Uraian Imajinasiku tittled 3 (Kak Sissy maafkanku)

“Kak Sissy, Aku Menyanyangimu”

Gorden merah muda melumbai-lumbai tersentuh angin, di kamar itu aku sekarang, bersama kak Sissy. Sentuhan udara yang sejuk hanya mebuat segar ragaku, bukan batinku. Kak Sissy menjalani terapi pemijitan seperti ini setiap minggu sekali, pada saat itu pula aku di sini menemaninya.
Semenjak kecelakaan tahun lalu, kak Sissy nyaris saja lumpuh gara-gara kecerobohanku, aku menyebrangi jalan dengan tidak memperhatikan laju kendaraan yang melintas. Hingga kakak menyelamatkanku dan membiarkan dirinya sendiri yang celaka. Sampai sekarang, rasa bersalah yang amat besar masih menghujatku. Tapi, seiring berjalannya waktu, rasa kebahagiaan dalam hidupku seperti dirampas pelan-pelan.
Perhatian, kasih sayang, seakan hanya diperuntukkan untuknya. Hampir setiap hari aku bersama kak Sissy, dia sangat mebutuhkanku berada di sampingnya. Kini dia rapuh dan lemah, tubuhnya kadang drop begitu saja . Tapi, lemah raganya tak sebanding dengan rasa sakit hatiku. Sangat sakit, bagaikan dia putri dan aku dayangnya. Perlakuan kami berdua pun berbeda.
******
“Ocha, terapi kakak udah slese kok, kalo kamu mau keluar. Sana gih” ucap Kak Sissy pelan di kasur tempatnya berbaring.
“Enggak ah kak, papa pesen aku harus nemenin kakak” jawabku.
“Udah ! Kakak ga’ apa-apa ditinggal, kamu butuh jalan-jalan biar ga’ bosen jagain kakak terus”
“Uhmmmm ya udahlah kak, aku mau ke rumah Yulia aja. Cuma sebentar kok, kalo butuh apa-apa telpon aku yaa”
“Iya Cha, kamu hati-hati”
Meski aku sakit hati dan merasa iri, dia tetap kakak kandungku. Rasa sakit ini hanya kutumpuk dalam-dalam, aku hanya bisa menangis dalam diam. Aku akan pergi ke rumah Yulia, dia satu-satunya sahabat terbaikku. Dialah orang yang selalu setia mendengarkan semua keluh kesahku selama ini, ketidakpuasan terhadap hidup karena ketimpangan kasih sayang antara aku dan Kak Sissy.
******
“Aku ganggu kamu?”
“Enggak kok cha, kamu itu sahabatku. Wajar kalo aku bantuin kamu”
“Makasih ya Li” (Li = Yulia, aku biasa memanggilnya)
“Pasti ada kaitannya sama kak Sissy lagi yah?”
“Siapa lagi coba, Cuma dia…dia peyebab semua masalahku”
“Ocha, inget!!! Dia kayak gitu gara-gara kamu juga, dia itu sayang banget sama kamu”
“Aku tau, tapi…semenjak kejadian itu semua kebahagiaanku direbut sama dia. Aku sakit hati”.
“Cukup Cha, kamu bukan kehilangan kebahagiaan. Tapi kamu yang nutupin kebahagiaanmu sendiri”
“Tapi …..”
“Dia kakak kamu cha, dia pasti juga ga’ ingin selalu ngerepotin kamu”
“Iyah si li…makasih ya udah mau dengerin aku”
“Kapanpun aku siap bantuin kamu cha”
Begitulah Yulia, dia pasti berusaha menenangkanku. Bersamanya membuatku sedikit lebih tenang hingga lupa waktu untuk pulang.
******
Senja mulai menapak, aku terlalu menikmati berbagi cerita dengan Yulia. Bagaimana keadaan kak Sissy?
Dengan perasaan tenang aku pulang ke rumah, tapi cukup khawatir terjadi apa-apa dengan kak Sissy.
“Dari mana kamu nak?” Tanya papa mengagetkanku di amabng pintu, ‘
“Dari rumah Yulia paaaa”
“Cha, papa minta sama kamu jangan sekali-kali tinggalin kak Sissy kayak tadi ya…”
“Pa, tadi kak Sissy yang nyuruh aku jalan-jalan. Ya aku nurutin!”
“Papa ngerti, tapi…gara-gara kamu kelamaan di rumah Yulia, waktu kakakmu kepeleset di kamar mandi ga’ ada yang nolongin dia” terang papa.
“Kenapa aku terus sih yang disalahin? Kak Sissy aja terus yang dibela”
“Bukan gitu nak, kakakmu itu kan ga’ sesehat kamu. Wajar kami perhatian sama dia, bukannya tambah pulih, dia malah ga’ sembuh-sembuh” imbuh papa.
“Iya Pa, aku minta maaf. Aku ga’ bakalan ngulang kesalahanku lagi”
“Sana Cha, temuin kakakmu. Bantuin dia”
“Iyah pa”
Ini memang salahku, meninggalkan kak Sissy terlalu lama. Tapi di dalam lubuk hatiku, aku tak dapat menahan keadaan yang tidak memihak ini. Tangis kupendam hingga tak ada orang yang tahu bahwa aku sedang merintih sakit hati.
******
Aku tiba di kamar, kak Sissy berbaring lemas dengan perban tebal melekat di sikunya. Ia memperhatikan aku yang sibuk menutup gorden yang menghiasi jendela teralis. Tatapan lekatnya tak bisa ditafsirkan secara pasti, khawatir atau kecewa. Aku hanya menundukkan kepala sambil meraih tempat tidurku di sebelahnya.
Bantal empuk yang biasa untuk menumpuhkan kepala, malam ini berfungsi peredam tangisku. Air mata terus-menerus membasahi pipi dan bantal yang menutupi, aku berusaha sekuat tenaga agar tak satupun orang tahu kalau aku sedang sedih meradang.
******
Pagi yang indah, sejuk dan menemtramkan hati. Kebetulan hari ini aku tak ada mata kuliah, jadi bisa memanjakan diri lebih lama untuk tidurku. Tapi….Kak Sisssy harus berangkat ke kampus, aku wajib mengantarnya dulu sampai di sana. Mata sangat lengket dan agak lebam karena semalaman menagis ditutupi bantal.
Aku membalikkan badan bermaksud melihat keadaan kakakku, tapi di tak di situ. Seluruh sudut kamar kupandangi pelan-pelan, dia memang tak ada di kamar ini. Segelas susu dan satu piring berisi dua helai roti tawar yang berselai menghentikan pandanganku, sarapan pagi hanagt ini dipersiapkan untuk siapa?
“Ocha, udah bangun kamu dek!” sapa kak Sissy memasuki kamar.
Aku hanya tersenyum tanpa membalas sapanya.
“Kakak mau berngkat kuliah dudlu ya, papa mama ga’ lagi di rumah kok. Kalo kamu mau tidur lagi, terusin aja”.
Mungkin semalam kakakku tahu kalau aku menagis, dia sama sekali tak meminta bantuanku untuk mengantarnya ke kampus pagi ini. Tapi tetap saja, aku harus memastikan dia sampai di sana dalam keadaan sehat wal’afiat tak kurang satu apapun. Dari belakang, aku terus memperhatikannya. Gerak langkah kakinya bertambah pelan karena kecelakaan tadi malam, tangan kirinya sesekali memegangi lutunya yang luka.
Tak tega juga melihatnya berjalan tertatih naik ke taksi seperti itu, biasanya aku membantunya naik saat berangkat bersamaku.
******
Malam ini adalah malam perayaan ulang tahun Yulia, aku sangat berharap dapat hadir di pesta itu. Pesta akan diselenggarakan di rumahnya yang tak jauh dari rumahku. Semoga malam ini kak Sissy tak membutuhkan aku, jadi aku tak perlu menemani harinya untuk malam ini saja. Papa dan mama ada di rumah, juga Sissy juga.
Aku bermaksud berangkat lebih awal ke rumah Yulia agar dapat membantunya, tapi belum sampai di pintu, papa menghentikanku.
“Cha, kamu mau pergi kemana?”
“Ke pesta ultahnya Yulia Pa. Kemaren kan udah bilang!!!”
“Chaaa papa mohon malam ini ga’ usah pergi yahh?”
“Lohhh pa, kenapa?”
“Tantemu sakit, papa mama mau jenguk. Kakakmu ga’ ada yang jagain”
“Apa ga’ bisa ditunda pa?”
“Enggak nak, papa mohon ya…papa Cuma sebentar kok. Kasian kakakmu baru aja terapi ga’ ada yang temenin”.
“PAAAA,Yulia itu sahabatku!!!! Mana mungkin aku ga’ dateng? Lagian buat malem ini aja aku ga’ temenin kak Sissy bisa kan?”
“Cha, kakakmu itu belum sembuh. Gara-gara nyelametin kamu, pokoknya papa ga’ mau tau kamu harus temenin kakakmu!!!
$%&*#@#@
******
Kenapa Kak Sissy hanya diam tak membelaku, padahal kemarin aku baru saja menceritakannya. Benar benar sangat mengecewakan. Aku tak sudi melihat wajah kak Sissy, kemarhanku meradang. Mungkin ini puncak ketidaksenanganku padanya. Paling tidak sebagai kakakku dia mau bicara dengan papa, bukannya bungkam acuh tak acuh.
Saat papa dan mama beranjak dari rumah, aku memapah kak Sissy ke kamar tak berkata satu patah katapun.
“Cha, kamu mau kemana? Ga’ mau tidur?” Tanya kak Sissy
Aku bungkam, kemudian ia bertanya lagi.
“Kamu marah sama kakak?”
Mendengar pertanyaan tadi, tiba-tiba kata-kata kasar keluar begtiu saja dari mulutku.
“Kak, jujur aja. Selama ini aku ga’ Cuma marah sama kakak, tapi juga benci banget sama kakak. Gara-gara kakak papa mama pada ga’ merhatiin aku lagi, tiap hari yang dipikirin kakak-kakak dan kakak terus. Dan sekarang, gara-gara kakak juga aku ga’ dateng ke pesta Yulia. Dia sahabatku kak!!!!!
Kak Sissy kaget dan menangis, ia tak menyangka aku akan memakinya sedalam itu. Malam ini aku tak ingin tidur sekamar dengannya, perasaanku yang campur aduk akan semakin parah.
******
Jam menunjukkan pukul 00.00 tenagh malam, papa mama baru saja tiba di rumah. Sementara aku masih terduduk kesal di ruang tamu, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan terlintas di pikiranku untuk pergi ke suatu tempat. Menenangkan hati dan pikiran.
Akhirnya saat semua terelelap, aku memutuskan kabur ke rumah nenek yang ada di desa. Sedikit penyesalanku untuk Kak Sissy karena telah memakinya tadi. Entah kenapa sepanjang perjalanan pikiranku tak bisa lepas tentang kakak. Bagaimana keadaannya sekarang? Siapa yang mengurut kedua kakinya sebelum tidur? Siapa yang akan mengambilkannya minuman saat ia kehausan di tengah malam?
Aku tak menyangka sehari saja tak bersamanya membuatku kepikiran, meski kali ini sangat marah.
******
Aku tiba di rumah nenek, untung saja dia menerima kedatanganku yang mendadak ini. Bayangkan saja, pagi buta aku datang mengetok-ngetok pintu rumahnya.
“Cah ayu, kamu ke rumah nenek sendirian?”
“Ohhhh itu nek, papa mama lagi sibuk”
“Kakakmu Sissy?”
“Dia…lagi sibuk juga terapi”
“Ya sudah, kamu istirahat aja di rumah nenek ini yahhh”
Semoga saja nenek tak banyak bertanya lagi tentang kedatanganku ke sini, aku bingung harus berbohong seperti apa lagi.
Seharian di sini, aku hanya makan, tidur, dan sesekali berceloteh dengan nenek.
******
Butir-butir hujan menampar genteng-genteng rumah nenek, malam ini benar-benar dingin merambat. Aku diberi selimut berupa sarung panjang oleh nenek, lumayan menghangatkan. Berjam-jam aku memandangi deras hujan lewat jendela. Memikirkan apa yang sedang dilakukan kakakku saat hujan seperti ini.
Hingga tengah malam aku masih terjaga memandangi kegelapan langit. Tiba-tiba, sunyian malam terhenti saat seseorang mengetuk pintu rumah nenek. Aku tak langsung membukakan pinu, melainkan mengintip siapakah gerangan di tengah malam yang hujan ini.
Suara petir mengagetkan jantungnku. Saat kulihat ke luar, seakan sambaran itu menembus dalam ke dalam hatiku.
“Kak Sissy” panggilku sangat khawatir. Dia tergolek lemas dengan sekujur tubuhnya yang basah kuyub.
“Chaaaaa…kakak minta maaf. Kakak….” Kalimatnya menggantung karena dengan cepat aku menyelahnya.
“Kak, kakak ke sini? Sendirian? Gimana sama kesehatan kakak?”
“Kakak…kakak ga’ apa-apa kok”
“Tapi, kesehatan kakak itu lebih penting dari. Kakak ga’ perlu nyusul aku seperti ini. Kakak bisa sakit, aku ga’ mau kakak tambah sakit gara-gara aku lagi”.
“Enggak Cha……..biar kakak sakit, lumpuh, atau kehilangan nyawa sekalipun, asalkan kamu ga’ benci kakak Cha”.
“Kaaak…….” aku kehabisan kata untuk menyambut perkataan kak Sissy.
“Kakak ga’ mau adik yang paling kakak cintai benci sama kakak Cha. Kakak sayang banget sama kamu”
“Maafin aku kak, aku ini bodoh. Aku ini jahat!!!”
“Kamu bukan orang jahat cha, tapi…kamu adalah malaikat buat kakak. Malaikat yang ga’ pernah lelah ngurusin kakak tiap hari, yang sampai rela kehilangan kasih sayang papa mama gara-gara kakak”
(Memeluknya erat dalam dekapanku) “Makasi kak, aku sayang kamu”.
Terimakasih Tuhan, telah engkau kirimkan malaikat yang sangat menyayangiku. Yang selalu menjagaku, mengasihiku,dan memahamiku melebihi diriku sendiri. Tiada terukur kasihmu padaku kakak, aku akan selalu merawatmu sampai kapanpun. Kasihmu melebihi gelegar petir di tengah hujan yang deras, kau akan selalu di hatiku kak. “Kak Sissy, aku menyayangimu”.
Written by : riezha_granger@yahoo.com

0 komentar:

Posting Komentar

hai pembaca...