CERPEN (LAGI)

Windblown
Ia berlalu, meninggalkan seorang gadis bertubuh mungil termangu. Sambil mengangkat kepalanya sejenak, merengut, dan menggigit bibir bagian bawahnya.
“Michelle, sesuai amanat ayah. Kamu harus ikut kakak” seru gadis bertubuh tinggi tadi.
“Aku bebas dong milih jalan hidupku sendiri, dan sampai kapan pun aku akan tetap di sini !” bantah Michelle seraya meremas-remas tas sekolah di pangkuannya.
“Kakak capek, this is the last I warn you. Seandainya kamu tetep gak mau, jangan salahin siapa pun kalo kamu akan sendiri di sini !”
“Memangnya kapan kakak benar-benar ada buat aku? Selama ini bukannya aku sudah sendiri.”
“Michelle !!! tolong hargain kakak, ini semua demi kebaikan kamu, masa depan kamu” ucapnya emosional
“Tanpa kakak minta aku akan selalu hargain dan hormatin kakak, tapi apa yang kakak lakukan?”
Gadis kecil yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu berlari menjauhi ruang tengah, suara tangisnya tersebar ke seluruh sudut rumah berarsitektur Eropa-Jawa itu.

“Yup yup baba piyup, yup yup baba piyup” dengung sebuah alarm berbentuk anak kucing menggemaskan berwarna merah merekah, oleh-oleh yang dibelikan ayah saat dinas di Cina selalu menemani perjalanan Michelle di kereta malamnya. Michelle sibuk mengucek-ngucek kedua matanya, sembab dan lengket.
Semalaman suntuk ia habiskan memutar memoar-memoar kesedihan hidupnya selama ini, sebuah kisah tanpa tokoh antagonis namun selalu menyedihkan, berputar-putar di alur yang sama dan mungkin seterusnya akan tetap seperti itu. Kakanya bernama Adelya, seorang desainer muda yang bekerja di perusahaan retail fashion di Manchester, Inggris. Ayahnya seorang berdarah Perancis, bekerja sebagai diplomat, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa yang sangat sederhana, sifat inilah yang sangat tercermin dalam diri Michelle.
Mereka hidup serba berkecukupan, meski sangat jarang bertemu ayah dan kakaknya, Michelle sangat bahagia karena di sisinya masih ada sosok ibu. Sosok yang paling Michelle sayangi. Namun peristiwa lima tahun silam, sanggup merenggut seluruh kebahagiannya tak bersisa. Ayah Ibunya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang, saat itu usianya baru 13 tahun yang kemudian tersemat status yatim piatu.

“Eropa bukan tempatku, tempatku hanya di sini” Michelle meyakinkan diri sendiri dalam hati. Setelah rapi dengan seragam sekolahnya ia akan berangkat. Kakek. Tiba-tiba ia teringat kakek saat melihat motor matic pemberiannya. Kakek renta yang mungkin sedang menunggunya di daratan Eropa. Memang, Inggris adalah kampung halaman ayahnya, kemudian ia menjadi WNI saat menikahi ibu Michelle. “Maafin Michelle Kek” gumamnya lagi.
Rok mekarnya sedikit tersingkap ketika menaiki motor itu, menyulitkan Michelle mengeluarkannya dari garasi.
“Pagi ini kakak yang antar kamu ke sekolah” kak Adel tiba-tiba muncul dari belakang.
Michelle ragu hendak merespon seperti apa.
“Kakak harap kamu mau” tambah kak Adel antusias.
Akhirnya Michelle mengiyakan permintaan Adel untuk diantar kakaknya ke sekolah.
“Kakak, kapan balik?” Michelle akhirnya memecah kesunyian di mobil sejak tadi.
“Balik ke mana maksud kamu?”
“Seperti biasanya kak, Indonesia-Eropa, Eropa-Indonesia” Sindir Michelle sambil melayangkan tangannya ke kiri dan ke kanan menirukan gerak pesawat terbang.
“Shut Up* !!(membanting setir ke tepian jalan) cukup sindiran kamu ke kakak, kakak sedang berusaha untuk dekat sama kamu. Kenapa sih kamu masih perlakuin kakak kayak gini?” cecarnya bersungut-sungut
“Karena kakak gak mengerti apa yang benar-benar aku mau. Kakak ngelakuin ini Cuma terpaksa kan” pungkasnya meninggalkan mobil kakaknya.

Adelya Larasati Jacquelina, berusia 24 tahun. Seorang wanita karir di bidang fashion. Pegawai di perusahaan retail berskala besar di Manchester. Kulitnya putih bule persis seperti sang ayah, kedua matanya terletak sangat dalam, raut wajah yang cantik, solid tipikal kaukasia namun dingin, rambutnya keriting coklat alami, dan bertubuh tinggi langsing. Adel terkonversi jiwanya sepeninggal kedua orang tuanya.
Ia tumbuh menjadi gadis yang berorientasi kerja, keras kepala, dingin, dan sedikit egois.
“Cit cit cit” decitan ranjang ditimpa tubuh Adel tiba-tiba.
Jantungnya bergerak ke sana ke mari, seakan tak mau berdetak sewajarnya. Badannya terpaku di satu sudut ranjang, pakaian dan sprei basah oleh keringat. Kedua tangannya bergantian mendekap dada, jantungnya terus berdegub makin kencang. Adel berusaha mati-matian menahan rasa sakit yang tengah berkecamuk.
Susah payah ia meraih sebuah botol kecil berisi obat-obatan. Tak beberapa lama jantungnya berangsur normal. Kemudian ia melegakan tubuhnya yang tergulai lemas sambil menarik nafas cukup panjang. Kelakuan Michelle tadi siang nyaris membuatnya sekarat. Sakit jantung yang diderita sepeninggal kedua ornag tuanya disimpan rapat-rapat. Tak kuasa Ia membagi kesediahan ini untuk orang-orang sekitar, terutama Michelle yang belum menganggap dirinya kakak sepenuhnya.

“Kak Adel mojokin aku lagi” keluh Michelle pada Talisa.
“Kenapa gak dipikirin baik-baik dulu? Sistem pendidikan di Inggris kan udah maju banget. Kamu juga bisa kuliah di kampus favorit di sana” sambung Talisa dengan nada meyakinkan
“…aku tau, tapi gak semudah itu. Seandainya kak Adel mau berubah, kapan pun dia ngajak aku, aku pasti bersedia. Tapi sampai sekarang kak Adel sama saja, tetap egois dan keras kepala”
“Mungkin sudah waktunya kamu perbaikin hubunganmu dengan kakakmu”
“Kamu gak kenal kakakku sih, dia sedingin es, egois, dan gak pernah berusaha mau mengerti aku. Kalo pun dia sekarang ngotot ngajak aku biar tinggal sama dia di Inggris, mungkin karena amanat ayah-bunda sebelum meninggal”
“Seandainya kenyataan seperti itu, kenapa bukan kamu yang berusaha berubah?”
Kata-kata Talisa seperti aliran listrik yang menggerogoti Michelle. Ada benarnya juga, jika Kak Adel gak bisa, harusnya dia bisa. Sudah seharusnya merubah perilaku buruk, memperbaiki hubungan dengan kakak kandungnya bukanlah hal sulit. Michelle tersadar, selama ini ia juga menyumbangkan andil dalam kekakuan hubungan kakak-adik diantara mereka.

Michellia Andhini Jaqcuelina, tidak seperti kak Adel yang mewarisi hampir seluruh genetic kebulean ayahnya. Michelle cenderung pada sang ibu. Seorang perempuan Jawa tulen, kulitnya kuning langsat, matanya bulat lebar, dan kedua alisnya cukup tebal. Rambutnya lurus hitam pekat, tak sehelai pun berwarna pirang atau coklat. Benar-benar alami sangat Indonesia.
Ia lebih periang, ekstrovert, open minded, serta fasih menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Ibu –Jawa- daripada sang kakak. Adel lebih banyak menghabiskan waktunya di Inggris, hingga dalam bicaranya aksen British sangat kental beradu. Cross culture inilah yang sering menjadi pertenatangan di antara keduanya.

Asap secangkir kopi hangat menyembul-nyembul di teras rumah. Momen langka jika pada senja ini ada seseorang tengah menghabiskan waktunya di situ. Jika bukan Adel, teras rumah hanya menjadi pajangan kursi-kursi klasik mahal yang hanya menjadi tontonan. Tak seorang pun yang akan menghabiskan waktunya di sana. Karena memang hanya ditinggali beberapa orang saja.
Adel bersabar menunggu kepulangan Michelle, tidak seperti biasanya sampai malam begini belum di rumah. Sruttt srutt. Diseruputnya kopi perlahan seraya melihat-lihat isi majalah fashion edisi terbaru. Kemudian ia teringat pada ucapan dokter kemarin.
“Yang terpenting adalah Anda harus menjauhi stress “. Kalimat dokter terus saja membungkus otaknya. Bagaimana bisa lepas dari stress kalo gini terus? Kemarin tengkar sama Michelle aja udah hampir bikin aku mati…dan sekarang ???

pukul 22.00
Michelle mengendap-endap sunyi memasuki ruang tengah yang sudah gelap tanpa cahaya lampu , sengaja ia melangkahkankan kaki sampai tak berbunyi sama sekali.
“Dari mana?” bentak suara Kak Adel, sejak tadi ia duduk di kursi menunggu, tanpa disadari Michelle.
Michelle kikuk dan mati kutu.
“Kakak Tanya kamu dari mana?” tambahnya seraya mendekatkan wajahnya.
“Nengokin temen kak, opname di rumah sakit” ujar Michelle masih mencari celah kebenaran.
“Oh, lain kali bilang sama kakak. Im worried for you*…”
Michelle mengangguk.
“Take a rest*, selamat malam” pungkas kak Adel dingin meninggalkan adiknya terbebengong-bengong, padahal dipikirnya ia akan dimarahi habis-habisan karena pulang larut malam.

Kukkuruyuukkkk…..kukkuruyuukkkk
Demikianlalah lantunan ayam pejantan membungkus pagi. Hari ini adalah hari pertama bagi Michelle untuk mencoba memperbaiki hubungannya dengan kak Adel sesuai saran Talisa. Ia lekas bangkit dari kasur dan masuk dapur. Padahal sebelumnya ia sangat jarang ke sana, hanya pembantu yang benar-benar memiliki otoritas penuh.
Tapi pagi ini lain, Michelle akan menyiapkan sarapan pagi untuk kak Adel. Nasi goreng, masakan favorit Michelle untuk pertama kalinya akan ia hidangkan bukan untuk dirinya sendiri. Sesungging senyum dari bibir jelitanya saat memandang puas segelas susu coklat dan sepiring nasi goreng telah siap. Readyy…!!!
“Pagi Kak” panggilnya di ambang pintu kamar
Tak ada sahutan.
“Kak…kak…ini michelle” tambahnya
Kamar tidak terkunci, Michelle masuk dan menemukan secarik kertas di meja rias kakaknya.
The sweetest : Michelle
Maaf, kakak gak bilang-bilang perginya. Kakak tiba-tiba ditelpon perusahaan tadi malem, jadi harus langsung take off. Kakak gak pamit karena kamu kayaknya capek banget…jaga diri baik-baik ya. Kalo urusan udah selesai kakak pasti langsung pulang. Muahhhhhh 
Michelle mengerutkan kening, nasi goreng beserta susu hangatnya ditinggalkan begitu saja di kamar kakaknya.

“Tuhhhh kan kak Adel pergi lagi…!!!”
“Pergi lagi? Ke Inggris? Kamu gak diajak?” cecar Talisa tak sabar
Michelle menggeleng-geleng polos.
“Kapan balik ke Indo?”
“Ga tau !” ketus Michelle menaikkan nada suaranya
Talisa salah tingkah menghadapi kegalauan Michelle
“Tapi kamu udah usaha kan?” tanyanya lagi
“Mau usaha gimana, baru mau aku mulai dia udah pergi lagi. Dia bilang sih kalo urusannya udah kelar di kantornya, dia langsung mau balik. Ajaib kalo dalam waktu sebulan dia balik, setauku…paling bentar juga empat sampe lima bulanan”
“Sabar Michelle, pokoknya aku selalu dukung dan doain kamu, agar kamu sama kak Adel bisa akur lagi”
“Makasih Talisa” ungkap Michelle lega dan puas.

Di sebuah kedai kopi dekat Oxford Street, kawasan dengan jejeran toko serba wah menjajakkan barang-barang hingga retail besar seperti Marks & Spencer dan John Lewis memajang display semenarik mungkin, di tempat inilah dapat dijumpai bagaimana modisnya orang London. Dan kini Adel sedang di sana. Bermaksud mencari ide-ide untuk rancangan terbarunya, ia malah bermain-main dengan bibir cangkir berisi cappuccino. Memutar-mutar jari telunjuknya mengikuti pola lingkaran cangkir, beberapa kali orang-orang disekitarnya merasa aneh mendengar decitan-decitan gelas yang tak jelas. Ia hanya bersikap acuh-tak acuh menikmati.
Wajahnya menghadap ke jendela, menikmati salju-salju gugur, tertimbun menjadi gundukan-gundukan halus. Membahagiakan anak-anak yang bermain lempar-lemparan bola salju. Musim salju kali ini normal, tidak ada siaga yang berarti dari pemerintah untuk mengantisipasi cuaca extereme atau pun badai salju. Orang-orang manikmatinya.
Adel terkekeh saat teringat Michelle mengendap-endap, takut ketahuan dirinya, baru disadari bahwa adiknya menggemaskan. Ia sangat merindukan Michelle. Untuk dua bulan ke depan, dia belum bisa pulang. Kerusuhan jamaah di beberapa kota besar di Inggris berdampak pada omset penjualan pakaian tempatnya bekerja. Hingga semuanya normal, ia mungkin baru akan diijinkan untuk kembali ke Indonesia.
“Damn it!!*” pungkasnya berusaha melepaskan beban pikiran itu seraya meyeruput cappuccino yang mulai mendingin.

Michelle menjalani kehidupannya seperti biasa. Kesepian, membosankan, tanpa arah dan tujuan. Pergi ke sekolah, les, dan kadang-kadang jalan-jalan bersama Talisa. Di rumah hanya ditemani seorang supir dan pembantu. Sebenarnya, saat kak Adel pulang, Michelle lah yang paling berbahagia. Namun, wajah dingin sang kakak sanggup membungkam kerinduan Michelle yang bertumpah-ruah. Kebahagian saat kedatangan kak Adel akan ia nikamti sendiri.

Sudah empat bulan lamanya Adel berada di Inggris, ia masih sibuk menormalisasikan perusahaan pasca kerusuhan. Gelisah memikirkan Michelle, sudah hampir sebulan tak lagi mau menjawab telponnya. Keadaan diperburuk kondisi Jantung Adel yang membutuhkan perawatan intensif. Semakin sering menemui dokter pribadinya, Adel benar-benar di masa kritis.
“Ouchh…jantungku sakit” Adel meringis di ruang dokter
“Are you okay? Does your heart beat uncontrollably? Relax relax relax !!! We’ll have you treatmented”* putus dokter seraya mempersiapkan cepat-cepat perawatan untuk Adel. Adel dirujuk ke ruang ICU, kali ini adalah fase terparah dari riwayat penyakit jantungnya. Satu-satunya cara untuk menyembuhkan hanyalah menunggu donor. Dan Proses tersulit adalah mencari siapa-siapa yang rela menyumbangkan jantungnya untuk Adel yang malang.
Dimensi alam antara hidup dan mati redup-redup di matanya, seakan-akan ia berada di celah tengah dimensi tersebut. “Setelah Ayah dan Bunda, mungkin selanjutnya adalah aku” batinnya pasrah, membiarkan para suster melucuti pakaiannya dan menghunuskan beberapa jarum suntik di tubuhnya. Ujung jarum yang lancip terasa tumpul di kulitnya, pikirannya menerawang jauh, melayang-layang diantara lorong-lorong putih berkelebat.

*dua minggu kemudian*
“Congratulation Adel, kami sudah ada donor untuk kamu” terang dokter
“Are you kidding me?”* timpa Adel bangkit dari ranjangnya tak percaya
“Ya tentu saja, beberapa hari lagi kamu bisa operasi”
“Terima kasih banyak dok, kalo saya boleh tau siapa dia?”
“Sorry Adel, itu otorisasi rumah sakit. Saya juga tidak tahu siapa”
Adel kembali kegirangan menyambut kabar gembira ini, ia tak sabar untuk segera kembali ke Indonesia.

*Indonesia*
Seorang paruh baya membersihkan mobil dengan gaya malas di halaman rumput amat luas.
“Bang Udin !” sapa Adel semringah. Bang Udin adalah supir keluarga, sudah hampir sepuluh tahun ia mengabdi untuk keluarga ini. Selama ini ia tak banyak tahu tentang nona bule yang baru saja menyapanya. Yang bang Udin hapal hanyalah Michelle, nona kecil yang ia antarkan setiap hari ke sekolah. Bang Udin melongo.
“Non Adel teh” tanyanya heran
“Yes, Bang Udin mau jemput Michelle ke sekolah?”
Bang Udin masih sibuk mengatasi kekikukannya.
“Udah jam empat, biasanya kan udah pulang bang?” lanjut Adel memperlihatkan jam tangannya.
“Iya non, sudah pulang. Non Michelle ada di rumah temanna” jawabnya menggunakan dialek Sunda.
“Siapa bang?”
“Kalo bang Udin gak salah inget, namanya Talisa”

“Michelle ! Michelle! ini kak Adel udah dateng” teriaknya di pintu rumah Talisa.
“Kak Adel?” sapa Talisa kaget membukakan pintu.
“Michelle mana?” Tanya kak Adel tak sabar
“Dia lagi tidur di kamarku…” jawab Talisa nyaris tanpa ekspresi di wajahnya.
“Boleh aku bangunin dia? Aku sangat merindukan Michelle”
Matanya berkaca-kaca.
“Sebentar kak, duduk dulu” ajak Talisa menarik tangan Adel menuju kursi di ruang tamu.
“Aku minta panggilin Michelle, suruh dia pulang,,,im missed her dying”
“Ia kak, tapi Michelle gak di sini”
“Maksud kamu?” Adel menatap Talisa tajam. Menjadikannya sasaran empuk jika kalimat yang hendak dilontarkan Talisa tak sesuai dengan keinginannya.
Talisa membeku sebentar, lalu ia meraih tangan Adel ragu-ragu. Menyematkannya di dada Adel, tepat di bagian jantung yang berdetak.
“Sesungguhnya dia di sini Kak, bersama Kakak” jelasnya lirih, dibumbui sesenggukan panjang dan banjir air mata. Talisa tak kuasa meraih badan Adel dan memeluknya.
“Maafin Talisa kak, ini permintaan Michelle”
Adel meronta, “Apa maksud kamu dia di sini?” (seraya menepuk-nepuk dada)

Michelle Andhini J.
Binti
Alex jacquesh
Lahir : 01-01-1993
Wafat : 20-02-2011
Sebuah gundukan tanah basah tertanam batu nisan. Sanggup menggoyahkan seluruh otot-otot, menyumbat oksigen ke pembuluh darah, dan menggetarakan keras jantung itu lagi. Adel bersimpuh, melemas-lemas tanah kuburan adiknya. Mulutnya tersekat, tak dapat berkata apapun.
“What’s wrong? No body tell me*…kenapa gak seorang pun ngabari aku Talisa? Kalian anggap apa aku ini”
“Maafin Talisa kak, karena kejadian ini juga seperti mimpi. Rasanya baru kemarin becanda sama Michelle, tapi sekarang dia sudah terbaring kaku di dalam sana..takdir ini susah diterka kak, aku juga gak percaya Michelle telah pergi secepat ini. Karena kejadian sore itu, sore kelabu yang merenggut jiwa sahabatku ini. Michelle jadi korban tabrak lari , luka- lukanya sangat fatal kak. Dia terkena geggar otak dan koma selama beberapa hari. Namun sebelum ia benar-benar pergi, Michelle tersadar dari komanya. Dia menangis karena sampai di titik akhir hidupnya kak Adel gak ada. Tapi satu hal yang ingin Michelle ungkapkan sama kakak, yang belum pernah ia katakan sebelumnya. Jika, dia sangat menyayangi kakak, kakak lah satu-satunya yang ia miliki sekarang. Michelle ingin memperbaiki hubungannya, tapi kakak terlanjur pergi. Dan saat dia melihat penyakit jantung kakak kumat, ia berkata ingin memeluk kakak, melindungi kakak, dan merawat kakak sepenuh hati sampai sembuh. Tapi,,, Michelle terlalu ragu untuk melakukan semuanya tiba-tiba. Hingga ia berkata saat dirinya meninggal dan jantungnya masih berfungsi dengan baik, ia memberikannya untuk kakak. Semua ini disembunyikan karena ia takut jantung kakak bertambah parah. Begitulah kak, setelah Michelle meninggal, rumah sakit langsung mengkonfirmasi ke tempat kak Adel dirawat”

Adel tersadar di atas ranjangnya, kepalanya masih berkunang-kunang. Pandangannya samar-samar ke segala arah. Sebelumnya ia pingsan di kubur Michelle. Air mata telah kering untuk ia tumpahkan. Di ranjang, ia memposisikan tubuhnya setengah duduk. Antara percaya atau tidak, kejadian ini memang seperti mimpi. Adiknya Michelle kini telah pergi. “Michelle ! kakak gak rela kamu pergi…JANGAN TINGGALIN KAKAK. IM LOVIN’ U SO MUCH. PLEASE KEMBALIIIIIIIIIIII !!!!!!” teriaknya menyayat.
Tiba-tiba desiran angin menabrak tubuh lemasnya, angin yang sangat dingin menyentuh seolah sedang memeluknya. Bunyi lumbaian gorden makin keras, menggerakkan manik-manik hingga terdengar bunyi benturan berulang kali. Angin itu seperti penjelmaan Michelle yang hendak memeluk, dan menenangkan kakaknya. Adel menikmatinya dengan mata terpejam.
“I know you’re here, you’re huggin’ me…you wanna show me your presents. Show me*…kakak ingin bertemu kamu” bisik Adel lirih dan tenang. Secarik kertas terbang di pangkuannya. Rupa-rupanya kertas itu adalah yang ia titipkan terakhir kali untuk Michelle. Di balik pesannya untuk Michelle, ada pesan lain yang di tulis sendiri oleh Michelle.
“Kak, Michelle udah bikinin nasi goreng sama susu coklat loh…tapi kak Adelnya keburu pergi . Tapi seandainya kak Adel balik, Michelle mau kok bikinin buat kakak tiap hari. Pokoknya Michelle mau jadi adik yang baik buat kakak …cepet pulang tapi kak ”

Setelah bebarapa hari dalam dukanya meratapi kepergian Michelle, ia memutuskan kembali ke Inggris. Tak ada lagi yang menahannya untuk menetap di Indonesia, tak ada lagi adik yang akan ia paksa untuk ikut bersamanya. Adel akan tinggal di sana selamanya, meniggalkan reruntuhan memory sedih itu. Memulai kehidupan baru dengan semangat baru. Karena sebenarnya Michelle kini telah menyatu dalam dirinya. Tak terpisahkan, jantung Michelle akan berdetak seirama dan sehati di dalam tubuhnya.
THE END
Written bY :rizawhitedevil@hotmail.com

0 komentar:

Posting Komentar

hai pembaca...