Ditulis oleh Riza Afita Surya untuk Kepentingan tugas mata Pendidikan Multikultural, program studi Pendidikan Sejarah Universitas Jember, angkatan
2011. Dipersilahkan mengutip dengan mencamtumkan penulis.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang kaya akan kebudayaan. Hampir setiap daerah di seluruh Indonesia memiliki
adat, bahasa dan kebiasaan masing-masing, beberapa di antaranya sangat terkenal
di kancah nasional maupun internasional. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri
bagi warga negara lain untuk berkunjung ke Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari
mereka yang akhirnya bermigrasi dan menetap di Indonesia.
Warga negara lain yang masuk ke
Indonesia membawa unsur-unsur kebudayaan mereka sehingga menimbulkan terjadinya
proses difusi. Salah satu bentuk difusi adalah penyebaran unsus-unsur
kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi yang dibawa oleh
kelompok-kelompok yang bermigrasi (Koentjaraningrat, 2009: 244).
Proses inilah yang juga sedang
terjadi di Indonesia. Namun, difusi bukan menjadi salah satu penyebab
terjadinya akulturasi budaya di Indonesia, melainkan juga disebabkan oleh
pengaruh media. Media seakan telah membuat warga Indonesia tidak perlu ke luar
negeri untuk menjadi bagian dari suatu negara. Kapan dan di mana saja manusia
bisa berkunjung ke negara lain melalui jendela media. Ketika mereka telah
terbiasa melakukan hal tersebut maka secara perlahan mereka dapat saja
mengikuti kebudayaan yang sering mereka tengok, seperti bahasa dan penampilan.
Kebudayaan di mana-mana adalah hasil
dari percampuran (hibridisasi) dan kompleksitas permainan di antara fenomena
global dan lokal (Judith Schlehe, 2006: 4).
Salah satu kebudayaan di Indonesia
yang masih bertahan hingga saat ini adalah tradisi peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW. Meskipun dari tahun ke tahun tradisi ini telah mengalami sedikit
pergeseran seiring dengan perkembangan zaman, namun tradisi ini tetap dirayakan
rutin tiap tahunnya oleh sebagian besar umat muslim di tanah air.
Salah
satu bukti betapa pentingnya perayaan maulid ini adalah dengan menjadikan
tanggal lahir Nabi Muhammad ini sebagai salah satu hari besar dan tentu saja
merupakan hari libur dalam kalender nasional di beberapa negara yang
penduduknya mayoritas Muslim, termasuk Indonesia.
Tradisi maulid mulai diperkenalkan
pada tahun 909-117 M oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah. Sejak
kemunculannya, tradisi maulid sudah banyak menimbulkan kontroversi di kalangan
ulama dan juga pemuka agama. Pada saat itu maulid masih dalam taraf ujicoba.
Banyak yang menilai bahwa tradisi ini tidak lebih dari sebuah kegiatan
pemborosan dan menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. Sebagian berpendapat
bahwa tradisi maulid tidak diperintahkan dalam al-Quran dan tidak pula
dicontohkan oleh Rasulullah.
Sumber lain menyebutkan bahwa
perayaan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang
gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi
(1138-1193). Pada awalnya bertujuan untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi
Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang
sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya
memperebutkan kota Yerussalem dan sekitarnya.
Di Indonesia, perdebatan mengenai
peringatan maulid juga berlangsung cukup sengit di era sebelum tahun 1970-an.
Walaupun perdebatan serupa sekarang resonansinya sudah tidak nyaring lagi,
namun perdebatan tersebut sesekali muncul dalam saat-saat tertentu dan tentu
dalam skala yang sangat kecil dan materi yang berbeda. Dari kalangan pesantren
pernah mencoba meluruskan tradisi ini dengan mengarahkannya ke tradisi membaca
tiga kitab maulid, yaitu al-Barzanji, al-Diba'i, dan al-Burdah. Namun tetap
saja tradisi ini dianggap suatu perbuatan tercela oleh mereka yang menolak
peringatan maulid.
Meskipun tradisi ini mendapat
kecaman dari beberapa pihak, namun entah bagaimana caranya tradisi ini seakan
telah menjadi ritual wajib tiap tahunnya. Cikoang adalah salah satu daerah di
Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan yang juga masih melaksanakan peringatan
maulid dengan nilai-nilai budaya yang masih cukup kental. Perayaan maulidnya
dikenal dengan nama Maudu Lompoa. Sama halnya seperti perayaan-perayaan maulid
yang lain, Maudu Lompoa juga mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak,
khususnya kalangan ulama. Namun hingga saat ini Maudu Lompoa tetap bisa
berlangsung setiap tahunnya dengan tetap mempertahankan budaya yang diwariskan
nenek moyang mereka.
Maudu Lompoa jika diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia, maka artinya adalah Maulid Besar atau Maulid yang
Besar. Sesuai dengan namanya, upacara adat ini memang dilaksanakan secara
besar-besaran dan digelar di luar ruangan (outdoor), tepatnya di sungai. Acara
ini khas dengan perahu, layar berwarna-warni, serta makanan yang melimpah ruah
di dalam perahu tersebut. Hal inilah yang membuat kalangan-kalangan tertentu
mempertanyakan manfaat dari upacara ini, apalagi yang mengatasnamakan Nabi
Muhammad SAW dan dilakukan dengan cara yang sangat mewah dan terkesan boros.
Masyarakat Cikoang, seakan tidak
peduli dengan intervensi-intervensi tersebut dan tetap melaksanakan tradisi
ini. Mereka bahkan pernah melaksanakannya secara sembunyi-sembunyi demi
kelancaran ritual mereka tanpa adanya intervensi dari luar.
Hal menarik lain dari tradisi maulid
di Cikoang ini adalah tradisi mudiknya yang menyerupai tradisi mudik lebaran.
Warga Cikoang yang berada di luar daerah, baik karena menikah dengan orang luar
ataupun karena sedang dalam perantauan akan menyempatkan datang pada hari besar
itu. Tidak peduli berapa jauh jarak yang harus ditempuh dan berapa banyak uang
yang harus mereka keluarkan.
Ada juga masyarakat yang meskipun
bukan merupakan warga Cikoang tetap datang untuk menghadiri ritual maulid ini.
Mereka datang bukan hanya sebagai pengunjung wisata tetapi juga ikut dalam
ritualnya. Mereka bahkan menyewa rumah warga selama berada di sana.
Tentunya ada pesan yang ingin
disampaikan oleh sang pendiri kepada seluruh generasi penerusnya, yang dalam
hal ini dikomunikasikan melalui sebuah ritual yang dinamakan Maudu Lompoa.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah tradisi Maudu Lompoa di Cikoang, Kabupaten Takalar?
2. Bagaimana
rangkaian prosesi serta makna yang terkandung di dalam ritual Maudu Lompoa di
Cikoang, Kabupaten Takalar?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
sejarah tradisi Maudu Lompoa di Cikoang, Kabupaten Takalar.
2. Mengetahui
rangkaian prosesi serta makna yang terkandung di dalam ritual Maudu Lompoa di
Cikoang, Kabupaten Takalar.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Tradisi Maudu Lampoa di Cikoang, Kabupaten Takalar
Peringatan Maudu Lompoa pertama kali
dilaksanakan oleh seorang ulama besar dari Aceh bernama Jalaluddin Aidid yang
kemudian oleh warga Cikoang disebut dengan Sayyid Jalaluddin. Sayyid
Jalaluddin, dalam sejarahnya, mengaku sebagai keturunan dari Sultan Iskandar
Muda Mahkota Alam yang menikahi salah satu anggota kerajaan Sombaya ri Gowa.
Ceritanya berawal ketika Sayyid
Jalaluddin berkunjung ke tanah asal mertuanya di Gowa. Niat awalnya berkunjung
ke sana, selain untuk bersilaturahmi, ia juga berniat menyebarkan ajaran Islam.
Namun, ia tidak mendapatkan respon yang layak dari Sombaya di Gowa, karena
ketidakjelasan identitas keturunan Sayyid. Ia lalu pamit pada Sombaya ri Gowa
dan kemudian menitipkan istrinya di Balla Lompoa, Gowa. Atas izin Allah SWT,
Sayyid meninggalkan Balla Lompoa dengan menggunakan sehelai tikar sembahyang
(sajadah) sebagai kendaraan pribadinya dan sebuah tempat air wudhu (cerek)
menemaninya. Dalam waktu sekejab, Sayyid sudah sampai di sebelah utara pulau
Tanakeke, kemudian sebelah utara Sungai Bontolanra, Parappa, Sanrobone, dan
Sungai Maccinibaji. Pada saat yang sama, di muara sungai Cikoang, sebelah utara
hulu sungai, Bunrang (kesatria Cikoang) memasang kuala (bila). Lalu, di sebelah
selatan hulu sungai, Danda (kesatria Cikoang) juga memasang kuala. Esoknya,
Danda dan Bunrang melihat sebuah benda berbentuk kapal laut besar lewat di
sebelah utara Tompo'tanah. Hanya dalam waktu sekejap, benda tersebut berubah bentuk
menjadi benda bercahaya. Melihat itu, kedua kesatria Cikoang itu berlomba
mendayung perahunya (lepa-lepa) mendekati benda itu. Saat mendekat, keduanya
heran mendapati seorang manusia memakai jubah, duduk bersila di atas sajadah
ditemani cerek. Melihat keajaiban pada orang itu, Sayyid Djalaluddin, Danda dan
Bunrang lalu menawarkan jasa pada Sayyid. Kedua perahu itu lalu dirapatkan.
Sayyid kemudian meletakkan kaki kanannya di atas perahu Danda dan kaki kirinya
di perah Bunrang. Kedua ksatria itu kemudian mendayung perahunya ke pinggiran
sungai Cikoang.
Sesampainya di Desa Cikoang, ia
langsung bersilaturahmi dengan warga setempat, termasuk Danda dan Bunrang. Ia
menggunakan kesempatan itu untuk berdakwah dan menyebarluaskan agama Islam.
Sejak saat itu, kehadiran Sayyid
Jalaluddin di Desa Cikoang seperti membawa era baru dalam kehidupan masyarakat
di sana. Ia dianggap mampu menyiarkan Islam dengan cara yang mudah ditangkap
oleh masyarakat setempat. Hal tersebut menjadikannya sosok yang sangat dikagumi
sejak saat itu hingga sekarang.
Meskipun pada saat itu masyarakat
Cikoang telah mengenal Islam, namun kehadiran Sayyid menambah pemahaman mereka
yang pada saat itu masih sangat dangkal, khususnya di bidang aqidah dan syariat
Islam.
Hal yang pertama kali di ajarkan
olenya adalah berbagai macam ibadah, baik yang wajib maupun sunnah. Salah
satunya adalah mengajarkan puasa dan shalat tarwih di bulan Ramadahan.
Sedangkan di bulan Rabiul Awal masyarakat diajarkan untuk memahami dan
mencintai Nabi Muhammad SAW. Ia ingin menanamkan pemikiran dalam masyarakat
betapa pentingnya mengenal dan mengagumi Nabi Muhammad SAW sebagai suri
tauladan bagi Ummat Nya. Seperti itulah awal mula perayaan Maulid di Cikoang.
Selanjutnya, Bunrang diutus untuk
menjemput istri Sayyid, Acara' Daeng Tammami, di Balla Lompoa, Gowa. Dua bulan
setelah Daeng Tamami berada di Cikoang, tepatnya saat tarikh 10 Syafar 1025 H,
mulailah dilaksanakan mandi Syafar untuk pertama kalinya sebagai rangkaian
peringatan maulid Nabi Muhammad SAW atau dikenal sebagai Maudu' Lompoa (maulid
besar).
Dalam perkembangannya, masyarakat
Cikoang telah menganggap perayaan ini sebagai suatu kewajiban. Hal ini
bersumber pada motivasi pendalaman ajaran Islam tentang kerohanian, yang
diajarkan oleh Sayyid Jalaluddin Aidid. Berikut uraiannya:
a. Pengetahuan
Ma‟rifah
Ma‟rifah adalah suatu ilmu
kerohanian yang berintikan pengetahuan secara hakikat tentang Allah dan
makhluk-Nya.
Dalam pemahaman Ma‟rifah,
sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat Cikoang, bahwa sebelum Allah menciptakan
segala sesuatu, yang paling pertama diciptakan adalah “Nur” Muhammad yang
kemudian melahirkan Nabi Muhammad melalui dua proses, yaitu proses kelahiran di
alam gaib dan di alam nyata.
1) Proses
kelahiran Nabi di alam gaib ditandai dengan diciptakannya tiga hal. Pertama
“Nur” yang diciptakan Allah sebagai sumber segala makhluk yang darinya kemudian
diciptakan alam semesta. Selanjutnya pada tanggal 10 bulan Syafar, saat Nabi
masih dalam kandungan Aminah, ia ditiupkan “Ruh”. Dan terakhir, “Akal”, pada
saat Nabi dilahirkan. “Nur” dianggap sebagai peringatan kejadian, “Ruh” sebagai
peringatan keadaan, dan “Akal” sebagai peringatan kelahiran.
Oleh
karena itu peringatan Maulid terbagi atas tiga macam pelaksanaan, yaitu
memperingati kejadian di alam nur, memperingati keadaan di alam rahim, dan
memperingati kelahiran di alam nyata. Hal ini didasarkan pada tiga hal yang
tercatat dalam sejarah yang masing-masing mewakili ketiga peringatan tersebut.
a) KEJADIAN.
Pada tanggal 12 Rabiul Awal 1041 H atau tanggal 11 November 1620 M, Sayyid
Jalaluddin memperingati kejadian di alam Nur bersama dengan jamaahnya di
Cikoang. Proses dalam peringatan inilah yang merupakan prosesi dari Maudu
Lompoa.
b) KEADAAN.
Pada tanggal 12 Rabiul Awal 211 H, kerajaan Arbelles, Raja Abu Said Al Musaffar
1 memperingati keadaan di alam rahim. Peringatan ini dilakukan dengan
pembacaaan kitab Barsanji yang isinya adalah kisah perjalanan Nabi Muhammad
sejak lahir hingga wafat-Nya. Nama Barsanji itu sendiri di ambil dari nama kota
asal pengarang kitab tersebut yang bernama Ja‟far.
c) KELAHIRAN.
Pada tanggal 12 Rabiul Awal 1 H atau tanggal 24 September 622 M, Nabi Muhammad
bersama Abu Bakar dan Ali memperingati kelahiran di alam dunia di Madinah. Saat
itu, yang bertepatan dengan hari Jumat, merupakan pertama kalinya dilaksanakan
shalat Jumat.
2) Proses
kelahiran Nabi di alam nyata, pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah atau
tahun 571 M, sama seperti kelahiran manusia lain pada umumnya. Jika kelahiran
Nabi di alam Gaib dipercaya sebagai sumber terciptanya alam semesta, maka
kelahiran Nabi di alam nyata dipercaya sebagai sumber kebenaran mutlak. Melalui
Beliau, segala kebenaran dari Allah dapat disampaikan dan dipahami serta
dilaksanakan oleh umat Islam yang beriman. Kebenaran-kebenaran tersebut adalah
suatu hidayah atau petunjuk ke jalan yang benar untuk mencapai kesejahteraaan
hidup di dunia dan keselamatan di akhirat.
Oleh karena itu sosok Nabi Muhammad
harus di ma‟rifati (diketahui secara mendalam) yang kemudian diwujudkan dengan
bentuk kecintaan terhadapnya (mahabbah)
b. Prinsip
Mahabbah (cinta)
Mahabbah adalah perwujudan dari
ma‟rifah, yaitu pengetahuan yang sempurna tentang Nur Muhammad sebagai sumber
penciptaan Allah terhadap semua makhluk-Nya, sehingga tidak ada alasan untuk
tidak cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Inilah yang disebut dengan Mahabbah.
Dengan motivasi mahabbah inilah, masyarakat menunjukkan kecintaannya terhadap
Nabi Muhammad SAW melalui perayaan Maulid/Maudu.
Keyakinan mereka cukup sederhana,
bahwa bagaimana manusia bisa mengenal Allah jika Rasulnya sendiri tidak dikenal
dengan baik. Melalui upacara Maudu, mereka berharap kecintaan mereka terhadap
Nabi Muhammad dapat diwujudkan.
Akhirnya, masyarakat Cikoang dengan
dibantu oleh para keluarga yang berasal dari keturunan Sayyid (gelar bagi mereka
yang mengaku dan diakui memiliki garis keturunan langsung dengan Nabi Muhammad
SAW) terus mengadakan dan melestarikan budaya yang mereka anggap sebagai ritual
keagamaan, yaitu Maudu Lompoa. Tujuannya adalah untuk mengagungkan Nabi
Muhammad agar mendapat pertolongan di akhirat kelak.
Demikianlah sejarah dilaksanakannya
Maudu Lompoa di Cikoang. Dalam perkembangannya, pelaksanaan Maudu Lompoa
mengalami beberapa perubahan, khususnya dari segi kuantitas, baik pengunjung
ataupun atribut upacaranya.
2.2 Proses Maudu Lompoa dan Makna yang Terkandung
di Dalamnya
Pada awalnya pelaksanaan Maudu Lompoa di Cikoang sangatlah sederhana.
Kesemarakan upacara seperti yang tampak pada perayaan Maudu Lompoa dewasa ini,
pada saat itu tidaklah demikian. Atribut-atribut yang digunakan pun masih
sangat sederhana dan tidak sekompleks saat ini.
Sesuai dengan ajaran Sayyid Jalaluddin,
penyelenggaraan Maudu Lompoa ditandai dengan empat hal atau bahan utama, yaitu:
a. Padi yang diibaratkan sebagai tubuh
manusia
b. Ayam yang diibaratkan sebagai ruh manusia
c. Kelapa yang diibaratkan sebagai hati
manusia
d. Telur yang diibaratkan sebagai rahasia
manusia
Keempat bahan inilah yang wajib ada dalam
pelaksanaan Maudu Lompoa yang setiap tahunnya diselenggarakan oleh masyarakat
Cikoang.
Proses
pelaksanaan upacara Maudu Lompoa dikategorikan ke dalam dua tahapan, yiatu
tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan. Berikut uraian lengkapnya.
1. Tahap persiapan
Tahap
persiapan meliputi atribut-atribut yang harus dilengkapi dan prosesi atau ritual
yang harus dilakukan sebelum hari H pelaksanaan Maudu Lompoa. Atribut-atribut
tersebut adalah:
a.
Empat
bahan utama (beras, ayam, kelapa, dan telur)
Seperti yang telah dijelaskan penulis
sebelumnya bahwa keempat komponen utama ini adalah yang mutlak harus ada dalam
perayaan Maudu Lompoa. Jumlah minimal yang harus dipenuhi adalah beras sebanyak
4 liter, ayam 1 ekor, kelapa 1 butir, dan telur 1 butir. Tidak ada batasan
maksimal untuk keempat bahan tersebut. Yang menjadi tolak ukur jumlah
maksimalnya adalah sebatas kemampuan orang yang mau mengadakannya. Sebisa
mungkin diusahakan bahan-bahan ini diperoleh dari ladang (sawah) dan ternak
sendiri. Kecuali telur, dapat diperoleh dengan membelinya di pasar atau dari
peternak. Telur yang digunakan pun boleh berupa telur ayam ataupun telur itik.
Keempat bahan ini harus merupakan bahan yang
sejak awal diniatkan untuk Maudu Lompoa, tidak boleh menggunakan bahan sisa.
Hal ini berdasar pada masa menyusui Nabi yang pada saat itu menyusu pada
seorang wanita yang sebelumnya tidak pernah menyusui.
b.
Baku‟
(bakul)
Bakul ini terbuat dari daun lontar yang
dianyam dengan bekal do‟a. Tujuannya adalah sebagai landasan pandangan kesatuan
dan persatuan.
c.
Pa’belo-belo
(hiasan)
Hiasan ini terdiri atas bunga-bunga dan
maling. Baik bunga ataupun yang disebut dengan maling adalah hiasan yang
terbuat dari kertas. Bunga adalah hiasan yang ditancapkan di tengah-tengah
bakul (baku maudu) yang telah diisi. Sedangkan maling adalah hiasan berupa
orang-orangan (bentuknya menyerupai orang) yang diletakkan di atas telur yang
sudah ditusuk. Selain berfungsi sebagai hiasan, maling ini juga berfungsi
sebagai simbol Kerajaan Laikang. Selain hiasan untuk bakul maudu, disiapkan
juga hiasan untuk julung-julung dan kandawarinya. Hiasan ini biasanya berupa
kain panjang yang dibentangkan di atas julung-julung layaknya layar (sombalak).
Untuk kanre bunting beru (pngantin baru) hiasannya dilengkapi dengan
perlengkapan rumah tangga, seperti lemari, seprei, sarung, mukenah, sajadah,
alat kosmetik dan sebagainya. Hiasan-hiasan tersebut berfungsi sebagai
penyemarak yang menyimbolkan kebahagiaan dan rasa syukur pemiliknya.
Masyarakat Cikoang meyakini bahwa kain-kain
yang mereka bentangkan di atas julung-julung itu adalah bendera yang akan
mereka lihat di padang mahsyar nanti, oleh karena itu sebisa mungkin mereka
membuatnya dengan menarik, semarak, dan biasanya mereka selalu menggunakan
warna-warna yang cerah. Selain itu, layar tersebut juga melambangkan datangnya
ajaran kebenaran dari Nabi Muhammad SAW yang dibawa oleh Sayyid Jalaluddin.
Hiasan-hiasan ini menjadi ukuran tingkat
kemampuan sosial pemiliknya. Karena itulah, sebagian orang biasanya menjual
sesuatu untuk memperoleh biaya memperbesar kanre maudunya.
d.
Kandawari
Kandawari adalah tempat untuk menyimpan bakul
maudu dan atribut maudu lainnya. Kandawari ini berbentuk segi empat dan
memiliki kaki. Benda ini diibaratkan sebagai kendaraan yang digunakan Nabi pada
saat Beliau menemui Allah untuk menerima perintah shalat untuk pertama kalinya.
Kendaraan tersebut dinamakan raparaping. Wujud dari kendaraan yang digunakan
Nabi ini untuk melakukan Isra‟ Mi‟raj adalah memiliki empat kaki yang kadang
kadang menyentuh tanah kadang tidak. Seperti itulah perumpamaan dari kandawari,
memiliki empat kaki, jika diangkat (dibembeng) kakinya tidak menyentuh tanah
dan jika diletakkan maka akan menyentuh tanah.
e.
Julung-julung
Julung-julung ini merupakan inovasi dari
kandawari. Karena semakin hari Maudu Lompoa semakin besar maka isi dari
kandawari pun semakin banyak, oleh karena itu lama kelamaan jika menggunakan
kandawari yang ukurannya lebih kecil maka tidak akan memuat barang-barang yang
ingin diletakkan di atasnya. Maka dibuatlah julung-julung dengan ukuran yang
lebih besar dan bentuknya menyerupai perahu. Tentu saja syaratnya adalah julung-julung
juga harus memiliki 4 kaki.
f.
Lokasi
pelaksanaan
Lokasi pelaksanaan Maudu Lompoa adalah di
sekitar sungai Cikoang. Lokasi ini tidak pernah berpindah dari dulu.
Julung-julung dan kandawari yang berisi kanre maudu dan telah dihias, sebagian
diletakkan di sepanjang pinggir sungai (darat), sebagian lagi ada yang disimpan
di tepi-tepi sungainya. Khusus untuk tempat a’rate dibangunkan sebuah baruga
(rumah panggung tanpa dinding, hanya ada pembatas seperti pagar di setiap
sisinya) di tengah-tengah lokasi perayaan). Sebelum baruga ini dibangun,
masyarakat Cikoang menggunakan panggung kayu yang mereka bangun dengan
menggunakan tenda sebagai atapnya.
Adapun ritual yang harus dilakukan dalam
rangka persiapan Maudu Lompoa meliputi:
1)
A’jene-jene
sappara (mandi di bulan Syafar)
Setiap
tanggal 10 Syafar, masyarakat Cikoang melakukan rangkaian pertama dari Maudu
Lompoa, yaitu a’jene-jene sappara. Kegiatan inilah yang menandai pelaksanaan
Maudu Lompoa atau dengan kata lain pembuka Maudu Lompoa. Sebelum turun ke
sungai, masyarakat Cikoang dipimpin oleh anrong guru melakukan pembacaan do‟a.
Tujuan dari dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk menghilangkan kesialan
dari seluruh warga yang ikut melaksanakannya. Ini juga dimaksudkan untuk
membersihkan diri sebelum memasuki bulan yang sangat mereka istimewakan.
2)
Anynyongko
jangang (pengurungan ayam)
Kegiatan
ini dilakukan sepulang dari a’jene-jene sappara. Ayam dimasukkan ke dalam
kurungan atau kandang dengan bekal do‟a. Sebelumnya ayam harus dicuci hingga
bersih layaknya manusia yang melakukan wudhu. Ayam dikurung hingga tiba saat
untuk menyembelihnya. Tujuan dari pengurungan ayam ini tidak lain adalah untuk
menghindarkan sang ayam dari hal-hal yang berbau najis dan menghindari
pergaulan dengan ayam yang bebas.
3)
Angngalloi
ase (penjemuran padi)
Penjemuran
padi diawali dengan pembekalan do‟a. padi dijemur di dalam area yang sudah
dibatasi dengan pagar di sekelilingnya, hal ini dimaksudkan agar padi terjaga
dari kotoran dan najis. Proses ini dilakukan setelah memasuki bulan Rabiul
Awal.
4)
A’dengka
ase (menumbuk padi)
Proses
menumbuk padi ini juga dilakukan setelah memasuki bulan Rabiul Awal. Penumbukan
dilakukan secara manual dengan menggunakan lesung. Sama halnya dengan
penjemuran, penumbukan padi ini juga dilakukan di dalam area yang telah
dipasangi pagar di sekelilingnya. Baik laki-laki ataupun perempuan boleh
melakukannya, kecuali bagi perempuan yang sedang berhalangan (menstruasi). Saat
melakukan proses ini, bagi laki-laki wajib mengenakan kopiah dan sarung,
sedangkan wanita mengenakan sarung. Pada catatan sejarah dikatakan bahwa,
perempuan selain harus menggunakan sarung juga harus menggunakan kerudung
(jilbab). Tapi pada kenyataannya, saat ini perempuan tidak lagi diwajibkan
memakai jilbab pada saat menumbuk padi, cukup dengan mengenakan sarung. Dalam
pelaksanaannya, proses ini harus dilakukan dengan hati-hati karena jika sampai
ada padi yang jatuh ke tanah maka itu tidak bisa diambil lagi.
Remaja
atau anak yang lebih muda dalam keluarga diutamakan melakukan proses ini. Do‟a
yang diniatkan selama proses ini berlangsung adalah perminataan agar kelak
mereka (yang menumbuk) bisa bertemu dengan malaikat dan bidadari. Dalam bahasa
Makassar, niatnya berbunyi “Kuniakkangi kalengku siramma-ramma malaikat” untuk
laki-laki dan “Kuniakkangi kalengku siramma-ramma bidadari” untuk perempuan.
5)
A’tanak
minynyak (membuat minyak dari kelapa)
Proses
ini dilakukan menjelang hari H karena minyak ini nantinya akan digunakan untuk
memasak isi dari kanre maudu, seperti songkolo’ dan juga untuk memasak/menggoreng
ayam. Kelapa yang digunakan adalah kelapa utuh (dengan sabut) yang dikupas di
tempat yang bersih.
6)
Anynyongkolok
kanre (menanak nasi)
Proses
ini juga disebut dengan a’pamatara berasa’. Beras yang di masak tidak sampai
masak melainkan hanya setengah masak. Hal ini dimaksudkan agar nasinya tidak
cepat basi. Pelaksanaannya dilakukan setelah hari H dekat (beberapa hari
sebelum puncak perayaan).
2. Tahap pelaksanaan
Tahap
pelaksanaan meliputi prosesi yang harus dilakukan pada hari H perayaan Maudu
Lompoa. Prosesi tersebut adalah:
1)
Ammone
Baku’
Orang yang diperbolehkan melakukan proses ini
adalah wanita yang dalam keadaan suci (tidak boleh wanita yang sedang haid) dan
harus berwudhu sebelumnya. Berikut adalah tahapan pelaksanaannya:
·
Mengisi
bakul dengan nasi setengah masak
·
Membungkus
ayam yang telah dimasak/digoreng dengan daun pisang dan ditempatkan di dasar
bakul.
·
Menutup
permukaan bakul dengan daun pisang atau daun kelapa muda.
·
Menancapkan
telur yang telah ditusuk dan dihias di bagian pinggir bakul. Bagi keluarga yang
mampu biasanya telur yang diletakkan di bakul mencapai seribu butir. Cara
peletakannya adalah dengan cara bersusun (berundak-undak) mengikuti bentuk
bakul dan berpusat di tengah bakul. Hal ini dimaksudkan agar rejeki dari pemilik
kanre maudu tersebut juga bisa berlapis-lapis seperti susunan telur itu.
2)
A’belo-belo
Kanre Maudu
A’belo-belo
(menghias) bakul tidak hanya dilakukan untuk bakul saja tapi juga dilakukan
untuk julung-julung atau kandawarinya. Hiasan di bakul hanya meliputi peletakan
bunga kertas di tengah bakul. Sedangkan pada julung-julung dan kandawari
dihiasi dengan layar dari berbagai macam kain yang berwarna-warni.
3)
Angngantara‟
Kanre Maudu
Kanre
maudu yang telah dihias selanjutnya dibawa ke lokasi perayaan Maudu Lompoa,
yaitu di dekat sungai Cikoang. Cara pengantarannya pun berbeda-beda. Bagi
keluarga yang berada jauh dari lokasi perayaan membawa kanre maudunya dengan
menggunakan perahu, sedangkan bagi keluarga yang rumahnya dekat dengan lokasi,
kanre maudunya akan dibawa dengan diangkat (dibembeng) secara gotong royong.
Untuk keluarga yang memiliki kanre maudu dalam ukuran besar akan membutuhkan
tenaga yang banyak pula. Tapi untuk kanre maudu yang ukurannya lebih kecil
biasanya diantar dengan menggunakan mesin traktor.
4)
Pannarimang
Kanre Maudu
Kanre
maudu yang telah diantar oleh masing-masing pemiliknya kemudian diterima di
lokasi perayaan oleh anrong guru sebagai memimpin ritual ini. Prosesnya
dilakukan dengan membakar dupa dan duduk bersila menghadap kiblat sambil membaca
doa agar persembahannya itu diterima dan menyenangkan Rasulullah SAW.
5)
A’ratek/Azzikkiri
A’ratek/azzikkiri
merupakan acara inti dari perayaan Maudu Lompoa ini. A’ratek merupakan
pembacaan syair pujian dalam bahasa Arab pada Rasulullah SAW dan keluarganya
dengan lagu dan irama tersendiri yang sangat khas dan menyentuh hati. Acara ini
biasanya berlangsung sekitar dua jam. Kitab Rate' ini merupakan karya besar
Sayyid Jalaluddin Al`Aidid dan menjadi inti ajaran-ajarannya dalam tarekat
"Nur Muhammad".
Sebagian pengunjung biasanya membawa air ke
baruga untuk disertakan dalam pembacaan do‟a dan ratek. Nantinya air yang telah
dibacakan do‟a bersamaan dengan kanre Maudu Lompoa ini akan digunakan sebagai
barakka (air yang mengandung berkah). Mereka biasanya memercikkannya pada
peralatan dagang atau peralatan yang mereka gunakan untuk mencari uang agar
dagangan atau usahanya mendapat limpahan berkah.
6)
A‟toana
Setelah
acara a’ratek selesai maka seluruh tamu yang ada di atas baruga dijamu. Tamu
ini biasanya adalah mereka yang dari keluarga Sayyid. Jamuan pattoana bukanlah
makanan yang diambil dari kanre maudu melainkan makanan yang disiapkan secara
khusus oleh panitia pelaksana Maudu Lompoa.
Adapun kanre maudu yang telah melalui ritual
berupa pembacaan do‟a akan dibagikan kepada pihak-pihak terkait.
7)
A’bage
kanre Maudu
Ketentuan pembagian kanre maudu didasarkan
pada tiga tingkatan, yaitu:
·
Qadhi/imam
dan pejabat pemerintah setempat diberikan masing-masing sebuah julung-julung
lengkap dengan isinya.
·
Peserta
ratek masing-masing diberikan sebuah kandawari lengkap dengan isinya.
·
Masyarakat
umum masing-masing mendapat sebuah bakul.
BAB
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penelitian
yang telah dilakukan terkait dengan Makna Ritual Maudu Lompoa ini menghasilkan
beberapa hasil penting sebagai berikut:
1.
Pelaksanaan
Maudu Lompoa berlandaskan pada ajaran Sayyid Jalaluddin terhadap jamaahnya di
Cikoang. Ajaran tersebut meliputi dua hal utama, yaitu pengetahuan tentang Nabi
Muhammad (Maarifat) dan kecintaan terhadap Nabi Muhammad (Mahabbah). Tata cara
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan adat istiadat yang telah diwariskan oleh
nenek moyang secara turun temurun.
2.
Makna
yang terkandung di dalam ritual Maudu Lompoa adalah bentuk kecintaan dan
penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW, yang merupakan pembawa kebenaran
mutlak di dunia. Ritual ini dianggap wajib oleh masyarakat Cikoang karena
mengenal dan mencintai Nabi adalah suatu kewajiban bagi seluruh umat Muslim di
dunia. Tidak ikut melaksanakan ritual ini dianggap suatu kerugian bagi mereka
karena mereka merasa tidak akan mendapat petunjuk dan keselamatan jika tidak
menunjukkan rasa cintanya kepada Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Garna, Judistira, K. 1987. Penyajian Masyarakat Terasing dalam Konteks
Masyarakat Indonesia, dalam : Hood Salleh Kamarudin M.Said, Awang Hasmadi
Mois (Penyunting), Mereka yang Terpinggir di Indonesia dan Orang Asli di
Malaysia, Prosiding Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia ke II, 1987.
Koentjaraningrat.
1990. Sejarah Teori Antropologi, Jilid 2.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Koentjaraningrat.
1987. Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1.
Jakarta: Univesitas Indonesia
Press.
Koentjaraningrat.
1981. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Kupper,
Adam (2000.) Antropologi dalam Adam Kuper
dan Jessica Kupper (ed) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh
Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn. 29-33.
www.repository.upi.ac.id/skripsi/TradisiMauduLompoa
(diunduh pada tanggal 27 Pebruari 2014)