Anda dipersilahkan mengutip dan mengedit, dengan catatan mencamtumkan nama penulis/blog. Tulisan ini membutuhkan ketelitian tinggi dalam menerjemahkan maupun menganalisa...terlebih pencarian sumber buku yang cukup sulit. Jadilah akademisi yang memiliki etika, terima kasih :)
Judul Buku : Cleanliness and Culture (Indonesian Histories)
Editor :
Kees van Dijk dan Jean Gelman Taylor
Tebal
Buku : 195 halaman
Penerbit : KITLV Press
Tahun terbit : 2011
ISBN : 978 90 6718 375 8
Oleh : RIZA AFITA SURYA
Buku berjudul “Cleanliness and Culture”
secara sederhana jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti
kebersihan dan kebudayaan. Buku ini diedit oleh Kees van Dijk dan Jean Gelman
Taylor dan terbit pada tahun 2011 oleh Koninjilik Instituut voor Taal,- Land en
Volkenkunde (KITLV). Jumlah bab pada buku ini terdiri dari tujuh buah
keseluruhan dalam 195 halaman.
Pada bagian pendahuluan diawali
dengan narasi yang sangat menarik untuk direnungkan. Penulis mengasosiasikan
pandangan tradisional terkait konsep kebersihan dengan indikator yang melekat
pada status sosial, ekonomi, keyakinan dan latar belakang seseorang. Persepsi
ini sudah ada sejak lama, baik di lingkup pedesaan, perkotaan maupun tingkat
suatu negara sudah dianggap mampu untuk menjustifikasi sesuatu itu bersih atau
tidak. Berpedoman pada bukti-bukti yang memberikan multi tafsir, tidak dapat dielak jika kebersihan merupakan
alat untuk menunjukkan superioritas kaum tertentu baik dari segi sosial,
eknonomi, kebangsaan, keyakinan atau bahkan sesuatu yang lebih buruk seperti
halnya warna kulit.
Dua bab awal membahas kebersihan fisik
dan lingkungan; seperti halnya mandi, mencuci pakaian, membersihkan rumah,
halaman dan jalan. Kegiatan ini meberikan dua dampak yang cukup besar terhadap
kebersihan dan usaha melawan penyakit seperti beri-beri dan penyakit kulit yang
biasa terjadi di daerah tropis.
Berdasarkan riset yang dilakukan Schama
(1988) membeberkan kebiasaan para wanita Belanda membersihkan rumah dan
jalan-jalan tempat mereka tinggal pada abad ke-17. Orang-orang Belanda juga
membawa kebiasaan ini kepada koloninya, di mana menurut Kees Van Dijk, telah
diberlakukan aturan tentang kebersihan di Malaka. Ada satu tokoh yang cukup
menarik perhatian memiliki julukan “Mr. Sweep/ Tuan Sapu”, tokoh ini muncul
dalam literatur sejarah Malaka. Pada bagian awal buku, Kees van Dijk berusaha
menjelaskan perubahan sudut pandang
kebersihan orang-orang Eropa ketika berada di negara mereka sendiri
dibandingkan di negara tropis. Satu pertanyaan yang sangat penting, sejak kapan
baik orang Eropa maupun Asia mulai mengenal aktivitas mandi sementara orang
Eropa mengklaim bahwa mereka adalah kaum yang paling bersih, dibandingkan
orang-orang Melayu, Jawa dan India. Berdasarkan pada penelusuran sejarah para
periode yang reltif singkat, ditemukan satu kesimpulan bahwa yakni keberadaan
sabun sebagai salah satu ciri munculnya peradaban.
Di sisi lain, konsep kebersihan yang
dikaji Jean Jelman Taylor berkaitan dengan kebiasaan bangsa Eropa untuk mandi secara
teratur ketika berada di negara tropis pada abad ke-19. Sebelumnya, para
kolonial tersebut selalu curiga dengan kebiasaan masyarakat lokal yang mandi
lebih dari sekali dalam satu hari. Lambat laun, orang-orang Eropa mengkuti kebisaan orang lokal untuk lebih
sering mandi, namun tentu ada perbedaan mendasar mengenai hal ini. Para
kolonial dan kaum bangsawan di Indonesia membersihkan dirinya di tempat
pemandian yang jauh dari jangkauan publik. Sehingga, sampai sekarang kita tidak
pernah menemukan gambar atau foto baik kalangan Eropa maupun raja/bangsawan
ketika mandi, dibandingkan dengan keberadaan kaum pinggiriran yang mandi di
pinggir kali atau parit yang sangat banyak terdokumentasi.
Bab 1. Sabun sebagai
Titik Awal Peradaban
Sepanjang abad ke-19, sabun
dipercaya sebagai milik bangsa Eropa dan
Amerika saja, di mana orang-orang Kristen berada di baris terdepan dalam rangka
menunjukkan superioritasnya. Sabun dianggap jimatnya modernisasi. Slogan dari
pabrik besar Unilever yaitu “Soap is civilization” yang berarti sabun adalah
peradaban. Penggunaan sabun dapat digunakan sebagai tolak ukur kekayaan,
peradaban, kesehatan, dan kemurnian suatu kaum (Richards 1990:140-1). Sebuah
iklan sabun pertama bernama “Pears Soap” yang berasal dari sepanjang pantai
Afika, mengilustrasikan sosok yang tidak menggambarkan penduduk asli; dia lebih
mirip tokoh fiksi penduduk pulau laut selatan.
Sejak tahun 1840, minyak kelapa di
ekstrak dari kopra telah menjadi komoditi paling dicari sebagai bahan dasar
sabun, dan inilah yang menyebabkan masuknya bangsa Barat untuk kepentingan bisnisnya.
Namun, perlu dipahami sabun bukanlah satu-satunya indikator majunya peradaban,
masih ada pakaian, bahasa, bahkan toilet. Salah satu sosok yang dianggap
berperan menciptakan amunisi peradaban ini adalah George Jennings. Jennings
merupakan perancang water-closet (WC) pada tahun 1851 yang dipamerkan di
London.
Water closets sejatinya telah ada
sejak abad ke-16 namun tidak terlalu banyak dihiraukan oleh masyarakat. Hal ini
dilatar belakangi pemasangan WC pada periode tersebut sangat berisiko karena
limbah pembuangan bisa meluap, sehingga dibutuhkan pembuatan saluran air yang
memerlukan biaya yang mahal. Di samping, itu belum ada cara menangani aroma tidak
sedap yang datang dari saluran air. WC tidak dijadikan sebagai sesuatu yang
sangat penting, melainkan sesuatu yang menyebabkan kemerosotan dan kekacauan.
Namun, bagimana pun WC adalah salah satu penemuan terpenting oleh orang
Inggris, yang juga menandakan bahwa perdaban mereka satu langkah telah lebih
maju dari bangsa Belanda, yang diasosiasikan sebagai bangsa yang bersih.
Membahas tentang toilet, kerajaan
Siam ketika dibawah tampuk kekuasaan Rama V, merupakan kerajaan dengan bentuk
modernisasi monarki, menjadikan toilet sebagai salah satu simbol penggerak
peradaban. Namun, tidak semua rakyatnya setuju. Sebagian dari mereka ada yang
beranggapan akan menyenangkan berada di suatu tempat dengan pemandangan yang
indah dengan udara yang sejuk dibandingkan ruangan sempit dan lembab. Seperti
ucapan seorang petani Thailand kepada orang Amerika “Kamu orang Amerika sungguh
aneh. Sebelum kamu datang, saya merasa sangat nyaman dengan diri sendiri, bisa memilih
tempat terbuka dengan menghirup udara segar. Kemudian, kamu datang dan memberi
tahu bahwa apa yang saya keluarkan ini dalah sesuatu yang berbahaya. Dengan
kata lain, sebisa mungkin saya harus menjauh darinya. Kamu juga menyuruh saya menggali
lubang, bukan hanya saya tapi juga orang
lain harus berhati-hati dengan limbah yang ada di lubang itu. Jadi mulai sekarang
saya tidak hanya berdekatan dengan apa
yang saya keluarkan, tapi juga milik orang lain di tempat yang gelap dan bau
tanpa pemandangan sama sekali (Hanlon 1969:67).
Keberadaan WC masa itu hanya
terpusat di Inggris, terutama di kota London. Sehingga bagaimanapun dari sudut
pandang bangsa Eropa, sabunlah yang menjadi ciri kebersihan seseorang dan
peradaban. Sabun menjadikan seseorang bersih dan menjadikan mereka sebagai kaum
beradab. Pada fase ini yang harus diketahui bahwa makna kebersihan pernah pudar
dari bangsa Eropa setelah abad pertengahan. Pada masa renaissance sendiri
budaya mandi masih menjadi kegemaran (Roche 2000: 158-9).
Bagi bangsa Italia yang
merupakan bangsa yang sangat peduli terhadap kebersihannya. Mencuci merupakan
gaya hidup yang tidak bisa dipisahkan dari mereka. Kebersihan yang dimaksud
adalah memakai pakaian yang bersih dan harum. Membersihan diri dengan air
dianggap tidak terlalu penting. Menyeka atau menggosok jika ada kotoran di
bagian tubuh dan berganti pakaian secara teratur sudah dianggap cukup. Dapat
disimpulkan, sabun lebih diutamakan untuk mencuci pakaian daripada membersihkan
diri. Kebiasaan mengganti pakaian mengindikasikan bahwa orang tersebut
merupakan orang kaya.
0 komentar: