama berabad-abad, demikian dikatakan Esposito, hubungan kedua belah pihak seringkali ditandai oleh ketidaktahuan, saling memberi stereotip, menghina, dan konflik.10 Dalam pandangan Syafii Maarif, interaksi antara dunia Islam dan Barat ini perlu mendapatkan perhatian serius. Hubungan yang traumatik antara dunia Islam dan Barat perlu diamati akar sejarahnya.11 Demikian pentingnya kajian tersebut, dalam sebuah tulisan yang dipersembahkan untuk memperingati 70 tahun H.A. Mukti Ali, Syafii Maarif mengatakan:
A. Mukti Ali adalah seorang cendekia Indonesia yang sudah sejak lama menganjurkan kajian oksidentalisme sebagai imbangan dari kajian orientalisme yang sudah berusia selama berabad-abad. Banyak kendala yang harus dilalui untuk mewujudkan gagasan ini. Kendalanya terutama terletak pada tenaga pengajar yang kualifaid yang tidak selalu mudah didapatkan. Bila gagasan ini dapat direalisasikan, salah satu mata kuliah
6 “Dunia Muslim Kutuk Pemuatan Kartun Nabi”, diperoleh dari http://www. suaramerdeka.com/harian/0602/int02.htm, Internet, akses tanggal 15 Maret 2006.
7 “Umat Muslim Tuntut Paus Minta Maaf”, diperoleh http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=111627, Internet, diakses 15 tanggal September 2006. 8 Tim Redaksi HotCopy, Osama bin Laden: Teroris atau Mujahid? (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 62. 9 Fundamentalis adalah sebutan untuk orang-orang yang menganut faham fundamentalis. Istilah fundamentalisme Islam mulai popular di kalangan Barat bersamaan dengan terjadinya Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Fundamentalisme Islam merupakan intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam, yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali akan nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupannya. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 107-108. 10 John L. Esposito dkk., Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, terj. Ahmad Syahidah (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm. v. 11Ahmad Syafii Maarif, Kapita Selekta Sejarah Asia Barat (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta, 1994), hlm.18.
yang patut ditawarkan adalah Hubungan Islam dan Barat, sebuah corak hubungan yang sudah berlangsung sekitar 14 abad dengan segala dimensinya yang positif dan negatif.12
Senada dengan Syafii Maarif, meskipun dalam perspektif yang berbeda, Munoz menyatakan mengenai perlunya pembaharuan kurikulum baik di Barat maupun di dunia Islam berkaitan dengan interaksi ini. Sejalan dengan keharusan usaha-usaha tersebut, menurut Munoz, sudah saatnya pula untuk melakukan penafsiran kembali terhadap sejarah interaksi yang melibatkan keduanya. Penafsiran ini perlu dilakukan sebagai suatu usaha untuk mengonstruksi citra yang lebih positif satu sama lain.13 Penafsiran kembali mengenai interaksi dunia Islam dan Barat ini diharapkan dapat membantu mengurangi atau jika mungkin menghilangkan prasangka dari kedua belah pihak, meskipun untuk yang disebut terakhir sangat sulit terwujud. Penafsiran kembali ini diharapkan dapat menggantikan citra-citra buruk yang dibangun secara timbal balik selama ini. Pendeknya, penafsiran kembali ini dapat menjadikan kedua belah pihak saling bersahabat dan peduli.
Untuk itu penafsiran terhadap interaksi dunia Islam dan Barat harus menghindari teori benturan peradaban seperti yang banyak dilakukan selama ini. Kekaisaran Bizantium dilawan oleh Khilafah Islamiyah, pemerintahan Islam di Spanyol dilawan oleh Kerajaan Kristen, dan Turki Uśmani dilawan oleh Eropa. Dalam pengertian yang lebih umum, interaksi sosial, ekonomi, dan politik dunia Kristen Abad Pertengahan dihadapkan dengan dunia Islam. Padahal, demikian menurut Syafii Maarif, di sela-sela hubungan yang kontras antara dunia Islam dan Barat, tidak jarang kedua belah pihak telah menunjukkan sikap saling mengenal, saling belajar, dan saling memberi dan menerima.14
Untuk menafsirkan kembali interaksi dunia Islam dan Barat, dan memperhatikan pernyataan G.W. Bush yang menggunakan istilah Perang Salib menyusul peristiwa 11 September 2001,15 tulisan ini bermaksud melihat
12 Abdurrahman dkk. (ed.), Agama dan Masyarakat (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993), hlm. 147. 13 Gema Martin Munoz, “Pengantar”, dalam John L. Esposito dkk., Dialektika..., hlm. xiv. 14 Ahmad Syafii Maarif, Kapita..., hlm. 18. 15 Tim Redaksi HotCopy, Osama..., hlm. 62.
kembali peristiwa Perang Salib yang terjadi antara abad ke-11 dan 13 M. Seperti diketahui, dari serangkaian peristiwa historis yang telah mengonstruksi pemikiran Barat tentang dunia Islam, Perang Salib ditengarai sebagai peristiwa yang paling menentukan. Selain itu, dibandingkan dengan peristiwa lainnya, Perang Salib juga merupakan peristiwa paling representatif yang telah mempertemukan Eropa Kristen dengan dunia Islam.
Peristiwa yang terjadi pada Abad Pertengahan tersebut telah meninggalkan kesan yang sangat kuat, kesan yang selanjutnya mempengaruhi hubungan Barat dan dunia Islam di kemudian hari.16 Perang Salib beserta pemikiran-pemikiran yang mengiringinya telah mengonstruksi citra dunia Islam di mata Barat dan sebaliknya. Akhirnya, Perang Salib telah melahirkan perasaan saling tidak percaya serta salah paham yang tidak berkesudahan.17
Pernyataan Bush, menyusul peristiwa 11 September 2001 dengan istilah Perang Salibnya, telah membuktikan kuatnya kesan peristiwa itu. Demikian juga dengan pernyataan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi, meskipun dengan redaksi yang berbeda, yang menyatakan Islam adalah musuh utama peradaban Barat, telah memperlihatkan kesan yang sama.18 Penggunaan istilah Perang Salib oleh Bush, sekalipun segera ditarik kembali, jelas menunjukkan betapa kuat dan membekasnya peristiwa itu dalam benak Barat. B. Interaksi Dunia Islam dan Barat
Sepanjang sejarah yang dilaluinya hubungan antara dunia Islam dan Kristen adalah rumit dan berbelit-belit, demikian dikatakan Goddard.19 Kedua agama ini secara geografis dan historis berasal dari suatu kawasan yang sama, yaitu Asia Barat, tetapi dalam proses penyebarannya kedua agama ini berkembang dan berpengaruh di kawasan yang berbeda. Apabila agama Islam berpengaruh kuat di Asia dan Afrika, maka agama Kristen berkembang di Eropa dan Amerika. Dalam konotasi tertentu, yang pertama diasosiasikan dengan dunia Timur sedangkan yang kedua dengan dunia Barat.20 Dewasa ini,
16 John L Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, terj. Alwiyah Abdurrahman dan MISSI (Bandung: Mizan,1994), hlm. 50. 17 Ibid., hlm. 51. 18 Akbar S. Ahmed, Islam sebagai Tertuduh, terj. Agung Prihantoro (Bandung: Arasy Mizan, 2004), hlm. 52. 19 Hugh Goddard, A History of Christian-Muslim Relations (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000), hlm.2.
20 Lihat tulisan Komaruddin Hidayat, “Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat”, dalam pengantar untuk edisi Indonesia buku Hassan Hanafi, Oksidentalisme:
akibat dari mobilisasi dan migrasi para penganutnya, kedua komunitas agama ini benar-benar telah menyebar ke seluruh wilayah dan mendunia.
Hubungan yang rumit dan berbelit antara dunia Islam dan Barat dapat terlihat dalam interaksi yang melibatkan keduanya. Interaksi yang terjadi antara dunia Islam dan Barat, seperti interaksi yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya, menurut Murray, dapat berbentuk kompetisi, konflik, dan kerjasama. Interaksi yang dimaksud adalah proses hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi, baik dalam bentuk pertukaran pemikiran maupun barang.21
Namun demikian, menurut Murray selanjutnya, tidak ada satu pun masyarakat di dunia ini yang secara eksklusif hanya mengadopsi satu bentuk interaksi. Interaksi antara dunia Islam dan Barat misalnya, seringkali terjadi secara tumpang-tindih. Interaksi yang melibatkan keduanya sekaligus memperlihatkan terjadinya kompetisi, konflik, dan kerjasama.22 Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, kedua komunitas ini dapat dan terlihat hidup bersama secara harmonis, tetapi pada saat yang sama tidak menutup kemungkinan bahwa kedua belah pihak sedang terlibat dalam persaingan atau kompetisi yang bersifat ideologi, politik, maupun ekonomi.
Memperhatikan ketiga bentuk interaksi di atas, kompetisi merupakan bentuk yang paling dasar dan universal. Interaksi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat berasal dari bentuk ini.23 Kompetisi yang terjadi dapat meliputi bidang yang sangat luas seperti ekonomi, politik, militer, agama dan lain-lain. Kehadiran Islam pada awal abad ke-7 M misalnya, secara otomatis telah ditempatkan oleh umat Kristen sebagai pesaing mereka, demikian dikatakan Dawson seperti dikutip oleh Mohammed.24
Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. xvi-xvii. 21 Raymond W. Murray, Sociology for a Democratic Society (New York: Apleton-Century-Crofits, Inc., 1950), hlm. 239. 22Ibid., hlm. 255. Lihat juga Hugh Goddard, “Christian-Muslim Relations: A Look Backwards and A Look Forwards”, dalam Islam and Christians-Muslim Relations, Vol. 11, No. 2, July 2000. 23 Ibid.
24 Ovey N. Mohammed, S.J., Muslim-Christian Relations: Past, Present, Future (New York: Orbis Books, 1999), hlm. 28. Lihat juga R.M. Savory, “Christendom vs. Islam: Interaction and Co-existence”, diperoleh dari http://www.renaisance.com.pk/main. html., Internet, akses tanggal 10 Desember 2005.
Park dan Burgess lebih lanjut mengatakan bahwa kompetisi pada umumnya bersifat impersonal dan berlangsung terus-menerus. Oleh karena itu, kebersamaan yang terlihat antara dunia Islam dan Kristen misalnya, tidak dengan sendirinya akan menghilangkan kompetisi di antara mereka. Selanjutnya, apabila kompetisi tersebut menjadi suatu proses yang disadari, maka hal itu akan berubah menjadi konflik. Konflik dengan demikian adalah bentuk intensifikasi dari kompetisi yang menurut Murray tidak jarang disertai dengan perilaku yang antagonistik.25 Namun, disadari sepenuhnya oleh Cuber bahwa memang sangat sulit untuk membedakan secara tegas antara kompetisi dan konflik karena senantiasa terjadi kombinasi di antara keduanya.26
Apa yang dikatakan Murray ternyata bersesuaian dengan apa yang dikatakan oleh Gurr, Galtung, dan Coser. Gurr mengatakan bahwa konflik adalah suatu peristiwa pertikaian antara dua kelompok atau lebih dengan atau tanpa kekerasan.27 Sedangkan menurut Galtung, suatu kelompok dikatakan sedang terlibat dalam konflik apabila kelompok itu memiliki tujuan yang tidak sama dengan kelompok lainnya. Kemudian menurut Coser konflik adalah suatu proses perjuangan terhadap nilai dan tuntutan akan status, kekuasaan, dan sumber daya, yang tujuan utamanya adalah menawarkan, melukai, dan menghilangkan pesaingnya.28
Adanya konflik antar kelompok ternyata diakui pula oleh Newcomb. Ketika membahas persoalan interaksi antar kelompok Newcomb melihat adanya sikap permusuhan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Kelompok-kelompok itu, menurutnya, memandang satu sama lain sebagai the other dan sikap permusuhan ini senantiasa dipelihara dan dipertahankan. Selanjutnya tidak jarang pula apabila sikap permusuhan ini muncul dalam berbagai tindak kekerasan.29 C. Prasangka dan Tindak Kekerasan
25 Ibid., hlm. 261. Lihat juga John F. Cuber, Sociology: A Synopsis of Principles, 5th Edition (New York: Appleton-Century-Crofts, 1963), hlm. 622. 26 John F. Cuber, Sociology..., ibid., hlm.623-624. 27 Ted Robert Gurr, “Deprivasi Relatif dan Kekerasan”, dalam Thomas Santoso (ed), Teori-Teori Kekerasan (Jakarta: Ghalia Indonesia bersama Universitas Kristen Petra, 2003), hlm. 78. 28 Ibid. 29 Theodore M. Newcomb dkk., Psikologi Sosial, terj. Joesoef Noesjirwan ddk. (Bandung: Diponegoro, 1978), hlm. 561.
Terjadinya interaksi yang disertai tindak kekerasan, demikian dikatakan Horton dan Hunt, antara lain disebabkan karena adanya prasangka kelompok. Menurutnya, ketika suatu kelompok berhadapan dengan kelompok lain, kapan dan dimana pun, akan muncul kecenderungan untuk mengembangkan stereotip dalam bentuk prasangka. Prasangka di sini adalah suatu penilaian atau pendapat yang diungkapkan seseorang atau sekelompok orang terhadap kelompok lain dengan tidak mengetahui fakta yang sebenarnya.30
Menurut Newcomb, munculnya prasangka tidak hanya disebabkan oleh adanya ketidakmatangan psikologis, tetapi juga karena adanya proses sosialisasi atas prasangka yang dikembangkan dalam kelompok. Dalam prakteknya kemudian prasangka akan mengarah kepada dua hal, yaitu adanya kecenderungan untuk mengambil jarak dan tidak melakukan hubungan, atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan pihak lain.31
Masih menurut Newcomb, ada lima hal yang menyebabkan munculnya prasangka. Lima hal itu adalah: (a). etnosentrisme, yaitu adanya kecenderungan untuk mengatakan hal-hal yang baik pada kelompoknya dan berpikir buruk terhadap kelompok lain; (b). fakta yang sederhana, yaitu memberikan penilaian tentang kelompok lain dengan pengetahuan yang tidak memadai; (c). membuat generalisasi mengenai kelompok lain dari pengalamannya sendiri; (d). adanya kecenderungan untuk menyeleksi stereotip yang mendukung keyakinannya sendiri; dan (e). adanya kecenderungan untuk mengembangkan prasangka terhadap kelompok lain yang menjadi rivalnya.32
Prasangka dengan demikian telah menyebabkan terjadinya distorsi dan tidak tercapainya pemikiran yang obyektif. Apabila suatu interaksi telah dirasuki oleh prasangka, maka yang akan lahir adalah konflik. Dalam interaksi yang bersifat keagamaan misalnya, prasangka tidak hanya akan melahirkan sikap diskriminatif tetapi kemungkinan juga munculnya tindak kekerasan. Perlakuan yang diskriminatif dan kekerasan ini antara lain dapat dilihat dalam masalah seleksi dalam pergaulan, pengusiran, sampai pada pembasmian kelompok.33
30 Paul B. Horton and Chester L. Hunt, Sociology (New York: McGraw-Hill Book Company, 1980), hlm. 356. 31 Theodore M. Newcomb dkk., Psikologi..., hlm, 564-565. 32 Ibid., hlm. 356.
33 Pada tahun 1492, ketika Raja Ferdinand dan Isabella berhasil menguasai Granada, yang merupakan pertahanan terakhir pemerintahan Islam di Spanyol, keduanya melakukan pengusiran terhadap orang-orang Islam. Lihat Teguh Setiawan
Meskipun diakui adanya hubungan timbal balik antara prasangka, diskriminasi dan tindak kekerasan, tetapi untuk menjelaskannya tidaklah sederhana. Terjadinya perlakuan yang diskriminatif dan tindak kekerasan bisa jadi melibatkan banyak hal, tidak semata-mata diakibatkan oleh prasangka. Meskipun demikian, dengan tegas Myrdal menyatakan bahwa prasangka adalah suatu keyakinan dengan suatu tujuan, yaitu untuk membenarkan praktik-praktik rasial.34 Menurut Adorno, akibat dari prasangka tidak terbatas pada ketidakamanan yang bersifat emosional, tetapi bahkan bisa meluas pada tindakan yang berupa kekerasan, apabila hal itu mendapat dukungan kelompok.35 Boyd secara tegas mengatakan bahwa hakikat prasangka di seluruh dunia adalah sama, di mana pun dan kapan pun, bahkan sampai yang akan datang. Prasangka, di mana dan kapan saja, akan dan bisa mengarah pada konflik kekerasan. Boyd telah memberikan kerangka secara logis pemikiran Allport sebagai berikut:
a. Antilokusi (anti mengungkapkan perasaan dan pikiran sesuai fakta). Kecenderungan orang-orang yang memiliki prasangka akan membicarakan orang lain kapan dan di mana pun. Mereka akan mengungkapkan perasaan antagonisnya secara bebas. Karena itu, tindakan kebanyakan orang tidak pernah terlepas dari sikap antipati.
b. Avoidansi (penghindaran). Apabila prasangka telah merasuk dengan kuat, maka hal itu akan mengarahkan seseorang pada sikap tidak acuh dan bisa meningkat pada sikap tidak suka.
c. Diskriminasi (perlakuan berbeda). Prasangka juga akan mengarahkan seseorang pada tindakan-tindakan yang berupa pembedaan yang bersifat merugikan. Pemisahan (segregasi) adalah bentuk pelembagaan dari diskriminasi.
dan Sri Budi E.W. (peny.), Denyut Islam di Eropa (Jakarta: Penerbit Republika, 2002), hlm. 136. 34 Theodore M. Newcomb dkk., Psikologi..., hlm. 357. Bandingkan dengan pendapat A.L. Kroebe, seorang antropolog, yang menyebutkan enam faktor penyebab prasangka ras dan aksi rasialisme. Enam faktor itu adalah: faktor ekonomis, politis, sosio-kultural, psikologis, religius, dan biologis. Penjelasan lebih jauh lihat tulisan Stanley P. Adi yang berjudul “Rasisme dan Rasialisme” dalam buku yang diedit Sandra Kartika dan M. Mahendra, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman (Jakarta: LSPP, 1999), hlm. 96-100. 35 Theodore M. Newcomb dkk., Psikologi..., ibid.
d. Serangan fisik. Di bawah kondisi emosi yang dipengaruhi oleh prasangka dapat mengarahkan seseorang pada tindakan-tindakan kekerasan atau semi kekerasan.
e. Eksterminasi (pembasmian). Kulminasi dari prasangka adalah terjadinya pembasmian suatu kelompok atas kelompok yang lain.36
Menurut Armstrong, gambaran mengenai prasangka, konflik, dan tindak kekerasan ini tampaknya dapat dilihat dalam interaksi yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Interaksi yang melibatkan kedua entitas ini, selama Abad Pertengahan (yang merupakan masa Perang Salb berlangsung) dan bahkan sampai sekarang, ternyata diliputi oleh prasangka ini. Sungguh sulit bagi seseorang untuk menghilangkan prasangka lamanya atas kebudayaan lain, demikian dikatakan Armstrong.37
Senada dengan Armstrong, Huntington mengatakan bahwa hubungan antar pelbagai negara yang berasal dari peradaban yang berbeda tidak bisa dilepaskan dari warisan masa lalunya. Hubungan-hubungan antar peradaban ini dalam sebagian kasus mengarah pada terjadinya perang dingin peradaban.38 Huntington melihat interaksi yang terjadi antar peradaban, terutama dunia Islam dan Barat, adalah dalam pengertian ini, yaitu interaksi yang diliputi oleh konflik. Ia mengatakan:
Dalam dunia baru tersebut, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik-konflik antar kelas sosial, antar golongan kaya dengan golongan miskin, atau antar kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik antar orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda.39
Selanjutnya konflik antar peradaban ini, menurut Huntington, memiliki dua bentuk, yaitu lokal dan global. Pada tingkat lokal, garis persinggungan konflik terjadi di antara negara-negara tetangga yang memiliki perbedaan
36 Andrew Boyd, “The Nature of prejudice” dalam The Month: A Review of Christian Thought and World Affairs, No. 33, March 1999, hlm. 107-108. 37 Karen Armstrong, Holy War (London: Macmillan London Limited, 1998), hlm. xiv. 38 Samuel P. Huntington, Benturan…, hlm. 384. Samuel P. Huntington memetakan peradaban kontemporer ke dalam tujuh peradaban major. Ketujuh peradaban major kontemporer itu adalah peradaban Tionghoa, Jepang, Hindu, Islam, Ortodoks, Barat, dan peradaban Amerika Latin, lihat hlm. 47-49. 39 Ibid., hlm. 9.
peradaban, dan antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam satu negara. Pada tingkat global, skala persinggungan konflik terjadi antara negara inti dengan negara inti lainnya, atau merupakan konflik antara negara-negara besar yang memiliki perbedaan peradaban.40
Dewasa ini, setelah runtuhnya Uni Soviet, perang dingin peradaban ini bergeser menjadi antara dunia Islam dan Barat. Dalam kata pengantar yang ditulis untuk penerbitan terjemahan buku Huntington, dinyatakan bahwa potensi konflik yang akan mendominasi dunia masa datang adalah antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius.41 Namun demikian, tanpa bermaksud menafikan adanya koalisi antara Islam dan Konfusius, selama ini telah tertanam adanya kesadaran kolektif mengenai pertikaian antara dunia Islam dan Barat.
Ketika Huntington menyatakan bahwa perang dingin peradaban ini telah terulang kembali, secara tidak langsung menyiratkan akan adanya suatu gambaran historis mengenai interaksi yang tidak harmonis antara dunia Islam dan Barat. Sejarah yang mengiringi interaksi dunia Islam dan Barat dewasa ini seperti mengulang putaran pita kaset yang sama di masa lalu. Pernyataan itu senada dengan apa yang dikatakan Albert Hourani bahwa sejak pertama kali kemunculannya, agama Islam telah dilihat sebagai masalah atau merupakan problem bagi Eropa Kristen.42
Seperti disebutkan oleh Galtung, konflik dapat terjadi dan berlangsung tanpa kekerasan atau sebaliknya disertai kekerasan. Selanjutnya dikatakan pula bahwa seringkali pihak-pihak yang terlibat dalam konflik menjadikan agama dan ideologi sebagai alat untuk menjustifikasi dan melegitimasi kekerasan yang dilakukannya. Apabila yang terjadi adalah seperti itu, maka itulah yang menurutnya disebut sebagai kekerasan budaya.43
Menurut Hourani, kasus interaksi antara dunia Islam dan Eropa Kristen (ia tidak menggunakan istilah Barat), sejak awal telah diwarnai oleh pertentangan yang memiliki corak militer dan keagamaan secara seimbang. Perang Salib yang berlangsung dari tahun 1095 sampai dengan tahun 1291 dan perang-perang lainnya telah mengiringi interaksi yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Hourani pun mengatakan meskipun penaklukan yang
40 Ibid., hlm. 384-385. 41 Ibid., hlm. xi. 42 Albert Hourani, Islam dalam Pandangan Eropa, terj. Imam Baihaqi dan Ahmad Baidlowi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 9. 43 Johan Galtung, “Kekerasan Budaya” dalam Thomas Santoso (ed.), Teori…, hlm. 183.
dilakukan oleh umat Islam tidak semata-mata bersifat militer, akan tetapi dalam skala luas diikuti oleh konversi agama penduduk taklukan. Menurutnya, ekspansi militer kaum Muslimin dan konversi agama penduduk ke dalam Islam merupakan ancaman serius bagi Eropa Kristen.44 D. Toleransi, Kerjasama, dan Teori Pertukaran
Meskipun terdapat kecenderungan konflik dalam interaksi antara dunia Islam dan Barat, pada dasarnya kedua belah pihak memiliki kesempatan dan kesanggupan untuk mengembangkan sikap toleransi, demikian menurut Newcomb.45 Toleransi yang dimaksudkan adalah sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dapat saling berhubungan dengan penuh satu sama lain.46 Toleransi memberikan ruang kepada kelompok yang berbeda-beda untuk hidup berdampingan dan saling mengerti tanpa merasa terganggu. Toleransi, dengan demikian, meniscayakan adanya ko-eksistensi dan kerjasama di antara kelompok-kelompok tersebut.47
Ko-eksistensi yang terjadi di antara kelompok yang berbeda ini antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah suatu proses sosial yang terjadi antara dua kelompok masyarakat untuk saling membantu satu sama lain. Meskipun demikian, menurut Bennet dan Tumin, seperti dikutip oleh Murray, tidak ada kerjasama yang sempurna dalam
44 Albert Hourani, Islam…, hlm. 9. 45 Theodore M. Newcomb dkk., Psikologi..., hlm, 564-565. 46 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 1204. 47 Suatu pernyataan yang secara eksplisit mengatur kehidupan bersama antar umat Islam, Kristen, dan Yahudi dapat dilihat dalam Piagam Madinah yang dirumuskan oleh Nabi Muhammad saw. Lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995), hlm. 124-130. Ketika tentara kaum Muslimin menaklukan wilayah-wilayah yang berpenduduk Kristen atau Yahudi, pemerintahan Muslim tetap memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk menjalankan ajaran agama mereka. Mereka pun memperoleh perlindungan sepenuhnya dari pemerintah. Status kependudukan mereka sebagai ahl al-dzimmah dijamin dengan cara memberikan pajak yang disebut jizyah. Lihat Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 281.
kehidupan nyata ini. Kebanyakan interaksi sosial senantiasa melibatkan kerjasama dan kompetisi secara bersamaan.48
Interaksi yang melibatkan dunia Islam dan Barat, selain gambaran yang diliputi konflik, tidak jarang keduanya hidup berdampingan dan terlibat kerjasama satu sama lain. Pada abad ke-8 M misalnya, ketika kaum Muslimin berhasil menguasai Laut Mediterania dan perdagangan di kawasan tersebut dari tangan Bizantium dan juga orang-orang Eropa, kedua belah pihak tetap dapat menjalin perdagangan dengan baik. Saling membantu dalam memenuhi kebutuhan masing-masing pihak adalah bagian dari mekanisme kerjasama, demikian menurut Cuber.49 Ko-eksistensi dan kerjasama yang terjadi antara dunia Islam dan Barat telah dibuktikan dalam beberapa episode sejarah keduanya.50
Bentuk kerjasama antara dunia Islam dan Eropa Kristen dalam bidang perdagangan dan ekonomi pada umumnya, meminjam teori yang dikemukakan Homans, di dalamnya mengandung proses pertukaran.51 Lebih lanjut, dikatakan bahwa proses pertukaran tersebut tidak hanya terbatas pada hubungan antara orang-orang atau masyarakat yang saling menyukai satu sama lain, melainkan terjadi juga pada orang-orang atau masyarakat yang sedang terlibat dalam kompetisi dan konflik.52 Dalam kaitannya dengan kegiatan perdagangan dan ekonomi, transaksi-transaksi pertukaran akan terjadi hanya apabila kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran itu. Kesejahteraan masyarakat akan dapat diwujudkan apabila individu-individunya dibiarkan untuk memperoleh keuntungan melalui pertukaran-pertukaran tersebut.53
48 Raymond W. Murray, Sociology..., hlm.266-267. Lihat juga John F. Cuber, Sociology..., hlm. 619. 49 Ibid., John F. Cuber, Sociology..., hlm. 620. 50 Esposito menyebutkan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan toleransi, ko-eksistensi, dan kerjasama antara Dunia Islam dan Barat, antara lain: kesepakatan antara Charlemagne dan Harun al-Rasyid mengenai penanganan para peziarah di Jerusalem, tolernsi inter-peradaban secara harmonis yang terjadi di Andalusia antara tahun 756 sampai 1000, dan ketika Toledo, pada abad ke-12, menjadi pusat studi yang didatangi oleh sarjana-sarjana dari seluruh Eropa. Lihat John L. Esposito, “Islam...”, The Emirates..., hlm. 3. 51 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 2, terj. Robert M.Z. Lawang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 57. 52 Ibid., hlm. 69. 53 Ibid., hlm. 55.
Seperti telah disebutkan di atas, tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang secara eksklusif hanya mengadopsi satu model interaksi, bahkan tidak jarang apabila interaksi tersebut terjadi secara tumpang tindih. Demikianlah dengan interaksi yang melibatkan dunia Islam dan Barat. Interaksi kedua entitas ini berjalan secara bersaman antara konflik dan kerjasama yang di dalamya melibatkan proses pertukaran. Ketika kaum Muslimin dan Eropa Kristen sedang terlibat dalam Perang Salib ternyata kedua belah pihak tetap dapat menjalin kerjasama dan proses pertukaran, yaitu dalam bidang perdagangan. E. Catatan Penutup
Interaksi dalam pengertian yang kontras yang telah mewarnai kesadaran kolektif dunia Islam dan Barat ternyata demikian kuat. Menurut Munoz, keadaan ini berasal dari pilihan instrumen yang keliru. Teori benturan kebudayaan yang berkembang dan dikembangkan selama ini terutama didasarkan pada sejumlah episode sejarah yang bersifat konfrontatif.54 Selama Perang Salib berlangsung, sekalipun kedua belah pihak sedang terlibat dalam peperangan, interaksi yang terjadi dalam bidang ekonomi, terutama dalam bidang perdagangan, ternyata tetap berlangsung. Melalui interaksi yang terjadi dalam bidang perdagangan ini masing-masing pihak telah mengambil manfaat dan memperoleh keuntungan.
Adanya fakta berupa kerjasama perdagangan yang tetap terjalin dengan baik antara kedua belah pihak selama Perang Salib diharapkan dapat mengubah penafsiran atau cara pandang masing-masing pihak. Dalam kerangka pikir seperti itulah makna dari rekonstruksi interaksi dunia Islam dan Barat dalam tulisan ini.55 Daftar Pustaka Abdurrahman dkk. (ed.), Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993.
54 Metodologi yang digunakan oleh para peneliti dalam menganalisis masalah-masalah yang melibatkan dunia Islam selalu mengacu dan menjadikan ideal-ideal Barat sebagai satu-satunya patokan. John L. Esposito dkk., Dialektika..., hlm. 4-5. 55 Menurut Gadamer, interpretasi atau penafsiran atas suatu peristiwa berarti merupakan sebuah penciptaan kembali atau rekonstruksi. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999), hlm. 78.
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995. Ahmad Syafii Maarif, Kapita Selekta Sejarah Asia Barat. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta, 1994.
Ahmed, Akbar S. Islam sebagai Tertuduh, terj. Agung Prihantoro. Bandung: Arasy Mizan, 2004.
Armstrong, Karen. Holy War. London: Macmillan London Limited, 1998.
Ayoub, Muhammad Mustafa, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam, terj. Ali Noer Zaman,Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme .Jakarta: Paramadina, 1996.
Boyd, Andrew. “The Nature of prejudice” dalam The Month: A Review of Christian Thought and World Affairs, No. 33, March 1999.
Cuber, John F. Sociology: A Synopsis of Principles, 5th Edition (New York: Appleton-Century-Crofts, Esposito, John L. dkk., Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, terj. Ahmad Syahidah. Yogyakarta: Qalam, 2002.
Esposito, John L., Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, terj. Alwiyah Abdurrahman dan MISSI. Bandung: Mizan,1994.
........., “Islam and the West After Sept. 11: Civilizational Dialogue or Conflict?” dalam The Emirates Center for Strategic Studies and Research (Nov. 2002) dalam http://www.cmcu.georgetown.edu/ pdf/Islam_and_ the_west_ after-Sepet_11_ESCR, Internet, diakses tanggal15 Maret 2006.
Goddard, Hugh. A History of Christian-Muslim Relations. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000.
Gurr, Ted Robert. “Deprivasi Relatif dan Kekerasan”, dalam Thomas Santoso (ed), Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia bersama Universitas Kristen Petra, 2003.
Hanafi, Hassan, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta: Paramadina, 1999.
Horton, Paul B. and Chester L. Hunt, Sociology. New York: McGraw-Hill Book Company, 1980.
Hourani, Albert. Islam dalam Pandangan Eropa, terj. Imam Baihaqi dan Ahmad Baidlowi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Huntington, Samuel P., Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Imail, Yogyakarta: Qalam, 2002.
________, “The Clash of Civilizations?” dalam Foreign Affairs, Summer 1993.
Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 2, terj. Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990.
Mohammed, Ovey N., Muslim-Christian Relations: Past, Present, Future (New York: Orbis Books, 1999.
Murray, Raymond W. Sociology for a Democratic Society (New York: Apleton-Century-Crofits, Inc., 1950.
Newcomb, Theodore M.. dkk., Psikologi Sosial, terj. Joesoef Noesjirwan ddk. .Bandung: Diponegoro, 1978.
Said, Abdul Aziz dkk., “Islam and West: Three Stories” dalam Center for Strategic and International Studies (30 Juni 1998) dalam http://www.american. edu/academic. dept/Islam&West.pdf., Internet, diakses tanggal 15 Maret 2006.
Spencer, Robert, Islam Ditelanjangi, terj. Mun’im A Sirry, Jakarta: Paramadina, 2002.
Stanley P. Adi yang berjudul “Rasisme dan Rasialisme” dalam buku yang diedit Sandra Kartika dan M. Mahendra, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman. Jakarta: LSPP, 1999.
Teguh Setiawan dan Sri Budi E.W. (peny.), Denyut Islam di Eropa. Jakarta: Penerbit Republika, 2002.
Tim Redaksi HotCopy, Osama bin Laden: Teroris atau Mujahid?. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Biodata Penullis: Ajat Sudrajat, Dr., M.Ag., adalah staf pengajar untuk mata kuliah Sejarah Asia Barat dan Filsafat Sejarah pada Prodi Ilmu Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah FISE dan Pendidikan Agama Islam di lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta.
Interaksi dunia Islam dan Barat1 senantiasa menarik untuk diperhatikan.2 Interaksi kedua peradaban ini tidak habis-habisnya mengundang
1 Penghadapan Islam dan Barat menurut logika bahasa tentu saja aneh dan janggal, sebab Islam adalah nama suatu agama, dan Barat adalah penunjuk arah. Islam mestinya dilawankan dengan Kristen, dan Barat dihadapkan dengan Timur. Tetapi istilah Islam dan Barat rupanya sudah memiliki muatan konseptual-ideologis yang sudah memiliki konotasi tertentu. Dewasa ini, penggunaan istilah Barat merupakan representasi dari peradaban Eropa dan Amerika. Tetapi secara historis, peradaban Barat menunjuk kepada peradaban Eropa yang berbasis pada kekristenan. Lihat Samuel P. Huntington, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm. 51. Dalam disertasi ini penggunaan istilah Barat, Eropa, dan Eropa Kristen dipakai secara bergantian, disesuaikan dengan konteks pembahasannya.
2 Menurut Huntington, ada tujuh peradaban major yang masih ada sampai sekarang, yaitu: Tionghoa, Jepang, Hindu, Islam, Rusia (Kristen Ortodoks), Barat, dan Amerika Latin. Sedangkan menurut Melko, yang juga dikutip oleh Huntington,
diskusi, sehingga minat untuk mengkajinya pun tidak pernah surut dan berhenti. Salah satu daya tarik mengapa kajian itu terus berlangsung adalah aroma konflik yang mengiringi interaksi keduanya.
Seperti sudah diketahui bersama, interaksi dunia Islam dengan Barat seringkali dikemukakan dalam pengertian yang kontras, bahkan tidak jarang diikuti munculnya stereotip3 negatif dari kedua belah pihak dan menganggapnya sebagai musuh. Ungkapan-ungkapan seperti: “orang Kristen melawan orang Islam, salib melawan bulan sabit, agama Kristen melawan agama Islam, dunia Islam adalah ancaman bagi Barat, Barat adalah musuh Islam”, adalah cerminan dari interkasi yang beraroma kontras tersebut.4
Adanya kesan interaksi yang kontras tersebut sebagian diperkuat dan didukung oleh pernyataan sejumlah pemimpin agama maupun politik. Media massa, disadari atau tidak, ikut pula terjerumus ke dalam propaganda ini, sehingga muncul sikap saling tidak percaya dan curiga.5 Buku yang ditulis Huntington dengan judul The Clash of Civilizations and The Remaking of
menyebut lima peradaban, yaitu: Tionghoa, Jepang, India, Islam, dan Barat. Ibid., hlm. 47-49. 3 Menurut Walter Lipmann, stereotip adalah gambaran di kepala yang merupakan rekonstruksi atau mekanisme penyederhana dari suatu keadaan lingkungan. Gambaran itu kemudian dijadikan alasan untuk menentukan suatu tindakan tertentu. Lihat Suwarsih Warnaen, Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 116. 4 Menurut Gairdner, orang Islam melihat Kristen sebagai agama yang telah menyimpang, oleh karena itu harus diperbaiki, disempurnakan, dan digantikan; agama Kristen juga telah memisahkan antara dunia dan agama. Lihat Muhammad Mustafa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 262. Sementara itu orang-orang Kristen menyatakan bahwa Islam adalah agama kafir, Muhammad adalah manusia perang, Islam mengembangkan intoleransi, dan seterusnya. Lihat Robert Spencer, Islam Ditelanjangi: Pertanyaan-Pertanyaan Subversif Seputar Doktrin dan Tradisi Kaum Muslimin, terj. Mun’im A. Sirry (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 9-117. 5 Lihat Samuel P.Huntington, “The Clash of Civilizations?” Foreign Affairs (Summer 1993), hlm. 22-49. Tulisan ini antara lain menegaskan bahwa telah terjadi konflik berkepanjangan antara dunia Islam dan Barat selama 1300 tahun. Ia menyebutnya sebagai age-old enemies. Lihat juga tulisan John L. Esposito, “Islam and the West After Sept. 11: Civilizational Dialogue or Conflict?” dalam The Emirates Center for Strategic Studies and Research (Nov. 2002), http://www.cmcu. georgetown.edu/ pdf/Islam_ and_the_west_after-Sepet_11_ESCR, Internet, diakses tanggal 15 Maret 2006. Lihat juga Abdul Aziz Said, dkk., “Islam and West: Three Stories”, Center for Strategic and International Studies (30 Juni 1998), diperoleh dari http://www.american. edu/academic. dept/Islam&West.pdf., Internet, diakses tanggal 15 Maret 2006.
World Order adalah salah satu contohnya. Demikian juga dengan pemuatan kartun Nabi Muhammad saw. di harian Denmark Jylland-Posten6 dan pernyataan Paus Benediktus XVI berkenaan dengan ajaran jihad dalam Islam yang memuat kekerasan.7 Dalam bentuk yang lain, kesan itu semakin kuat dengan terjadinya penyerangan WTC pada tanggal 11 September 20018 oleh sekelompok orang yang diidentifikasi sebagai fundamentalis Muslim9 dan penyerangan koalisi Amerika-Inggris terhadap Irak.
Walaupun dunia Islam dan Barat telah melakukan interaksi selama berabad-abad, demikian dikatakan Esposito, hubungan kedua belah pihak seringkali ditandai oleh ketidaktahuan, saling memberi stereotip, menghina, dan konflik.10 Dalam pandangan Syafii Maarif, interaksi antara dunia Islam dan Barat ini perlu mendapatkan perhatian serius. Hubungan yang traumatik antara dunia Islam dan Barat perlu diamati akar sejarahnya.11 Demikian pentingnya kajian tersebut, dalam sebuah tulisan yang dipersembahkan untuk memperingati 70 tahun H.A. Mukti Ali, Syafii Maarif mengatakan:
A. Mukti Ali adalah seorang cendekia Indonesia yang sudah sejak lama menganjurkan kajian oksidentalisme sebagai imbangan dari kajian orientalisme yang sudah berusia selama berabad-abad. Banyak kendala yang harus dilalui untuk mewujudkan gagasan ini. Kendalanya terutama terletak pada tenaga pengajar yang kualifaid yang tidak selalu mudah didapatkan. Bila gagasan ini dapat direalisasikan, salah satu mata kuliah
6 “Dunia Muslim Kutuk Pemuatan Kartun Nabi”, diperoleh dari http://www. suaramerdeka.com/harian/0602/int02.htm, Internet, akses tanggal 15 Maret 2006.
7 “Umat Muslim Tuntut Paus Minta Maaf”, diperoleh http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=111627, Internet, diakses 15 tanggal September 2006. 8 Tim Redaksi HotCopy, Osama bin Laden: Teroris atau Mujahid? (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 62. 9 Fundamentalis adalah sebutan untuk orang-orang yang menganut faham fundamentalis. Istilah fundamentalisme Islam mulai popular di kalangan Barat bersamaan dengan terjadinya Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Fundamentalisme Islam merupakan intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam, yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali akan nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupannya. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 107-108. 10 John L. Esposito dkk., Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, terj. Ahmad Syahidah (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm. v. 11Ahmad Syafii Maarif, Kapita Selekta Sejarah Asia Barat (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta, 1994), hlm.18.
yang patut ditawarkan adalah Hubungan Islam dan Barat, sebuah corak hubungan yang sudah berlangsung sekitar 14 abad dengan segala dimensinya yang positif dan negatif.12
Senada dengan Syafii Maarif, meskipun dalam perspektif yang berbeda, Munoz menyatakan mengenai perlunya pembaharuan kurikulum baik di Barat maupun di dunia Islam berkaitan dengan interaksi ini. Sejalan dengan keharusan usaha-usaha tersebut, menurut Munoz, sudah saatnya pula untuk melakukan penafsiran kembali terhadap sejarah interaksi yang melibatkan keduanya. Penafsiran ini perlu dilakukan sebagai suatu usaha untuk mengonstruksi citra yang lebih positif satu sama lain.13 Penafsiran kembali mengenai interaksi dunia Islam dan Barat ini diharapkan dapat membantu mengurangi atau jika mungkin menghilangkan prasangka dari kedua belah pihak, meskipun untuk yang disebut terakhir sangat sulit terwujud. Penafsiran kembali ini diharapkan dapat menggantikan citra-citra buruk yang dibangun secara timbal balik selama ini. Pendeknya, penafsiran kembali ini dapat menjadikan kedua belah pihak saling bersahabat dan peduli.
Untuk itu penafsiran terhadap interaksi dunia Islam dan Barat harus menghindari teori benturan peradaban seperti yang banyak dilakukan selama ini. Kekaisaran Bizantium dilawan oleh Khilafah Islamiyah, pemerintahan Islam di Spanyol dilawan oleh Kerajaan Kristen, dan Turki Uśmani dilawan oleh Eropa. Dalam pengertian yang lebih umum, interaksi sosial, ekonomi, dan politik dunia Kristen Abad Pertengahan dihadapkan dengan dunia Islam. Padahal, demikian menurut Syafii Maarif, di sela-sela hubungan yang kontras antara dunia Islam dan Barat, tidak jarang kedua belah pihak telah menunjukkan sikap saling mengenal, saling belajar, dan saling memberi dan menerima.14
Untuk menafsirkan kembali interaksi dunia Islam dan Barat, dan memperhatikan pernyataan G.W. Bush yang menggunakan istilah Perang Salib menyusul peristiwa 11 September 2001,15 tulisan ini bermaksud melihat
12 Abdurrahman dkk. (ed.), Agama dan Masyarakat (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993), hlm. 147. 13 Gema Martin Munoz, “Pengantar”, dalam John L. Esposito dkk., Dialektika..., hlm. xiv. 14 Ahmad Syafii Maarif, Kapita..., hlm. 18. 15 Tim Redaksi HotCopy, Osama..., hlm. 62.
kembali peristiwa Perang Salib yang terjadi antara abad ke-11 dan 13 M. Seperti diketahui, dari serangkaian peristiwa historis yang telah mengonstruksi pemikiran Barat tentang dunia Islam, Perang Salib ditengarai sebagai peristiwa yang paling menentukan. Selain itu, dibandingkan dengan peristiwa lainnya, Perang Salib juga merupakan peristiwa paling representatif yang telah mempertemukan Eropa Kristen dengan dunia Islam.
Peristiwa yang terjadi pada Abad Pertengahan tersebut telah meninggalkan kesan yang sangat kuat, kesan yang selanjutnya mempengaruhi hubungan Barat dan dunia Islam di kemudian hari.16 Perang Salib beserta pemikiran-pemikiran yang mengiringinya telah mengonstruksi citra dunia Islam di mata Barat dan sebaliknya. Akhirnya, Perang Salib telah melahirkan perasaan saling tidak percaya serta salah paham yang tidak berkesudahan.17
Pernyataan Bush, menyusul peristiwa 11 September 2001 dengan istilah Perang Salibnya, telah membuktikan kuatnya kesan peristiwa itu. Demikian juga dengan pernyataan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi, meskipun dengan redaksi yang berbeda, yang menyatakan Islam adalah musuh utama peradaban Barat, telah memperlihatkan kesan yang sama.18 Penggunaan istilah Perang Salib oleh Bush, sekalipun segera ditarik kembali, jelas menunjukkan betapa kuat dan membekasnya peristiwa itu dalam benak Barat. B. Interaksi Dunia Islam dan Barat
Sepanjang sejarah yang dilaluinya hubungan antara dunia Islam dan Kristen adalah rumit dan berbelit-belit, demikian dikatakan Goddard.19 Kedua agama ini secara geografis dan historis berasal dari suatu kawasan yang sama, yaitu Asia Barat, tetapi dalam proses penyebarannya kedua agama ini berkembang dan berpengaruh di kawasan yang berbeda. Apabila agama Islam berpengaruh kuat di Asia dan Afrika, maka agama Kristen berkembang di Eropa dan Amerika. Dalam konotasi tertentu, yang pertama diasosiasikan dengan dunia Timur sedangkan yang kedua dengan dunia Barat.20 Dewasa ini,
16 John L Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, terj. Alwiyah Abdurrahman dan MISSI (Bandung: Mizan,1994), hlm. 50. 17 Ibid., hlm. 51. 18 Akbar S. Ahmed, Islam sebagai Tertuduh, terj. Agung Prihantoro (Bandung: Arasy Mizan, 2004), hlm. 52. 19 Hugh Goddard, A History of Christian-Muslim Relations (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000), hlm.2.
20 Lihat tulisan Komaruddin Hidayat, “Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat”, dalam pengantar untuk edisi Indonesia buku Hassan Hanafi, Oksidentalisme:
akibat dari mobilisasi dan migrasi para penganutnya, kedua komunitas agama ini benar-benar telah menyebar ke seluruh wilayah dan mendunia.
Hubungan yang rumit dan berbelit antara dunia Islam dan Barat dapat terlihat dalam interaksi yang melibatkan keduanya. Interaksi yang terjadi antara dunia Islam dan Barat, seperti interaksi yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya, menurut Murray, dapat berbentuk kompetisi, konflik, dan kerjasama. Interaksi yang dimaksud adalah proses hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi, baik dalam bentuk pertukaran pemikiran maupun barang.21
Namun demikian, menurut Murray selanjutnya, tidak ada satu pun masyarakat di dunia ini yang secara eksklusif hanya mengadopsi satu bentuk interaksi. Interaksi antara dunia Islam dan Barat misalnya, seringkali terjadi secara tumpang-tindih. Interaksi yang melibatkan keduanya sekaligus memperlihatkan terjadinya kompetisi, konflik, dan kerjasama.22 Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, kedua komunitas ini dapat dan terlihat hidup bersama secara harmonis, tetapi pada saat yang sama tidak menutup kemungkinan bahwa kedua belah pihak sedang terlibat dalam persaingan atau kompetisi yang bersifat ideologi, politik, maupun ekonomi.
Memperhatikan ketiga bentuk interaksi di atas, kompetisi merupakan bentuk yang paling dasar dan universal. Interaksi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat berasal dari bentuk ini.23 Kompetisi yang terjadi dapat meliputi bidang yang sangat luas seperti ekonomi, politik, militer, agama dan lain-lain. Kehadiran Islam pada awal abad ke-7 M misalnya, secara otomatis telah ditempatkan oleh umat Kristen sebagai pesaing mereka, demikian dikatakan Dawson seperti dikutip oleh Mohammed.24
Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. xvi-xvii. 21 Raymond W. Murray, Sociology for a Democratic Society (New York: Apleton-Century-Crofits, Inc., 1950), hlm. 239. 22Ibid., hlm. 255. Lihat juga Hugh Goddard, “Christian-Muslim Relations: A Look Backwards and A Look Forwards”, dalam Islam and Christians-Muslim Relations, Vol. 11, No. 2, July 2000. 23 Ibid.
24 Ovey N. Mohammed, S.J., Muslim-Christian Relations: Past, Present, Future (New York: Orbis Books, 1999), hlm. 28. Lihat juga R.M. Savory, “Christendom vs. Islam: Interaction and Co-existence”, diperoleh dari http://www.renaisance.com.pk/main. html., Internet, akses tanggal 10 Desember 2005.
Park dan Burgess lebih lanjut mengatakan bahwa kompetisi pada umumnya bersifat impersonal dan berlangsung terus-menerus. Oleh karena itu, kebersamaan yang terlihat antara dunia Islam dan Kristen misalnya, tidak dengan sendirinya akan menghilangkan kompetisi di antara mereka. Selanjutnya, apabila kompetisi tersebut menjadi suatu proses yang disadari, maka hal itu akan berubah menjadi konflik. Konflik dengan demikian adalah bentuk intensifikasi dari kompetisi yang menurut Murray tidak jarang disertai dengan perilaku yang antagonistik.25 Namun, disadari sepenuhnya oleh Cuber bahwa memang sangat sulit untuk membedakan secara tegas antara kompetisi dan konflik karena senantiasa terjadi kombinasi di antara keduanya.26
Apa yang dikatakan Murray ternyata bersesuaian dengan apa yang dikatakan oleh Gurr, Galtung, dan Coser. Gurr mengatakan bahwa konflik adalah suatu peristiwa pertikaian antara dua kelompok atau lebih dengan atau tanpa kekerasan.27 Sedangkan menurut Galtung, suatu kelompok dikatakan sedang terlibat dalam konflik apabila kelompok itu memiliki tujuan yang tidak sama dengan kelompok lainnya. Kemudian menurut Coser konflik adalah suatu proses perjuangan terhadap nilai dan tuntutan akan status, kekuasaan, dan sumber daya, yang tujuan utamanya adalah menawarkan, melukai, dan menghilangkan pesaingnya.28
Adanya konflik antar kelompok ternyata diakui pula oleh Newcomb. Ketika membahas persoalan interaksi antar kelompok Newcomb melihat adanya sikap permusuhan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Kelompok-kelompok itu, menurutnya, memandang satu sama lain sebagai the other dan sikap permusuhan ini senantiasa dipelihara dan dipertahankan. Selanjutnya tidak jarang pula apabila sikap permusuhan ini muncul dalam berbagai tindak kekerasan.29 C. Prasangka dan Tindak Kekerasan
25 Ibid., hlm. 261. Lihat juga John F. Cuber, Sociology: A Synopsis of Principles, 5th Edition (New York: Appleton-Century-Crofts, 1963), hlm. 622. 26 John F. Cuber, Sociology..., ibid., hlm.623-624. 27 Ted Robert Gurr, “Deprivasi Relatif dan Kekerasan”, dalam Thomas Santoso (ed), Teori-Teori Kekerasan (Jakarta: Ghalia Indonesia bersama Universitas Kristen Petra, 2003), hlm. 78. 28 Ibid. 29 Theodore M. Newcomb dkk., Psikologi Sosial, terj. Joesoef Noesjirwan ddk. (Bandung: Diponegoro, 1978), hlm. 561.
Terjadinya interaksi yang disertai tindak kekerasan, demikian dikatakan Horton dan Hunt, antara lain disebabkan karena adanya prasangka kelompok. Menurutnya, ketika suatu kelompok berhadapan dengan kelompok lain, kapan dan dimana pun, akan muncul kecenderungan untuk mengembangkan stereotip dalam bentuk prasangka. Prasangka di sini adalah suatu penilaian atau pendapat yang diungkapkan seseorang atau sekelompok orang terhadap kelompok lain dengan tidak mengetahui fakta yang sebenarnya.30
Menurut Newcomb, munculnya prasangka tidak hanya disebabkan oleh adanya ketidakmatangan psikologis, tetapi juga karena adanya proses sosialisasi atas prasangka yang dikembangkan dalam kelompok. Dalam prakteknya kemudian prasangka akan mengarah kepada dua hal, yaitu adanya kecenderungan untuk mengambil jarak dan tidak melakukan hubungan, atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan pihak lain.31
Masih menurut Newcomb, ada lima hal yang menyebabkan munculnya prasangka. Lima hal itu adalah: (a). etnosentrisme, yaitu adanya kecenderungan untuk mengatakan hal-hal yang baik pada kelompoknya dan berpikir buruk terhadap kelompok lain; (b). fakta yang sederhana, yaitu memberikan penilaian tentang kelompok lain dengan pengetahuan yang tidak memadai; (c). membuat generalisasi mengenai kelompok lain dari pengalamannya sendiri; (d). adanya kecenderungan untuk menyeleksi stereotip yang mendukung keyakinannya sendiri; dan (e). adanya kecenderungan untuk mengembangkan prasangka terhadap kelompok lain yang menjadi rivalnya.32
Prasangka dengan demikian telah menyebabkan terjadinya distorsi dan tidak tercapainya pemikiran yang obyektif. Apabila suatu interaksi telah dirasuki oleh prasangka, maka yang akan lahir adalah konflik. Dalam interaksi yang bersifat keagamaan misalnya, prasangka tidak hanya akan melahirkan sikap diskriminatif tetapi kemungkinan juga munculnya tindak kekerasan. Perlakuan yang diskriminatif dan kekerasan ini antara lain dapat dilihat dalam masalah seleksi dalam pergaulan, pengusiran, sampai pada pembasmian kelompok.33
30 Paul B. Horton and Chester L. Hunt, Sociology (New York: McGraw-Hill Book Company, 1980), hlm. 356. 31 Theodore M. Newcomb dkk., Psikologi..., hlm, 564-565. 32 Ibid., hlm. 356.
33 Pada tahun 1492, ketika Raja Ferdinand dan Isabella berhasil menguasai Granada, yang merupakan pertahanan terakhir pemerintahan Islam di Spanyol, keduanya melakukan pengusiran terhadap orang-orang Islam. Lihat Teguh Setiawan
Meskipun diakui adanya hubungan timbal balik antara prasangka, diskriminasi dan tindak kekerasan, tetapi untuk menjelaskannya tidaklah sederhana. Terjadinya perlakuan yang diskriminatif dan tindak kekerasan bisa jadi melibatkan banyak hal, tidak semata-mata diakibatkan oleh prasangka. Meskipun demikian, dengan tegas Myrdal menyatakan bahwa prasangka adalah suatu keyakinan dengan suatu tujuan, yaitu untuk membenarkan praktik-praktik rasial.34 Menurut Adorno, akibat dari prasangka tidak terbatas pada ketidakamanan yang bersifat emosional, tetapi bahkan bisa meluas pada tindakan yang berupa kekerasan, apabila hal itu mendapat dukungan kelompok.35 Boyd secara tegas mengatakan bahwa hakikat prasangka di seluruh dunia adalah sama, di mana pun dan kapan pun, bahkan sampai yang akan datang. Prasangka, di mana dan kapan saja, akan dan bisa mengarah pada konflik kekerasan. Boyd telah memberikan kerangka secara logis pemikiran Allport sebagai berikut:
a. Antilokusi (anti mengungkapkan perasaan dan pikiran sesuai fakta). Kecenderungan orang-orang yang memiliki prasangka akan membicarakan orang lain kapan dan di mana pun. Mereka akan mengungkapkan perasaan antagonisnya secara bebas. Karena itu, tindakan kebanyakan orang tidak pernah terlepas dari sikap antipati.
b. Avoidansi (penghindaran). Apabila prasangka telah merasuk dengan kuat, maka hal itu akan mengarahkan seseorang pada sikap tidak acuh dan bisa meningkat pada sikap tidak suka.
c. Diskriminasi (perlakuan berbeda). Prasangka juga akan mengarahkan seseorang pada tindakan-tindakan yang berupa pembedaan yang bersifat merugikan. Pemisahan (segregasi) adalah bentuk pelembagaan dari diskriminasi.
dan Sri Budi E.W. (peny.), Denyut Islam di Eropa (Jakarta: Penerbit Republika, 2002), hlm. 136. 34 Theodore M. Newcomb dkk., Psikologi..., hlm. 357. Bandingkan dengan pendapat A.L. Kroebe, seorang antropolog, yang menyebutkan enam faktor penyebab prasangka ras dan aksi rasialisme. Enam faktor itu adalah: faktor ekonomis, politis, sosio-kultural, psikologis, religius, dan biologis. Penjelasan lebih jauh lihat tulisan Stanley P. Adi yang berjudul “Rasisme dan Rasialisme” dalam buku yang diedit Sandra Kartika dan M. Mahendra, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman (Jakarta: LSPP, 1999), hlm. 96-100. 35 Theodore M. Newcomb dkk., Psikologi..., ibid.
d. Serangan fisik. Di bawah kondisi emosi yang dipengaruhi oleh prasangka dapat mengarahkan seseorang pada tindakan-tindakan kekerasan atau semi kekerasan.
e. Eksterminasi (pembasmian). Kulminasi dari prasangka adalah terjadinya pembasmian suatu kelompok atas kelompok yang lain.36
Menurut Armstrong, gambaran mengenai prasangka, konflik, dan tindak kekerasan ini tampaknya dapat dilihat dalam interaksi yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Interaksi yang melibatkan kedua entitas ini, selama Abad Pertengahan (yang merupakan masa Perang Salb berlangsung) dan bahkan sampai sekarang, ternyata diliputi oleh prasangka ini. Sungguh sulit bagi seseorang untuk menghilangkan prasangka lamanya atas kebudayaan lain, demikian dikatakan Armstrong.37
Senada dengan Armstrong, Huntington mengatakan bahwa hubungan antar pelbagai negara yang berasal dari peradaban yang berbeda tidak bisa dilepaskan dari warisan masa lalunya. Hubungan-hubungan antar peradaban ini dalam sebagian kasus mengarah pada terjadinya perang dingin peradaban.38 Huntington melihat interaksi yang terjadi antar peradaban, terutama dunia Islam dan Barat, adalah dalam pengertian ini, yaitu interaksi yang diliputi oleh konflik. Ia mengatakan:
Dalam dunia baru tersebut, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik-konflik antar kelas sosial, antar golongan kaya dengan golongan miskin, atau antar kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik antar orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda.39
Selanjutnya konflik antar peradaban ini, menurut Huntington, memiliki dua bentuk, yaitu lokal dan global. Pada tingkat lokal, garis persinggungan konflik terjadi di antara negara-negara tetangga yang memiliki perbedaan
36 Andrew Boyd, “The Nature of prejudice” dalam The Month: A Review of Christian Thought and World Affairs, No. 33, March 1999, hlm. 107-108. 37 Karen Armstrong, Holy War (London: Macmillan London Limited, 1998), hlm. xiv. 38 Samuel P. Huntington, Benturan…, hlm. 384. Samuel P. Huntington memetakan peradaban kontemporer ke dalam tujuh peradaban major. Ketujuh peradaban major kontemporer itu adalah peradaban Tionghoa, Jepang, Hindu, Islam, Ortodoks, Barat, dan peradaban Amerika Latin, lihat hlm. 47-49. 39 Ibid., hlm. 9.
peradaban, dan antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam satu negara. Pada tingkat global, skala persinggungan konflik terjadi antara negara inti dengan negara inti lainnya, atau merupakan konflik antara negara-negara besar yang memiliki perbedaan peradaban.40
Dewasa ini, setelah runtuhnya Uni Soviet, perang dingin peradaban ini bergeser menjadi antara dunia Islam dan Barat. Dalam kata pengantar yang ditulis untuk penerbitan terjemahan buku Huntington, dinyatakan bahwa potensi konflik yang akan mendominasi dunia masa datang adalah antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius.41 Namun demikian, tanpa bermaksud menafikan adanya koalisi antara Islam dan Konfusius, selama ini telah tertanam adanya kesadaran kolektif mengenai pertikaian antara dunia Islam dan Barat.
Ketika Huntington menyatakan bahwa perang dingin peradaban ini telah terulang kembali, secara tidak langsung menyiratkan akan adanya suatu gambaran historis mengenai interaksi yang tidak harmonis antara dunia Islam dan Barat. Sejarah yang mengiringi interaksi dunia Islam dan Barat dewasa ini seperti mengulang putaran pita kaset yang sama di masa lalu. Pernyataan itu senada dengan apa yang dikatakan Albert Hourani bahwa sejak pertama kali kemunculannya, agama Islam telah dilihat sebagai masalah atau merupakan problem bagi Eropa Kristen.42
Seperti disebutkan oleh Galtung, konflik dapat terjadi dan berlangsung tanpa kekerasan atau sebaliknya disertai kekerasan. Selanjutnya dikatakan pula bahwa seringkali pihak-pihak yang terlibat dalam konflik menjadikan agama dan ideologi sebagai alat untuk menjustifikasi dan melegitimasi kekerasan yang dilakukannya. Apabila yang terjadi adalah seperti itu, maka itulah yang menurutnya disebut sebagai kekerasan budaya.43
Menurut Hourani, kasus interaksi antara dunia Islam dan Eropa Kristen (ia tidak menggunakan istilah Barat), sejak awal telah diwarnai oleh pertentangan yang memiliki corak militer dan keagamaan secara seimbang. Perang Salib yang berlangsung dari tahun 1095 sampai dengan tahun 1291 dan perang-perang lainnya telah mengiringi interaksi yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Hourani pun mengatakan meskipun penaklukan yang
40 Ibid., hlm. 384-385. 41 Ibid., hlm. xi. 42 Albert Hourani, Islam dalam Pandangan Eropa, terj. Imam Baihaqi dan Ahmad Baidlowi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 9. 43 Johan Galtung, “Kekerasan Budaya” dalam Thomas Santoso (ed.), Teori…, hlm. 183.
dilakukan oleh umat Islam tidak semata-mata bersifat militer, akan tetapi dalam skala luas diikuti oleh konversi agama penduduk taklukan. Menurutnya, ekspansi militer kaum Muslimin dan konversi agama penduduk ke dalam Islam merupakan ancaman serius bagi Eropa Kristen.44 D. Toleransi, Kerjasama, dan Teori Pertukaran
Meskipun terdapat kecenderungan konflik dalam interaksi antara dunia Islam dan Barat, pada dasarnya kedua belah pihak memiliki kesempatan dan kesanggupan untuk mengembangkan sikap toleransi, demikian menurut Newcomb.45 Toleransi yang dimaksudkan adalah sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dapat saling berhubungan dengan penuh satu sama lain.46 Toleransi memberikan ruang kepada kelompok yang berbeda-beda untuk hidup berdampingan dan saling mengerti tanpa merasa terganggu. Toleransi, dengan demikian, meniscayakan adanya ko-eksistensi dan kerjasama di antara kelompok-kelompok tersebut.47
Ko-eksistensi yang terjadi di antara kelompok yang berbeda ini antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah suatu proses sosial yang terjadi antara dua kelompok masyarakat untuk saling membantu satu sama lain. Meskipun demikian, menurut Bennet dan Tumin, seperti dikutip oleh Murray, tidak ada kerjasama yang sempurna dalam
44 Albert Hourani, Islam…, hlm. 9. 45 Theodore M. Newcomb dkk., Psikologi..., hlm, 564-565. 46 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 1204. 47 Suatu pernyataan yang secara eksplisit mengatur kehidupan bersama antar umat Islam, Kristen, dan Yahudi dapat dilihat dalam Piagam Madinah yang dirumuskan oleh Nabi Muhammad saw. Lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995), hlm. 124-130. Ketika tentara kaum Muslimin menaklukan wilayah-wilayah yang berpenduduk Kristen atau Yahudi, pemerintahan Muslim tetap memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk menjalankan ajaran agama mereka. Mereka pun memperoleh perlindungan sepenuhnya dari pemerintah. Status kependudukan mereka sebagai ahl al-dzimmah dijamin dengan cara memberikan pajak yang disebut jizyah. Lihat Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 281.
kehidupan nyata ini. Kebanyakan interaksi sosial senantiasa melibatkan kerjasama dan kompetisi secara bersamaan.48
Interaksi yang melibatkan dunia Islam dan Barat, selain gambaran yang diliputi konflik, tidak jarang keduanya hidup berdampingan dan terlibat kerjasama satu sama lain. Pada abad ke-8 M misalnya, ketika kaum Muslimin berhasil menguasai Laut Mediterania dan perdagangan di kawasan tersebut dari tangan Bizantium dan juga orang-orang Eropa, kedua belah pihak tetap dapat menjalin perdagangan dengan baik. Saling membantu dalam memenuhi kebutuhan masing-masing pihak adalah bagian dari mekanisme kerjasama, demikian menurut Cuber.49 Ko-eksistensi dan kerjasama yang terjadi antara dunia Islam dan Barat telah dibuktikan dalam beberapa episode sejarah keduanya.50
Bentuk kerjasama antara dunia Islam dan Eropa Kristen dalam bidang perdagangan dan ekonomi pada umumnya, meminjam teori yang dikemukakan Homans, di dalamnya mengandung proses pertukaran.51 Lebih lanjut, dikatakan bahwa proses pertukaran tersebut tidak hanya terbatas pada hubungan antara orang-orang atau masyarakat yang saling menyukai satu sama lain, melainkan terjadi juga pada orang-orang atau masyarakat yang sedang terlibat dalam kompetisi dan konflik.52 Dalam kaitannya dengan kegiatan perdagangan dan ekonomi, transaksi-transaksi pertukaran akan terjadi hanya apabila kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran itu. Kesejahteraan masyarakat akan dapat diwujudkan apabila individu-individunya dibiarkan untuk memperoleh keuntungan melalui pertukaran-pertukaran tersebut.53
48 Raymond W. Murray, Sociology..., hlm.266-267. Lihat juga John F. Cuber, Sociology..., hlm. 619. 49 Ibid., John F. Cuber, Sociology..., hlm. 620. 50 Esposito menyebutkan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan toleransi, ko-eksistensi, dan kerjasama antara Dunia Islam dan Barat, antara lain: kesepakatan antara Charlemagne dan Harun al-Rasyid mengenai penanganan para peziarah di Jerusalem, tolernsi inter-peradaban secara harmonis yang terjadi di Andalusia antara tahun 756 sampai 1000, dan ketika Toledo, pada abad ke-12, menjadi pusat studi yang didatangi oleh sarjana-sarjana dari seluruh Eropa. Lihat John L. Esposito, “Islam...”, The Emirates..., hlm. 3. 51 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 2, terj. Robert M.Z. Lawang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 57. 52 Ibid., hlm. 69. 53 Ibid., hlm. 55.
Seperti telah disebutkan di atas, tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang secara eksklusif hanya mengadopsi satu model interaksi, bahkan tidak jarang apabila interaksi tersebut terjadi secara tumpang tindih. Demikianlah dengan interaksi yang melibatkan dunia Islam dan Barat. Interaksi kedua entitas ini berjalan secara bersaman antara konflik dan kerjasama yang di dalamya melibatkan proses pertukaran. Ketika kaum Muslimin dan Eropa Kristen sedang terlibat dalam Perang Salib ternyata kedua belah pihak tetap dapat menjalin kerjasama dan proses pertukaran, yaitu dalam bidang perdagangan. E. Catatan Penutup
Interaksi dalam pengertian yang kontras yang telah mewarnai kesadaran kolektif dunia Islam dan Barat ternyata demikian kuat. Menurut Munoz, keadaan ini berasal dari pilihan instrumen yang keliru. Teori benturan kebudayaan yang berkembang dan dikembangkan selama ini terutama didasarkan pada sejumlah episode sejarah yang bersifat konfrontatif.54 Selama Perang Salib berlangsung, sekalipun kedua belah pihak sedang terlibat dalam peperangan, interaksi yang terjadi dalam bidang ekonomi, terutama dalam bidang perdagangan, ternyata tetap berlangsung. Melalui interaksi yang terjadi dalam bidang perdagangan ini masing-masing pihak telah mengambil manfaat dan memperoleh keuntungan.
Adanya fakta berupa kerjasama perdagangan yang tetap terjalin dengan baik antara kedua belah pihak selama Perang Salib diharapkan dapat mengubah penafsiran atau cara pandang masing-masing pihak. Dalam kerangka pikir seperti itulah makna dari rekonstruksi interaksi dunia Islam dan Barat dalam tulisan ini.55 Daftar Pustaka Abdurrahman dkk. (ed.), Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993.
54 Metodologi yang digunakan oleh para peneliti dalam menganalisis masalah-masalah yang melibatkan dunia Islam selalu mengacu dan menjadikan ideal-ideal Barat sebagai satu-satunya patokan. John L. Esposito dkk., Dialektika..., hlm. 4-5. 55 Menurut Gadamer, interpretasi atau penafsiran atas suatu peristiwa berarti merupakan sebuah penciptaan kembali atau rekonstruksi. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999), hlm. 78.
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995. Ahmad Syafii Maarif, Kapita Selekta Sejarah Asia Barat. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta, 1994.
Ahmed, Akbar S. Islam sebagai Tertuduh, terj. Agung Prihantoro. Bandung: Arasy Mizan, 2004.
Armstrong, Karen. Holy War. London: Macmillan London Limited, 1998.
Ayoub, Muhammad Mustafa, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam, terj. Ali Noer Zaman,Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme .Jakarta: Paramadina, 1996.
Boyd, Andrew. “The Nature of prejudice” dalam The Month: A Review of Christian Thought and World Affairs, No. 33, March 1999.
Cuber, John F. Sociology: A Synopsis of Principles, 5th Edition (New York: Appleton-Century-Crofts, Esposito, John L. dkk., Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, terj. Ahmad Syahidah. Yogyakarta: Qalam, 2002.
Esposito, John L., Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, terj. Alwiyah Abdurrahman dan MISSI. Bandung: Mizan,1994.
........., “Islam and the West After Sept. 11: Civilizational Dialogue or Conflict?” dalam The Emirates Center for Strategic Studies and Research (Nov. 2002) dalam http://www.cmcu.georgetown.edu/ pdf/Islam_and_ the_west_ after-Sepet_11_ESCR, Internet, diakses tanggal15 Maret 2006.
Goddard, Hugh. A History of Christian-Muslim Relations. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000.
Gurr, Ted Robert. “Deprivasi Relatif dan Kekerasan”, dalam Thomas Santoso (ed), Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia bersama Universitas Kristen Petra, 2003.
Hanafi, Hassan, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta: Paramadina, 1999.
Horton, Paul B. and Chester L. Hunt, Sociology. New York: McGraw-Hill Book Company, 1980.
Hourani, Albert. Islam dalam Pandangan Eropa, terj. Imam Baihaqi dan Ahmad Baidlowi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Huntington, Samuel P., Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Imail, Yogyakarta: Qalam, 2002.
________, “The Clash of Civilizations?” dalam Foreign Affairs, Summer 1993.
Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 2, terj. Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990.
Mohammed, Ovey N., Muslim-Christian Relations: Past, Present, Future (New York: Orbis Books, 1999.
Murray, Raymond W. Sociology for a Democratic Society (New York: Apleton-Century-Crofits, Inc., 1950.
Newcomb, Theodore M.. dkk., Psikologi Sosial, terj. Joesoef Noesjirwan ddk. .Bandung: Diponegoro, 1978.
Said, Abdul Aziz dkk., “Islam and West: Three Stories” dalam Center for Strategic and International Studies (30 Juni 1998) dalam http://www.american. edu/academic. dept/Islam&West.pdf., Internet, diakses tanggal 15 Maret 2006.
Spencer, Robert, Islam Ditelanjangi, terj. Mun’im A Sirry, Jakarta: Paramadina, 2002.
Stanley P. Adi yang berjudul “Rasisme dan Rasialisme” dalam buku yang diedit Sandra Kartika dan M. Mahendra, Dari Keseragaman Menuju Keberagaman. Jakarta: LSPP, 1999.
Teguh Setiawan dan Sri Budi E.W. (peny.), Denyut Islam di Eropa. Jakarta: Penerbit Republika, 2002.
Tim Redaksi HotCopy, Osama bin Laden: Teroris atau Mujahid?. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Biodata Penullis: Ajat Sudrajat, Dr., M.Ag., adalah staf pengajar untuk mata kuliah Sejarah Asia Barat dan Filsafat Sejarah pada Prodi Ilmu Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah FISE dan Pendidikan Agama Islam di lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta.
Arsip Blog
-
▼
2012
(35)
-
▼
Februari
(13)
- Teori Evolusi
- Roman Callimachus
- Martin Luther
- Mahatma Gandhi
- Smart Article (Sistem kerja otak)
- Terbentuknya Negara Pakistan
- Abbassiyah Emperor
- Kasus Perang Salib
- Keruntuhan Islam di Spanyol
- Perpustakaan Dalam Dunia Pendidikan Islam
- Islam : Agama Paling Pesat di Eropatio
- How to Make Rendang
- Interaksi Dunia Islam dengan Eropa Abad Pertengahan
-
▼
Februari
(13)
Total Tayangan Halaman
Cari Blog Ini
Mengenai Saya
Labels
Blog archive
- Maret 2019 (1)
- November 2017 (6)
- Oktober 2017 (1)
- Juli 2017 (3)
- Mei 2013 (3)
- Desember 2012 (1)
- Mei 2012 (1)
- Maret 2012 (3)
- Februari 2012 (13)
- Januari 2012 (17)
- Desember 2011 (8)
- November 2011 (15)
- Oktober 2011 (1)
- September 2011 (1)
- Juli 2011 (8)
- April 2011 (2)
- Maret 2011 (1)
- Desember 2010 (1)
- Oktober 2010 (7)
- September 2010 (1)
- Agustus 2010 (10)
- Juli 2010 (2)
- Juni 2010 (1)
- Mei 2010 (2)
- November 2009 (2)
Powered by WordPress
©
Rubrik Riza - Designed by Matt, Blogger templates by Blog and Web.
Powered by Blogger.
Powered by Blogger.