SILENCE
Wushhh……suara angin semilir menggoyangkan dedaunan kering di halaman sekolahku. Seorang berkaca mata yang sedang asyik membaca biografi tokoh dunia mentudutkan pandanganku. Baju putihnya mulai lusuh setelah beberapa jam di sekolah, tapi wajahnya yang putih merona telah megalihkan duniaku.
Dari jarak kejauhan aku memandanginya penuh keyakinan bahwa dalam waktu dekat aku pasti akan mengenalnya. Entah dari mana datangnya cinta, tertiup angin mengena padanya. Jiwaku seakan terbang ke langit bak kapas yang diombang-ambingkan angina.
Seluruh keluh kesah, duka, penat, dan jenuh seperti terkikis perlahan-lahan dari pikiranku saat melihatnya. Pandangan pertama ini tertancap dalam hatiku, tak ubahnya besi pada magnet. Huff….sejenak aku menikmati pemandangan yang mengejutkan ini akhirnya harus masuk ke kelas kembali.
Tak beberapa lama aku mendekati teman-temannya, berharap mereka akan berbagi cerita tentangnya. Dengan susah payah, aku membuang jauh urat malu untuk meminta nomor telponnya. Sebagai seorang perempuan yang mengejar cintanya dengan cara apapun.
Seorang yang bernama Dinolah yang hampir membuatku gila, tak enak makan, tidur tak lelap dan memikirkannya setiap waktu. Tapi, nomor hape yang kudapat kali ini akan mengubah segera cerita ini, dengan cara klasik yang sudah basi denagn mudah ia menerimaku sebagai temannya. Sikapnya ramah dan welcome, tentulah dia disukai banyak orang tak terkecuali aku.
Tentu pertemananku dengannya hanyalah bagian dari strategi yang ku atur sendiri. Mulai kala itulah, hari ke hari kami bertambah akrab dan demikian akrab. Kami juga sering sekali menghabiskan waktu di sekolah bersama, kafe, supermarket, dan tempat-tempat lainnya. Tapi sekali lagi, hubungan ini hanya sebatas teman baginya dan bagiku.
Untuk kali ini, cukup kiranya bagiku menjadi sahabat sesuai kehendaknya. Kami memang bersahabat yang rela berbagi kedukaan dan keceriaan bersama, meski bukan itul yang kuinginkan. Tingkah lakunya yang semakin baik padaku, semakin menarik tubuh ini pula untuk tidak terpisah jauh darinya. Rasa ini mengendap dan mengendap bertumpuk-tumpuk di dalam hati, rasa cinta yang harusnya tak kubendung lagi.
Sejak mengenal pertama kali saat MOS di SMA, tak sedikitpun perasaan ini berubah. Sebagai sahabat karibku, setiap hari Dino mendatangi kelasku sekedar curhat dan bercanda-canda dan teruslah akan seperti itu seterusnya. Waktu berlalu begitu cepat, tahun ke tahun aku tetap setia dengan statusku sebagai sahabatnya. Dia yang begitu tulus menggapku sebagai sahabat, yang telah mengisi keceriaan dalam kekosongan, yang selalu membuat bibirku tertawa lebar, menjadi halangan bagiku mengutarakan perasaan ini.
Tak bisa dipungkiri selama ini teman-teman mengenal kami sebagai dua orang sahabat yang tak terpisahkan. Sungguh hal yang tragis jika seandainya mereka tahu perasaanku yang sebenarnya pada Dino. Kurang lebuh tiga tahun aku kuatmenyembunyikan perasaan ini dan tak ada yang tahu betapa tersiksanya batinku.
Senyuman dan kata-katanya yang menyejukkan bagiku, telah menyekat rapat mulutku untuk bicara yang sesungguhnya padanya. Aku khawartir dia akan meninggalkanku. Sejujurnya dengan hanya berada di samping seseorang yang kau cintai, menjadi sahabatnya pun rela kau jalani.
Tapi,ketika kami harus lulus dan memilih jalannya masing-masing memaksaku menggungkapkan ini segera. Tak terbayang jika saat lulus nanti dia akan pergi dan jauh dariku, tentu akan hancur semua harapan yang telah terukir selama ini. Kini mau tak mau keadaan memaksaku untuk bertindak lebih tegas dalam mengambil keputusan, yaitu berkata sejujurnya pada Dino apa yang selama ini telah kurasakan.
Entah ini mimpi atau tidak, untuk pertama kalinya aku akan menyatakan cinta pada sahabatku. Hati bertambah kalut jika memikirkan bagaimana reaksi Dino setelah mendengarnya. Dia akan menjauhi atau malah akan menerimaku dengan status selain sebagi sahabatnya.
Pagi yang cerah, aku tak sabar menemui Dino. Setelah mencari-cari ternyata dia sudah stand by di kelasku. Dia duduk sambil menggandeng seorang adik kelas perempuan, dia segera menghampiriku yang berdiri terpaku dan mengenalkan sisiwi itusebagai pacarnya. Seketika bibirku tersekat rapat, hatiku berkeping-keping dan melebur melebihi kehancuran Hirosima dan Nagasaki . Jiwaku melayang tak karuan arah tak bedanya dengan sampah di tengah lautan yang dipermainkan ombak.
Tak ada kata yang bisa kutumpahkan, kalimat-kalimat yang kurangkai di rumah menghilang begitu saja ditelan perih. Wajah Dino sangat berseri saat menceritakan pertemuannya pertama kali dengan gadis itu, dia sangat bahagia, senyum dari bibirnya yang merah merona tak kunjung berhenti. Sangat kusesalkan, dia bertemu dengan gadis itu setahun yang lalu tapi telah merasakan benih-benih cinta, sementara aku, hampir masa SMAnya dihabiskan
denganku tak merasakan cinta tulus yang kutebarkan setiap waktu.
Tegakah aku jika bicara apa yang kurasakan padanya? Dia telah melabuhkan hatinya pada orang lain meski bukan padaku. Haruskah aku merebut kebahagiaan itu? Tapi bagaiman dengan perasaan yang kusimpan selama ini. Butuh beberapa menit aku mengambil keputusan di depan Dino yang tak sabar mendengar komentarku tentang pacanya. Sungguh sangat tak mudah melihat kenyataan ini, tapi akhirnya kurelakan dia memilih. “Selamat”, itulah ucapan yang kuhadiahkan padanya, air mata ini ingin cepat tumpah dan berteriak sekencang-kencangnya.
Sekeras mungkin aku berusaha menyembunyikan kesedihan di depan mereka, aku tersenyum dan meninggalkan mereka berdua yang dimabuk cinta. Setelah puas menangis karena takdir yang sangat keji padaku, hatiku akhirnya merelakan Dino. Biarlah cinta ini tetap bersemayam di dalam hatiku, sudah cukup dia merasa bahagia walaupun bukan denganku. Mencintainya dalam angan yang semu dan melihatnya merajut harapan-harapan demi kebahagiaannya bukan masalah yang besar bagiku. Penyesakan sudah tak ada gunanya lagi, biar hati ini berlaku sesukanya demi mencari kebahagiaan meski sangat perih.
Author : Riezha_granger@yahoo.com
0 komentar: