Pendidikan Yunani Masa Klasik

sumber : Dyah Kumalasari, M.Pd
Diktat sejarah Pendidikan FISE UNY
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN EROPA MASA KLASIK



A. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN YUNANI
Pendidikan adalah usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat
manusia itu ada dan masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada kenyataannya








dapat kita telaah bahwa praktek pendidikan dari zaman ke zaman mempunyai garis
persamaan. Garis persamaan atau benang merah pendidikan itu ialah:
1. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan.
2. Pendidikan merupakan kegiatan yang bersifar universal.
3. Praktek pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki
keunikan (ke-khasan) berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.
Yunani kuno terbagi menjadi dua, Sparta dan Athena. Penduduk Sparta disebut
bangsa Doria, sedangkan penduduk Athena disebut bangsa Lonia. Kedua negara tersebut
merupakan Polis atau negara kota. Sparta dengan ahli negaranya Lycurgus, sedang Athena
dengan ahli negaranya Solon. Pada kedua negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan
dalam dasar, tujuan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Orang-orang Sparta
mementingkan pembentukan jiwa patriotik yang kuat dan gagah berani (Djumhur, 1976:24).



1. Sparta
Sparta adalah negara Aristokrasi-militeristis. Dasarnya Undang-undang Lycurgus (±
900 SM). Ciri pendidikan: pendidikan diselenggarakan oleh negara dan hanya untuk warga
negara merdeka. Pendidikan di Sparta didasarkan atas dua asas:
a. anak adalah milik negara;
b. tujuan pendidikan adalah membentuk serdadu-serdadu pembela negara serta warga
negara.
Tujuan pendidikan Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela
negara (membentuk tentara yang gagah berani). Ciri-ciri pendidikannya adalah :
a. Pendidikan diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka (bukan budak);
b. Lebih mengutamakan pendidikan jasmani.
c. Anak-anak yang telah mencapai umur 7 tahun diasramakan.
Pelaksanaan pendidikan: anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di atas bantal
rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja. Sifat-sifat yang harus
dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan, kekuatan, cinta tanah air, dan tunduk pada
disiplin selalu mendapat perhatian. Sebaliknya, pelajaran seperti kesenian dianggap tidak
terlalu penting dan diabaikan. Musik dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk

mempengaruhi jiwa dalam melaksanakan dinas ketentaraan (A.
Berikut ini gambar ikhtisar pendidikan di Sparta:

Ahmadi, 1987:162).








Tujuan: membentuk
Tentara dan warga negara



Pendidikan
Athena



a. Pendidikan





Pelaksanaannya
Dengan

jasmani
(terpenting)





b. Pendidikan

1. Pendidikan Agama:
tidak ada
2. Pendidikan intelek:
hampir-hampir tidak
ada
3. pendidikan estetika:
musik, bernyanyi

rohani
4. Pendidikan etika:
kemauan; menahan
hati patuh

5. Pendidikan sosial:
pembentukan
warganegara



2. Athena
Athena adalah negara demokrasi. Dasar yang dipakai adalah: Undang-undang Solon
(± 594 SM). Berbeda dengan Sparta, tujuan pendidikan Athena adalah: membentuk
warganegara dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang harmonis (selaras). Ciri-
ciri pendidikan di Athena adalah:
a. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga dan sekolah;
b. Sekolah diperuntukkan bagi seluruh warga negara (bebas).
Materi atau bahan pelajaran terbagi atas dua bagian: gymnastis dan muzis.
Gymnastis untuk pembentukan jasmani, sedangkan muzis untuk pembentukan rohani.
Pendidikan jasmani diberikan di Palestra, tempat bergulat, lempar cakram, melompat,
lempar lembing (pentathlon atau pancalomba). Pembentukan muzis meliputi: membaca,
menulis, berhitung, nyanyian, dan musik. Dalam perkembangannya dalam pembentukan
muzis akan dipelajari artes liberales atau “seni bebas”, yang terdiri dari:
a. trivium (tiga ajaran), yaitu: grammatica; rhetorica (pidato); dan dialektika yaitu ilmu
mengenai cara berpikir secara logis dan bertukar pikiran secara ilmiah;








b. quadrivium (empat ajaran), yang terdiri dari: arithmetica (berhitung); astronomia (ilmu
bintang); geometria (ilmu bumi alam dan falak); musica.
Dalam membaca, diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni); dan menulis dilakukan
pada batu tulis yang dibuat dari lilin (Djumhur: 1976).
Pendidikan warganegara sangat diutamakan di Yunani, terutama di Sparta. Segala
kepentingan negara diletakkan di atas kepentingan individu (perseorangan). Dalam
perkembangannya muncul keinginan untuk mendapat kebebasan pribadi, terutama dari
kaum sofist.
Kaum sofist adalah kelompok orang yang tidak mengakui kebenaran mutlak dan
berlaku umum. Mereka berpendapat, bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu
(anthroposentris, anthropos: manusia; sentris: pusat). Sesuatu dianggap benar kalau itu
menimbulkan keuntungan atau kemenangan. Kebenaran bersifat relatif (tergantung kapan
dan siapa yang melihat).
Akibat dari ajaran sofisme tersebut adalah, turunnya nilai-nilai kebudayaan,

merosotnya

nilai-nilai

kejiwaan,

pembentukan

harmonis

antara

jiwa

dan

raga

dikesampingkan dan sebagainya. Orang mencari pengetahuan dengan tujuan untuk
mencapai kebendaan semata (intelektual-materialistis). Kepentingan negara harus tunduk
kepada kepentingan perseorangan. Pendidikan kecerdasan lebih penting daripada
pendidikan agama dan kesusilaan.



3. Ahli-Ahli Pendidik Yunani
a. Pythagoras (580-500 SM)
Tujuan pendidikan: membentuk manusia susila dan beragama. Beberapa cita-cita yang
menjadi dasar pendidikannya:
1) hanya jiwa yang berharga, bukan badan;
2) jiwa berasal dari dewa-dewa dan hidup terus jika badan telah mati;
3) sejak kecil manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat, pendidikan harus
membawa manusia ke arah kesempurnaan;
4) kesempurnaan adalah kebajikan, yaitu keselarasan antara jiwa dan raga, harmoni
dalam hubungan antara manusia, harmoni pula dalam negara.
Untuk melaksanakan cita-cita tersebut, ia mendirikan sebuah lembaga dengan nama
“Lembaga Pythagoras”. Anggotanya hidup bersama-sama dan patuh pada aturan-aturan
tertentu. Lembaga tersebut terdiri dari 3 bagian:








1) bagian 1: terdiri dari calon-calon anggota dalam masa percobaan 3 tahun. Selama itu
ia harus dapat mengatasi penderitaan-penderitaan dan harus membuktikan
kesanggupan dalam menempuh jalan hidup yang saleh;
2) bagian 2: merupakan lanjutan dari bagian 1, tetapi masih diasingkan dari anggota-
anggota penuh, dan mendapat ajaran dari Pythagoras sendiri;
3) bagian 3: terdiri dari anggota-anggota yang dianggap sudah cukup memenuhi syarat,
mendapat hak dan kepercayaan yang penuh, mereka mendapat ajaran dari Pythagoras
sendiri.



b. Socrates (469-399 SM)
Merupakan tokoh yang melawan ajaran sofisme. Ia berpendapat bahwa yang menjadi
ukuran segala-galanya bukan manusia melainkan ke-Tuhanan (theosentris, theo:
Tuhan). Berlawanan dengan Pythagoras, Socrates percaya bahwa manusia mempunyai
pembawaan untuk berbuat baik. Socrates berpendapat bahwa ilmu adalah sumber dari
kebajikan, oleh karena itu ia dianggap perintis kaum Philantropin: cinta pada sesama
manusia.
Dalam pelaksanaan pengajarannya, dia melakukan dialog, percakapan, dan tanya jawab
dengan masyarakat di jalan-jalan, di taman, dan pasar. Socrates selalu mengajarkan
bahwa manusia itu berpengetahuan hanya dalam sangkaannya saja, padahal yang
sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, dan mereka akhirnya sampai pada kesimpulan
bahwa mereka hanya mengetahui satu hal, yaitu bahwa mereka tidak tahu apa-apa.
Dengan begitu maka pada diri manusia itu tumbuh keinginan untuk mengetahui yang
sebenarnya. Dengan jalan induksi, mereka dibawa kepada ilmu yang sebenarnya
(menarik kesimpulan sendiri).
Beberapa jasa Socrates:
1) pelopor dari ilmu kesusilaan. Ia berpendapat bahwa filsafat merupakan alat untuk
mencapai kebajikan;
2) pelopor dari ilmu mengenai pengertian-pengertian. Ia berusaha selalu mencari
hakikat dari benda-benda, yakni pengertian-pengertian;
3) Pythagoras dan Socrates adalah peletak dasar paedagogik moral.
Pada akhir hidupnya, Socrates dijatuhi hukuman minum racun oleh hakim, apabila ia
tidak bersedia menarik kembali ajarannya. Socrates dianggap telah merusak akhlak








pemuda, dan difitnah oleh kaum sofis telah mengajarkan dewa-dewa baru dan
membelakangi dewa-dewa resmi.



c. Plato (427-347 SM)
Plato adalah murid Socrates. Ia adalah seorang bangsawan. Saat Socrates dijatuhi
hukuman minum racun Plato melarikan diri dan mendapat perlindungan dari
keluarganya.
Sistem pendidikan yang lengkap dan merupakan bagian dari ajaran ketatanegaraan
pertama disusun oleh Plato, ia adalah seorang pengarang pertama di Yunani. Tujuan
pendidikan menurut Plato adalah: membentuk warga negara secara teoritis dan praktis.
Setiap manusia bertugas untuk mengabdikan kepentingannya kepada kepentingan
negara. Oleh sebab itu pendidikan harus diselenggarakan oleh negara dan untuk negara.
Dengan prinsip tersebut Plato disebut sebagai pencipta Pendidikan Sosial. Ia
berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan politis dapat diatasi apabila ada keadilan.
Keadilan akan terwujud bila setiap orang melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Dengan
demikian tujuan pendidikan itu selanjutnya adalah untuk membentuk negara susila yang
berdasarkan keadilan (Lebih lanjut dapat dibaca dalam Achmadi, 1987).
Dalam pendidikan moral, Plato berpendapat bahwa anak-anak telah dapat melakukan
suatu perbuatan meskipun mereka belum sanggup menyadari atau memahaminya.
Sehingga pendidikan harus dimulai sejak kecil, yaitu dengan pembiasaan dan kemudian
pengajarannya.
Pengaruh plato sangat besar, misalnya dalam pemerintahan gereja abad pertengahan.
Meskipun dipengaruhi oleh bangsa Yahudi, namun pemerintahan gereja sangat platonis.





d. Aristoteles (384-322 SM)
Ia adalah murid dari Plato dan telah berguru selama 20 tahun. Bukunya yang terkenal
mengenai cita-cita pendidikan adalah: Politica dan Anima. Seperti halnya dengan Plato,
maka Aristoteles pun menghendaki pendidikan negara.
Cita-cita pendidikannya: kebajikan itu diperoleh dengan jalan aman, melalui
pengalaman, pembiasaan-pembiasaan, akal budi, dan pengertian. Pendidik harus
mempelajari dan memimpin pembawaan dan kecenderungan anak-anak. Dengan latihan
dan pembiasaan mereka diajar melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang








buruk. Menurutnya sumber pengetahuan adalah pengalaman, pengamatan, yang
menghasilkan bahan untuk berpikir. Dalam satu hal ia sefaham dengan J. Locke, bahwa
jiwa seseorang pada waktu dilahirkan tidak berisi apa-apa (tabula rasa).
Pendidikan formal menurutnya berakhir pada usia 21 tahun, dan periode ini terbagi
menjadi 4 bagian:
1) pendidikan sampai dengan usia 5 tahun;
2) pendidikan sampai dengan usia 7 tahun;
3) pendidikan sampai dengan usia pubertas;
4) pendidikan sampai dengan usia 21 tahun.
Dalam prinsipnya, sebelum usia 5 tahun, hendaknya pendidikan bersifat sewajarnya,
disesuaikan dengan keadaan anak. Membaca, menulis, ilmu hitung, gymnastic, dan
musik dianggap sebagai mata pelajaran untuk latihan kejiwaan. Gymnastic dan musik
adalah yang paling penting, sebab mempunyai akibat pembersihan jiwa, dan nafsu-nafsu
yang tidak baik dan mengembangkan perbuatan baik sesuai dengan tuntunan moral.
Menurut Aristoteles, karena pendidikan adalah soal universal, maka pendidikan
dilakukan oleh negara.

0 komentar:

Posting Komentar

hai pembaca...